“Hapus mas. Jelek tau! Kayak zombie!“, celetuk si Yayang sambil bersungut saat melihat foto di atas.
Yah, memang postur tubuhnya terlihat seperti gerakan tokoh utama dalam film The Walking Dead itu.
Maklum saja, saya memang memotretnya pada saat dia belum siap dengan pose andalannya. Secara teori fotografi yang saya tahu, foto itu memang tidak memperlihatkan keindahan dari modelnya.
Biasanya, dan si Yayang tahu, saya memang akan mendelete foto-foto yang tidak sesuai dengan prinsip keindahan yang saya anut.
Namun, ia tidak tahu bahwa suaminya, untuk kasus seperti ini, dimana ia menjadi model, memiliki standar yang berbeda.
Seperti biasa, saya hanya mengangguk dan berkata, “Iya. Nanti dihapus“. Sambil tersenyum tentunya karena saya tahu pasti, sama seperti banyak foto seperti ini lainnya, foto yang satu ini akan tetap tersimpan di hard disk dan tidak pergi ke Recycle Bin.
Saya akan menyimpannya.
White lie.
Bukan apa-apa, hati saya tidak mengizinkan. Di dalam foto itu ada “orang” yang sangat saya sayangi. Rasanya tidak sampai hati kalau harus membuangnya begitu saja.
Jadi, biasanya memang foto seperti ini akan tetap ada, meski jarang diperlihatkan, bahkan kepada yang dipotret.
Kenapa? Karena saya tahu bahwa foto seperti ini pada suatu waktu akan bermakna banyak sekali bagi kami berdua. Pada saat itu tiba, foto-foto yang “jelek” seperti ini akan sangat berguna memancing kenangan tentang waktu-waktu kebersamaan kami.
Di balik foto yang akan dicibir para fotografer lain itu, ada banyak kenangan manis yang tersimpan. Ada tawa dan canda antara kami berdua. Ada memori manis berjalan berdua bergandengan di Kebun Raya Bogor. Ada ledek-ledekan dan gosipan tentang bagaimana nanti kami akan menghabiskan masa tua berdua.
Sesuatu yang sangat berharga sekali.
Nilainya bahkan jauh melebihi semua foto lain yang pernah saya buat dan menurut banyak orang bagus (tapi bukan si Yayang modelnya)
Hal yang sama juga saya lakukan terhadap foto-foto dimana si Kribo ada di dalamnya. Bahkan, karya-karya foto yang dibuat di awal perjalanan putra semata wayang kami menekuni dunia potret memotret pun tetap saya simpan. Banyak yang jelek karena tidak sesuai dengan pelajaran yang diberikan.
Namun, saya memilih menyimpan semua itu. Tidak ada niat dalam hati saya untuk membuangnya. Bagaimana bisa membuang sebuah bukti tumbuh kembangnya saat berada dalam pengasuhan kami?
Sebagai seorang fotografer saya sadar sekali bahwa terkadang nilai dari sebuah foto bukan hanya dari seberapa indah, sesuai teori fotografi atau tidak, seberapa menarik foto tersebut.
Nilai sebuah foto lebih sering terletak pada bagaimana foto tersebut mengikat yang mereka yang melihat.
Dan, foto-foto si Yayang atau si Kribo, seberapapun jeleknya secara aturan fotografi, akan tetap bernilai luar biasa tinggi di mata saya. Tidak peduli apa kata orang, dua orang tersayang itu tidak ternilai harganya bagi saya dan hal itu mengikat saya.
Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menjadi kolektor foto dimana si Yayang menjadi modelnya atau hasil karya si Kribo. Jelek atau bagus, blur atau tajam tidak menjadi masalah.
Foto-foto itu mengikat saya.
