Bertengkar

Bertengkar. Berantem. Beradu mulut. Berdebat.

Semua itu sering saya lakukan selama 20 tahun hidup bersama dengan si Yayang. Bukan sekali dua, kalau dihitung sebenarnya sudah puluhan dan ratusan kali hal yang seperti ini terjadi dalam pernikahan kami.

Namun, mayoritas orang melihat kami adalah sebuah keluarga yang harmonis.

Pada kenyataannya, memang demikian. Kami berdua merasa bahwa kehidupan pernikahan kami memang harmonis. Kami bahagia.

Harmonis kok bertengkar dan berantem? Yah, memang harmoni itu sama artinya dengan tidak ada perbedaan, tidak ada masalah, tidak ada perbedaan pendapat, dan semua selalu mufakat? Nggak juga kali.

Kami berdua “menerima” bahwa kami tidak dicetak dengan bentuk yang sama, otak dan perasaan yang sama. Kami berbeda satu dengan yang lain. Itu fakta dan kodrat yang tidak terbantahkan.

Oleh karena itu, ketika menikah dulu, kami berdua menyadari bahwa ada saatnya pemikiran kami tidak selalu sama. Tidak pernah terpikirkan di kepala kami bahwa pernikahan kami akan seperti dongeng dimana suami dan istri tidak akan pernah bertengkar. Tidak ada bayangan itu di dalam kepala kami.

Bahkan, kami juga punya kesadaran meski tidak terucapkan kalau “perjalanan bersama” kami akan penuh dengan tantangan, terutama dalam melakukan sinkronisasi keinginan, ego, dan pemikiran.

Pertengkaran, saling adu mulut, berantem memang sudah diharapkan terjadi sejak awal. Tidak ada bayangan romantis dan ideal tentang “saling pengertian” dan “saling memahami” sehingga tidak ada konflik. Buat kami, hal itu sebuah bullshit saja.

Tidak heran dalam perjalanannya, terutama di awal, selain manisnya bulan madu dan kehidupan berumahtangga, kami juga mengalami pertengkaran. Perbedaan pendapat sering terjadi.

Namun, semakin lama kami hidup bersama, semakin tahu pula, saya atau si Yayang tentang karakter masing-masing dan berujung pertengkaran semakin berkurang.

Saya tahu kalau setelah bertukar pikiran, kemudian dia diam dan manyun serta tidak mau berbicara dengan saya selama 1-2 hari, berarti dia ngambek. Begitu juga sebaliknya, kalau muka saya kusut habis berbeda pendapat dengannya, berarti saya sedang mutung.

Setelah itu biasanya masing-masing pihak akan saling berdiam diri 1-2 hari. Barulah setelah itu ada “tindakan”. Kalau tidak saya dengan manja minta dibuatkan kopi, maka si Yayang yang akan buka suara menanyakan “Mau menu apa hari ini mas?”.

Bisa juga diam-diaman itu berakhir kalau saya memeluknya dan kemudian mengajaknya bergosip tentang tetangga sebelah. Atau, si Yayang yang tiba-tiba mencium pipi sambil membawakan kopi dan makanan kecil ke meja kerja (kayak iklan teh Sari Wangi).

Selalu ada pihak yang mulai mengajak berbaikan. Tidak pernah perseteruan kami berjalan panjang.

Pernah saya berpikir mengapa bisa begitu. Padahal kami jarang membaca berbagai teori pernikahan dari para “ahli” atau yang mengaku “ahli”. Kami memang keras kepala dan memutuskan bahwa kami punya jalan sendiri, dan saran para ahli itu hampir semuanya berakhir di “tempat sampah”. Tidak mau kami bergantung pada pemikiran orang lain.

Yang saya temukan mungkin terdengar lebay, tetapi 1-2 hari sudah cukup memberi “pelajaran” kepada saya setelah bertengkar tadi. Ada rasa kosong dan tidak nyaman di hati saya. Samalah rasanya, kira-kira dengan situasi kalau sedang menempuh perjalanan dan teman seperjalanan kita hanya ngorok dan tidak bersuara sama sekali. Bosan, jenuh, tidak nyaman.

Saya yakin hal itu mutual, alias di kedua sisi. Si Yayang sangat mungkin merasakan hal yang sama. Kami seperti kehilangan sesuatu kalau tidak ada celotehan yang lain.

Yang seperti ini tidak bisa digantikan oleh orang lain. Mau saya ngobrol panjang dengan tetangga bahas hal yang disuka pun hanya bisa mengalihkan perhatian sebentar saja. Setelah itu biasanya tetap ada rasa kangen mendengar celotehan wanita keras kepala itu.

Setelah dipikir lebih lanjut, mungkin hal itu terjadi karena rasa sayang, yang mendasari kami bersatu itu 20 tahun yang lalu itu, tetap ada. Terpupuk dengan baik.

Bukan hanya oleh momen mesra dan romantis saja, tetapi karena pertengkaran itu sendiri menambah kesadaran bahwa kami saling membutuhkan satu sama lain. Dengan begitu kami saling mengerti dan memahami pasangan kami apa adanya. Kami belajar berkomunikasi dan mengantisipasi apa yang akan dilakukan pihak lain, serta kemudian melakukan tindakan berdasarkan hal itu.

Itulah mengapa kami berdua tidak akan mengharamkan pertengkaran. Kami menerimanya sebagai bagian perjalanan.

Bagi kami hal itu juga merupakan bagian dari pendewasaan kami sebagai tim dan keluarga. Bahkan, saking tidak mengharamkannya berantem, saya pernah berkata kepadanya, “Kalau saya marah sama kamu, bukan berarti saya nggak sayang loh. Saya marah karena memang merasa perlu marah saja, bukan karena benci. Saya tetap sayang kok sama kamu“.

Lagi pula, setelah dua dekade, saya pikir, kami berhasil memupuk rasa sayang yang ada di hati masing-masing sehingga tetap terawat dan tetap kuat seiring menuanya kami. Bukan tanpa tantangan dan hambatan, tetapi kami dengan percaya diri akan mengatakan, “Yes, we did”.

Hanya, ada satu pertanyaan besar yang menyeruak dalam hati, “Bagaimana situasinya ketika salah satu dari kami “pulang” lebih dahulu?“. Si Yayang pernah bertanya hal yang satu ini, ujungnya semua menjadi terkesan suram. Kami bisa membayangkan rasanya karena sudah berulangkali kami kehilangan orang yang kami sayangi.

Hanya saja, pada akhirnya kami sepakat, hal itu di luar kemampuan kami sebagai manusia untuk menjangkaunya.

Kami tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Jadi, kami memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Yang penting bagi kami sekarang adalah menikmati apa yang ada dan tidak perlu membebani diri dengan sesuatu yang tidak bisa kami kontrol.

Mungkin karena itulah, kami berdua bisa menikmati perjalanan bersama kami.

Kami sudah bertengkar banyak. Jelas, kami akan bertengkar lagi di masa yang akan datang. Mohon maaf kepada para ahli atau yang mengaku ahli perkawinan, kami berdua punya jalan sendiri dan tidak bisa ikut pandangan mereka untuk selalu saling mengerti. Kami menikmati pertengkaran kami.

Semua itu, mungkin karena kami begitu percaya diri kalau pertengkaran yang kami lakukan berlandaskan rasa sayang, bukan rasa benci.. Juga kami tahu bahwa berantem seperti itu tidak merusak tim kami dan bahkan justru memperkokohnya.

Semua itu kami terima karena kami adalah dua orang berbeda yang sedang melakukan perjalanan yang sama.

(Entah kenapa, beberapa hari ini, meski bukan Cinderella dan Pangeran Tampan, kami merasa kalau kehidupan bersama kami dibuatkan menjadi tulisan, ceritanya akan lebih menarik daripada kisah legendaris itu)

Bogor, 4 Juli 2021 (20 tahun plus 3 hari setelah pernikahan kami)

4 thoughts on “Bertengkar”

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply