Ayah Yang Menangis

Covid sucks.

Cuma kata-kata itu yang bisa saya keluarkan untuk menumpahkan rasa frustrasi tentang situasi pandemi yang masih luar biasa mencekam ini. Mungkin, bagi orang lain tidak, tetapi saya rasa semakin hari, meski vaksin katanya sudah ada, tetap terasa semakin menekan.

Ingin rasanya memaki lebih banyak, tetapi sepertinya tidak akan ada gunanya juga. Kalau itu dilakukan, hanya akan menambah beban di hati saja.

Sayangnya, tetap saja saya ingin memaki dan memaki. Sekeras mungkin.

Bukan hal yang mudah melihat orang lain menderita. Lebih menyakitkan lagi kalau orang yang menderita itu kita kenal. Lebih buruk lagi rasanya, melihat penderitaan itu dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Hanya bisa mendengar dan melihat.

Baru 3 hari sebelum ini, Paman si Yayang berpulang karena si Covid. Dan, saat itu saya dan banyak anggota keluarga lain tidak bisa berkutik untuk membantu sedikit saja. Saya hanya bisa diam dan parahnya bahkan harus menolak memberikan pertolongan.

Malam ini, baru beberapa menit yang lalu, saya hanya bisa terdiam saat berbicara via telpon dengan seorang kawan. Ia dan keluarganya sudah lama kami kenal. Anaknya adalah teman si Kribo saat SD dan kami kerap berjumpa. Istrinya menjadi kawan dekat si Yayang, dan ia menjadi kawan saya. Bahkan, Oma-nya, mertuanya yang tinggal bersama, kerap sengaja datang ke rumah karena teringat untuk memberikan sekedar oleh-oleh untuk si Kribo. Keluarganya adalah kawan dekat kami.

Dan, tadi, saya tidak bisa berbicara banyak saat di telpon. Hanya sesekali, saya berusaha mengajaknya berbicara.

Saya hanya bisa mendengarkan saat kawan saya itu menangis. Seberapapun usahanya menahan agar nada suarany tetap biasa, saya tahu sekali ia sedang menangis.

Kawan saya, seorang ayah menangis. Padahal, ia berbadan tegap dan besar. Gagah. Macho.

Ia memberi kabar bahwa istrinya masih berada di RS karena hasil tes rapidnya ternyata positif dan sedang menunggu hasil tes PCR. Si Oma, begitu kami menyebutnya, sudah terkonfirmasi positif.

Ia sendiri meski tes rapid dinyatakan reaktif, ternyata hasil tes PCR-nya negatif. Temannya si Kribo pun negatif.

Kawan saya itu berusaha tegar, tetapi jelas sekali ia berada dalam kondisi mental yang luar biasa tertekan. Beban yang sangat berat pasti ada di kepalanya. Sesenggukannya terdengar di telinga.

Seorang lelaki yang tangguh menangis.

Bukan hanya karena situasi berat yang sedang dialaminya. Tetapi, juga karena sebuah perasaan bersalah yang mungkin tidak terungkapkan.

Ia merasa dirinyalah yang membawa penyakit itu ke rumah. Mereka,sama seperti kami, sudah begitu ketat melindungi keluarganya. Tidak keluar rumah jika tidak perlu dan berbagai tindakan lainnya. Semua yang disarankan pemerintah sudah dijalankannya.

Hanya satu celahnya, yang tidak bisa dihindarkan. Kawan saya itu tetap harus keluar rumah, untuk pergi ke kantor dan bekerja. Ia harus tetap mencari nafkah.

Kawan saya itu sesenggukan karena hatinya bilang dialah yang membawa sang malapetaka ke rumahnya. Ia merasa bersalah telah menyebabkan keluarganya menderita seperti ini.

Ia menangis karena itu.

Dan, saya tidak bisa berkata banyak, selain mencoba berusaha memintanya untuk mencoba tetap positif. Walau saya tahu, apa yang saya katakan tidak berarti apa-apa. Saya tidak yakin apa yang saya ucapkan akan meringankan beban di hatinya.

Saya tahu itu karena saya sendiri tidak yakin dengan kata-kata saya sendiri.

Saya tahu di dalam hati saya ada rasa yang sama. Rasa takut dan khawatir. Bukan tentang keselamatan diri sendiri, tetapi karena saya takut bahwa saya bisa menjadi biang bahaya bagi orang-orang yang saya sayang, si Yayang dan si Kribo.

Saya takut menjadi pembawa malapetaka itu ke rumah. Saya tidak mau kedua orang kesayangan saya itu tersakiti. Apalagi penyebabnya adalah saya sendiri.

Bisa terbayangkan rasa sakitnya di kepala saya dan saya paham mengapa pria ini, seorang ayah, sampai menangis. Sakitnya pasti luar biasa. Jarang-jarang seorang ayah akan menangis, kecuali rasa sakit itu sudah tidak tertahankan.

Dam, saya tahu sia-sia saja mencoba menenangkannya.

Saya membiarkannya menangis sampai selesai. Setidaknya itu akan melegakan hatinya sedikit.

Sementara saya terdiam, saya tahu rasa cemas, khawatir semakin membesar dan tentunya “rasa tak berdaya” yang kembali menggunung. Saya tahu, tidak akan ada banyak hal yang bisa dilakukan, selain mencoba mendorongnya tetap berpikir positif.

Dan, rasanya, semua itu membuat hati saya yang baru pulih sejenak, kembali terlalu penuh dengan banyak hal dan susah merasakan apa-apa, selain kesedihan dan kekhawatiran.

Covid sucks

(Bogor 26 Januari 2021, saat semua rencana menulis batal)

6 thoughts on “Ayah Yang Menangis”

  1. Keluarga masih meminta saya berkunjung, dan saya nggak se-kuat Mas Anton yang bisa menolak. Kemarin akhirnya saya datang, dan nggak bisa berhenti was-was setelahnya. Sinus saya kumat, langsung mikir, bagaimana kalau saya sakit dan saya menularkan. Saya batuk sedikit, langsung mikir, bagaimana ini, kemarin saya habis berkunjung ke rumah paman x dan bibi y.

    Semoga kita semua selalu dilindungi kesehatan dan diberikan yang terbaik, serta semoga saya bisa lebih “judes” lagi untuk menolak ketika diminta mampir ke rumah keluarga yang sudah lanjut…. sampai sekarang, saya masih khawatir. Nggak sebanding harganya dengan kunjungan yang hanya satu-dua jam. 😔

    Reply
    • Aaaminn… semoga ya Mega.

      Memang tantangannya begitu Mega. Terkadang pola pikir kita dan keluarga tidak sama. Jadilah sering hadir situasi yang sebenarnya tidak menyenangkan.

      Makanya saya pilih sering menolak. “Ga papa deh, demi kebaikan bersama”. Hahahah ga usah judes atu Meg.. jelaskan saja pandanganmu dan bilang ga bisa. Cuma percayalah, ga menyenangkan loh menolak, tapi saya pikir harus demikian

      Semoga Mega dan keluarga juga selalu sehat dan berada dalam lindunganNYA yah..

      Stay Safe Meg

      Reply
  2. Sudah pernah merasakan paniknya seperti itu Bapak, dan jadi mengerti sekali, mengapa banyak orang yang hampir gila karena Covid ini, entah kapan berlalu.

    yang menyebalkan lagi, ketika seperti apapun virus ini, orang-orang harus keluar rumah, mencari nafkah.
    Bahkan yang mungkin terinfeksi dan positif, mau nggak mau harus keluar karena anak istri menunggu di rumah dengan penuh harap.

    Hanya bisa berdoa, semoga kita semua selalu dilindungi-Nya, dan segeralah pergi wahai pandemi

    Reply
    • Iyah, saya nggak menyangka kalau kawan saya itu sampai sesenggukan di telpon. Padahal dia badannya gede dan gagah, cuma tekanannya berat sekali dan dia butuh pelepasan.

      Alhamdulillahnya malam dapat kabar, istrinya sudah negatif dan boleh pulang ke rumah. Tinggal si Omanya saja.

      Berat Rey, kalau Covid itu menimpa keluarga, tekanannya bisa berlipat… Makanya mending dicegah.. hadeeuh dah..

      Modalnya cuma disiplin, sabar dan tegas ajah Rey.. Ga ada jalan lain

      Reply
  3. Saya jadikan satu saja komentar tentang artikel sebelum ini yang berjudul My Call.

    Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas kejadian yang menimpa keluarga dari istri ente Kong… Yaa apapun masalahnya umur manusia siapa yang tahu…Dan atas kejadian ini antisipasi yang ente lakukan terhadap keluarga sang istri benar adanya dan luar biasa….Mencegah lebih baik dari pada ada kejadian dua kali karena penularan dari covid 19 ini yang semakin hari, Semakin menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang.

    Dan yang kedua ini malah teman sekolah SD dari si Kribo…Sehebat-hebatnya atau sekuat apapun seorang ayah hal wajar jika ia menangis, Terlebih apa yang ia tangisi bagian dari keluarga tercinta, Siapun orangnya pastinya akan melakukan hal yang sama jika salah satu orang tercinta atau keluarganya punya masalah dengan covid 19 Yang entah kapan berakhirnya.

    Dan apa yang ente alami hampir sama dengan yang ada dikeluarga saya jadi ceritanya seperti ini.

    Sewaktu habis liburan dari Bandung ibu saya mendadak penyakit tulangnya kambuh kembali bagi saya tidak masalah karena punya dokter langganan spesialis tulang atau Orthopedi….Namun nggak sampai disitu saja, Urusan penyakit tulang selesai penyakit mata ibu sayapun entah mengapa berbarengan dan kumat lagi…Bahkan semakin parah kata dokter matanya. Sang dokter tak sanggup menangangani kondisi mata ibu saya yang Glukomanya sangat tinggi sampai diangka 54.

    Dan sang dokter kembali menyarankan kepada saya untuk berobat ke JTEC ( Jakarta Timur Eye Center ) Akhirnya mau tidak mau saya harus membawa ibu saya kesana sekaligus operasi mata. Tadinya ingin menggunakan Bpjs karena harus antri dan berbelit2, Ditambah lagi ditempat tersebut ada yang bilang rawan Covid 19…Terlebih pendaftaran bpjs penuh dengan antrian yang bikin saya was2 akan adanya virus Covid 19. Tak mau ambil resiko saya memilih membayar biayaya operasi mata tersebut.

    Karena ingin safety biayayanya pun cukup mahal….Setelah berembuk dengan keluarga akhirnya kakak saya yang perempuan sanggup membantunya dan membayar semuanya dengan syarat ia tidak mau tahu urusan dan tetek bengek persyaratan operasi. Akhirnya urusan itu jadi bagian saya… Meski boleh dikatakan penuh dengan drama yang cukup menegangkan.

    Akhirnya singkat cerita urusan operasi selesai sayapun sedikit lega meski sampai hari ini harus tetap masih menemani ibu saya untuk berobat jalan atau kontrol kesehatan matanya.

    Namun setelah itu saya kembali dikagetkan dengan berita duka cita dari keluarga istri saya yang berada di Cikarang Bekasi….Beliau meninggal karena covid 19….Sayapun keberatan untuk kesana… Dan melarang istri saya juga kesana…Bahkan dari pihak keluarga saya tidak ada yang minat untuk menjenguk bukannya tidak mau, Tapi tidak mau kena resiko dan merugikan keluarga yang sehat.

    Akhirnya solusinya setelah dikuburkan ditempat pemakaman khusus covid 19, Dua hari kemudian barulah saya datang hanya berdua bersama mertua saya…Itupun terpaksa, Karena adat Minang katanya kalau saudara meninggal minimal ada perwakilan 2 orang dan jangan sampai lebih dari 3 atau 4 hari baru datang…Saya mengerti cuma keadaan yang bikin saya jadi harus menjadi raja tega.

    Panjang sebenarnya kejadiannya kong, Cuma yaa hampir 11 12 seperti yang ente alami…..Bahkan atas kejadian itu saya dan mertua tidak langsung pulang kerumah…Karena tidak mau berpikir untung2,an akhirnya saya melakukan SWAB bersama Mertua…Alhamdullilah negatif….Sampai hari ini meski drama itu telah berlalu pikiran saya jadi selalu bercabang2 dan mudah resah, Karena masih tetap harus mengantar ibu saya control mata ke rumah sakit…Memang hanya penyakit mata tetapi mendengar Covid 19 yang entah kapan berakhirnya saya agak risih bila berada dirumah sakit…Bahkan hampir sebulan ini jadi nggak mood yang namanya ngeblog atau nulis… Paling kalau lagi angot cuma komentar2 saja diblog teman2.

    Intinya meski beresiko seperti apapun kalau saya pribadi memang tetap harus mencari nafkah untuk keluarga dan berharap semoga covid 19 segera berakhir yee kong….Dan saya juga berharap semoga ente sekeluarga selalu mendapatkan perlindungan dari Allah.S,W,T dan dijauhkan dari bala covid 19… Amiinn 🙏🙏

    Reply
    • Ahh.. Tong, dikau juga yang sabar yah. Turut berduka cita terhadap berpulangnya sanak saudara dari istri. Semoga beliau diberikan tempat yang layak di sisiNYA yah.

      Pantes ga lihat batang hidungmu padahal bulak balik ke blog. Rupanya sama sedang puyeng yah..

      Yah, pasti berat lah Tong. Gue juga ngerasa berat, tapi apa mau dikata, pan keputusan harus diambil yah. Suka ga suka demi orang tersayang.

      Sama lah tong, gue juga deg degannya seperti apa setiap pulang gawe dan cemasnya kayak apa. Cuma tetap harus dijalani.

      Sekali lagi gue turut berduka cita yah. Juga semoga dikau dan keluarga selalu berada dalam lindinganNYA dan kita semua bisa melewati situasi berat seperti sekarang ini.

      Aaamin..

      Take care Tong dan stay safe yah..

      Reply

Leave a Reply to Satria Mwb Cancel reply