Bandara

Dasar orang kampung!

Kalau baca tulisan kawan-kawan blogger, saya pikir, saya memang termasuk kalangan wong kampung. Di masa pandemi seperti sekarang, banyak sekali yang menuliskan betapa mereka kangen suasana bandara.

Bahkan, ada yang mengatakan sampai sakau karena tidak pernah lagi traveling kemana-mana dan harus #dirumahaja.

Rupanya, si Covid-19 ini sudah bikin menderita banyak orang karena semakin jarang melewati bandara untuk bepergian.

Sementara saya kebalikannya. Boro-boro kangen, malah bersyukur banget sudah beberapa tahun tidak pernah lagi mendapatkan jadwal bepergian menggunakan pesawat. Belakangan tugas lebih banyak berada di belakang meja kantor saja, dan setahun terakhir di meja kerja di rumah saja.

Tidak sedikitpun terselip rasa sedih atau galau tidak lagi bepergian. Justru saya bersyukur dengan tidak pernah diperintahkan si Bos pergi kemana-mana lagi.

Saya tidak menyukai bandara.

Tentu saja, tidak begitu saja terjadi. Dulu, ketika pertama kali diberi tugas ke luar negeri, saya bersemangat juga. Saya bisa melihat dunia luar. Meskipun pada perjalanan pertama, saya sempat “kacau” karena masalah perut yang kaget harus makan selain nasi dan ikan asin, saya mensyukuri bisa diberi kesempatan bepergian melihat belahan dunia lain.

Sekali, dua kali, dan setelah beberapa belas kali, rasa tidak suka pada airport dan suasananya belum hadir. Tugas adalah tugas dan harus dijalankan.

Hanya saja, satu ketika, setelah si Kribo lahir, rasa tidak suka saya terhadap bandara mulai tumbuh. Benar-benar tidak suka.

Mungkin, hal itu timbul karena ketidaksengajaan saja. Baru dua minggu putra semata wayang saya lahir, saya harus pergi ke Eropa selama lebih dari dua minggu.

Baru saja masuk ke pelataran bandara, melakukan check out, ada rasa di hati saya yang terus memberontak. Rasa ingin pulang dan bertemu kembali dengan si Kribo dan si Yayang biasanya langsung membesar tak tertahan.

Berat sekali rasanya.

Selama perjalanan, rasa itu tidak pudar. Saya merasa terasing dan terbuang dari lingkungan orang-orang tersayang. Selama bertugas pun, tidak mudah sekali menyelesaikannya karena hati terasa berat.

Ingin rasanya bisa mempercepat waktu supaya segera tiba hari kepulangan.

Semua baru lepas ketika saya mencium kembali bau rumah yang berantakan, melihat muka si Kribo dan si Yayang. Barulah beban berat di hati menghilang.

Pernah saya berpikir itu situasi itu hanya sementara saja. Begitu si Kribo besar, saya “pasti” bisa kembali tenang dan memandang bepergian itu sebuah hal yang normal. Sayangnya, ternyata tidak.

Sejak itu pula, setiap pergi ke bandara, dengan alasan apapun, merasakan suasananya, mencium bau kopi dari kafe di sana, hati tiba-tiba menjadi berat. Rasa terasing kembali tumbuh di dalam hati.

Butuh waktu beberapa lama biasanya untuk mengendalikan diri dan perasaan itu bisa dikekang. Salah satunya dengan mengingat bahwa apa yang saya lakukan adalah demi si Yayang dan si Kribo. Tanpa itu, beban itu terasa sekali mengganjal.

Perasaan tercerabut dari tanah tempat berpijak akan membesar.

Bahkan, saat company gathering sekalipun, kalau tidak ingat saya seorang staf senior dan diperlukan untuk mengawal dan membimbing rekan lain, yang hampir semuanya wanita, saya akan menolak.

Saya tidak mau perasaan itu hadir lagi di dalam hati. Menyakitkan.

Jeleknya, terkadang, saat saya masuk mall perasaan itu kadang sekilas muncul. Bau kopi dan makanan di mall yang mirip bandara kerap memicu rasa aneh itu hadir di hati. Tidak nyaman sekali.

Setelah dicoba dipikir, saya rasa itu memang disebabkan oleh fakta bahwa saya adalah anak kampung yang biasa tinggal dalam lingkungan kekeluargaan yang kuat.

Saya sepertinya harus selalu berada dekat terutama dengan dua orang kesayangan itu. Tidak bisa tidak. Betapapun “menyenangkan” melihat dunia tidak sebanding dengan berada di tengah keduanya.

Mungkin, hal itu tidak akan terjadi kalau saya bepergian bersama dengan keduanya. Meski, mungkin juga rasa itu tetap akan ada.

Tapi, yang jelas, tidak sedikitpun ada rasa kangen terhadap bandara. Saya lebih suka naik KRL, si Commuter Line setiap hari. Mau setiap hari juga tidak apa-apa

Mungkin karena saya tahu, KRL tidak akan menjauhkan saya dari dua orang terpenting bagi saya itu.

Maaf, saya tidak kangen sama bandara.

Apa daya, saya memang orang kampung sih.

(Bogor, saat jam menunjukkan menit pertama di hari kedua bulan April, 2021)

2 thoughts on “Bandara”

  1. waktu pertama kali naik pesawat, saya excited banget sama bandara. tapi entah mengapa makin ke sini, yang ada malah malas, was-was, dan juga nggak nyaman.

    mungkin karena umur bertambah, tapi saya yakin karena sejauh ini pakai pesawat lebih karena untuk tugas kantor dan bukannya jalan-jalan. hahaha…

    kalau mas Anton ke Bandara bersama orang-orang tersayang, liburan sama mereka selama dua minggu, misalnya, mungkin rasanya beda ya?

    Reply
    • Yupp.. bisa jadi, saya pikir kalau saya bepergian sama keluarga suasananya akan berbeda, walau tetap ga bisa yakin 100% hahahahaha Tapi nanti kalau sudah jadi travel blogger berdua, saya ceritain deh.. wkwkwk lama..

      Iyah waktu pertama memang semangat, cuma semakin ke sini semakin males dan semakin ga nyaman buat saya mah.. Kupikir cuma saya doang yang begitu..

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply