Berat Badan

“Pak Anton kayaknya gemukan yah”?, celetuk tetangga, si mantan Ketua RT semalam. Sudah hampir satu tahun kita tidak ngobrol karena pandemi.

Saya iyakan.

Bukan cuma dia saja kok yang berpendapat demikian, saya juga begitu. Setiap mandi berkaca, saya melihat pipi yang bertambah gembil. Perut juga terasa agak lebih maju ke depan (bukan ke belakang).

Yang mengkonfirmasi kalau saya tambah gemuk alias bertambah berat badannya, lucunya bukan si timbangan badan yang menunggu di salah satu pojok RSSSSSSS (S ada 7). Bukan juga si Yayang karena dia juga sedang lebih sibuk memperhatikan berat badannya sendiri.

Yang mengatakan dengan jelas adalah “celana jeans” berwarna hitam yang dibeli sebelum pandemi. Benda ini yang memberitahukan bahwa berat tubuh saya naik lumayan drastis.

Benda ini menolak saya masuki. Biasanya bisa menutupi mencapai pinggang tanpa membuat saya sesak nafas. Sekarang, sampai paha saja dia sudah menyerah dan tidak sanggup.

Celana itu sudah menjerit minta dilepaskan dan saya juga sudah tak sanggup menahan memaksa si celana untuk naik lebih tinggi.

Cek punya cek, akhirnya si timbangan yang mengatakan berapa tepatnya kenaikan berat badan saya.

Kenaikannya adalah sekitar 904.000 rupiah, kalau memakai ukuran harga rata-rata daging nasional sebelum puasa dan lebaran, sebesar 113 ribu/kilogram. Kalau memakai harga spesial lebaran, nilai badan saya 64 ribu rupiah lebih banyak, yaitu menjadi 968.000 rupiah kenaikannya dari sebelum pandemi.

Bingung? Kalau pakai kalkulator cepet loh ngitungnya. Saya bertambah kaya dengan 8 kilogram daging dibandingkan sebelum pandemi dimulai.

Daging yang ditimbun karena berkurangnya kesempatan berolahraga dan bersauna di Commuter LIne/KRL, dari 5 kali seminggu menjadi 1-2 kali saja. Jatah merem lebih lama. Tidak perlu banyak nyetir ternak teri (anter anak anter istri) karena mereka juga terpaksa banyak di rumah.

Meski makan sama saja, saya kurang banyak merubah lemak jadi keringat. Hasilnya, berat yang biasa hanya 68 kilogram, sekarang menjadi 76 kilogram.

Kegemukan? Tidak juga. Dulu si Yayang bilang saya agak kekurusan karena tinggi 176 dan berat 68 kilogram, agak kurang ideal katanya. Dengan berat sekarang pun sebenarnya masih OK, yang jelas masih tidak membuat saya terengah-engah kalau berjalan. Masih santai.

Yang paling membahayakan cuma, semua celana terasa agak sempit. Bahaya mengancam terhadap dompet karena kalau semua celana sudah tidak muat, berarti harus merogoh dompet untuk membeli yang baru.

Yang lain, tidak masalah.

Harus diet? Tidaklah. Kenapa saya harus menyiksa diri, sejauh semua sehat-sehat saja tidak ada yang perlu dilakukan? Kenapa juga harus ngikutin para artis atau pesohor, kan saya bukan mereka.

Lagipula, berat badan kan seperti kehidupan juga, kadang naik, kadang turun.

Palingan juga tetangga yang bilang agak gemukan. Dan, saya juga tidak perlu khawatir dikomplen si Yayang. Dia terlalu sibuk mengkhawatirkan berat badannya sendiri, bahkan sejak sebelum pandemi.

Mungkin baru nanti kalau saya bilang semua celana sudah tidak muat, barulah dia sadar ada “bahaya” yang mengancam.

Untuk sementara semua masih aman. Juga, kenapa harus menolak rejeki 904 ribu. Lumayan kan

(Bogor 3 April 2021, dengan mata masih agak sepet, baru bangun, karena semalam begadang)

4 thoughts on “Berat Badan”

    • Nah itu silakan mikir sendiri kalau ke belakang gimana.. saya tidak syaanggup berpikir itu.. wkwkwkwk Jadi bener kan maju ke depan..

      Ogahhhh… mahal.. bukan dietnya, beli celananya lagi mayan juga tuh.. wkwkwkwk

      Beli sendiri lemaknya di pasar banyak.. hahahah

      Reply
  1. Persoalan semua orang di masa pandemi ini emang berat badan Om, saya juga semakin melebar perutnya.. nambah beratnya ngeri udah deket sama 1 kintal, jadi gempal banget πŸ˜…

    Sama kayak Om Anton juga, celana udah pada nggak sanggup masuk, akhirnya jadi beli celana yang ukuran lebih gede lagi…

    Mau olahraga juga cuma wacana.. πŸ˜†

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply