Cinta Sang Kutu Buku Mau Diambil Orang

Kutu buku, kalau menurut gambaran dari film-film remaja hingga orangtua selalu digambarkan sebagai seseorang berkacamata, canggung, dan agak aneh. Mereka selalu diimajinasikan sebagai orang agak anti sosial dan tidak pandai bergaul.

Tidak sedikit juga digambarkan kalau perhatiannya lebih besar kepada buku daripada sekitarnya.

Orang dalam kategori ini tidak jarang dianggap tenggelam di dunianya sendiri. Tidak peka terhadap situasi sekitarnya.

Dan..

Saya seorang kutu buku.

Ajaran dari orangtua untuk gemar membaca agar menjadi anak pintar telah membuat saya menjadi seorang yang sulit lepas dari kegiatan membaca. Apa saja.

Saat kecil, bapak dan ibu, yang juga masuk kategori pembaca yang akut, selalu menyisihkan sebagian penghasilan untuk membeli bahan bacaan. Bapak biasa membeli majalan serius, seperti Tempo, Intisari atau Jakarta-Jakarta. Ibu sendiri berlangganan koran Kompas dan Media Indonesia meski seringkali saya curiga hal itu karena ibu tidak tega terhadap penjualnya yang sudah dikenalnya sejak remaja.

Untuk anak-anaknya, ibu dan bapak berlangganan Bobo dan Hai. Kami juga berlangganan di tempat penyewaan buku dekat rumah dimana kami menyewa komik, cersil (cerita silat) karya Asmaraman Khoo Ping Ho.

Padahal, jelas gaji setiap bulan tidak terlalu besar, tetapi kedua orangtua saya itu ingin anaknya terus “belajar” bukan hanya di sekolah saja. Mereka ingin kami terus membaca.

Hasilnya?

Kami empat bersaudara, selain kakak, semua berkacamata sejak masih SD. Kakak berkacamata setelah kuliah. Bapak dan ibu juga demikian, mengenakan kacamata.

Mirip lah dengan film “Keluarga Markum” yang menggambarkan keluarga kutu buku dan penuh kecanggungan.

Saya terutama menjadi pelahap bacaan jenis apa saja. Mulai dari majalah remaja, Bobo, majalah serius bapak. Semua saya baca. Bahkan tidak jarang, potongan koran bekas bungkus ikan asin pun saya baca sebelum dibuang ke tempat sampah

Kebiasaan ini terus berlangsung sampai dewasa.

Saat kuliah kegemaran itu terus berkembang. Saya kerap berburu buku bekas di Pasar Senen atau dimanapun. Menyenangkannya, fakultas tempat saya belajar, sering mengadakan bursa buku bekas di kampus dimana saya sering membeli buku bekas jenis apapun.

Tidak jarang, uang bekal dan ongkos saya belikan buku. Tidak peduli genre atau jenis apapun, mau novel, mau teori sejarah dan politik, selama terjangkau uang jajan, saya akan beli.

Buku bekas dan covernya sudah rusak adalah incaran karena biasanya dibandrol murah sekali saat bursa buku seperti itu. Harganya saat itu kerap membuat kaget juga, yaitu 3 buku untuk seribu rupiah. Padahal, buku seperti itu ditulis dalam bahasa Inggris. Entah kenapa dijual murah, tetapi buku bekas seperti inilah yang selalu menjadi incaran saya, si kutu buku.

Bahkan, ada buku pelajaran sejarah berbahasa Inggris keluaran luar negeri yang berusia lebih dari satu abad saya beli seharga 25 ribu rupiah saja. Padahal, kalau melihat bandrol harga sekarang, saya pikir harganya pasti berlipat lipat.

Sampai sekarang, sebagian buku itu masih tersimpan di rumah kami dulu. Sebagian ada yang sudah dipindahkan ke rumah setelah menikah.

Selepas kuliah dan bekerja, kegemaran membaca bukannya makin surut. Justru semakin besar karena sudah mendapat penghasilan sendiri. Setiap bulan, selalu ada bagian yang disisihkan untuk membeli bahan bacaan, jenis apapun.

Apalagi, banyak sekali waktu luang saat berangkat dan pulang kerja di atas kereta. Biasanya waktu itu saya habiskan dengan membuka buku dan membaca. Tidak peduli seberapapun padatnya kereta di masa itu, saya tetap akan membaca.

Hasilnya kemana-mana, teman pertama saya adalah “buku”.

Yah saya seorang kutu buku.

Apakah Kutu Buku Anti Sosial dan Tenggelam Dalam Dunia Sendiri?

Tidak juga sih.

Saya memang berkacamata tebal, seperti gambaran seorang kutu buku. Saat itu mata sudah minus lebih dari 5. Maklum keseringan membaca sambil tiduran dan dalam gelap.

Sikapnya juga mirip karena jarang ngobrol dengan orang lain atau bahkan teman. Bahkan, ketika saya secara tidak sadar bergabung dengan salah satu kelompok anker (anak kereta). Tetap saja, saya malas ngobrol ngalor ngidul. Lebih menyenangkan membaca buku.

Tapi..

Saya tidak anti sosial. Buktinya, saya punya pacar, si Hes yang sekarang menjadi si Yayang. Tidak berapa lama setelah bekerja, saya bertemu dengannya di rumah teman sekereta. Sejak itu ia pun ikut menjadi anak kereta dan bergabung dengan kelompok kami.

Beberapa bulan kemudian, saya memintanya menjadi pacar saya dengan cara yang sangat tidak romantis. Ia bersedia.

Hei, biar saya kutu buku, saya pacaran juga. Artinya, saya tidak anti sosial.

Meskipun demikian, tetap saja kebiasaan tidak berubah. Meski saya sudah punya pacar, gaya pacaran kami ala kutu buku. Ia ngobrol dengan teman yang lainnya, saya terus membaca dan membaca sepanjang perjalanan pulang dan pergi.

Memang kadang ikut ngobrol, tapi kutu buku ya tetap kutu buku. Mata tetap tertuju pada barisan huruf-huruf di kertas daripada bercengkerama dengan pacar. Tidak seperti sepasang insan di depan kelompok kami yang selalu bergandengan tangan dan sibuk berbicara berdua, seakan dunia milik berdua dan yang lain ngontrak.

Mungkin ada benarnya bahwa seorang kutu buku tenggelam dalam dunianya sendiri.

Saya saat itu memang seperti itu.

Cinta Sang Kutu Buku Mau Diambil Orang

Satu tahun lebih kami berpacaran, dengan gaya ala kutu buku, di KRL jabodetabek yang penuh sesak, seorang cowok bergabung dengan kelompok kami

Namanya W**i.

Ia kakak kelas di SMA Negeri 1 Bogor dan teman seangkatan salah seorang anggota kelompok kami.

Perlente. Pakaiannya selalu rapi. Ganteng. Kalem. Jauh lebih rapi dan dandy dibandingkan saya yang selalu menenteng tas ransel kemana-mana.

Keren.

Saya acuh saja.

Mau tambah teman juga tidak masalah. Kelompok kereta jadi lebih ramai. Lebih enak, begitu setidaknya pikir saya.

Dan, saya tetap sebagaimana seharusnya kutu buku, membaca buku.

Saya tidak menyadari kebiasaan baru dari sang pendatang baru itu. Ia selalu berusaha duduk bersebelahan dengan Hes. Tidak jarang dia memberikan tempat duduknya kepada si calon Yayang saya. Hes diperlakukan spesial.

Saya benar-benar tidak menyadari. Cuek seperti bebek.

Tidak ada pikiran macam-macam. Tidak berpikir aneh-aneh juga melihat si W**i selalu turun berbarengan dengan Hes. Katanya sih kantornya lebih dekat kalau turun di Cikini, stasiun Hes turun.

Sampai suatu sore hari, sepulang kerja dan saat menanti kereta, Hes mengatakan sesuatu yang bikin kleyengan.

“Mas, tahu nggak?”, katanya dengan senyum jahil terlihat di mukanya.

“Apa Neng?:, tanya saya masih cuek.

“Tadi pagi, pas turun kereta..”

“W**i nembak aku”, katanya sambil masih nyengir.

“Dia bilang dia suka aku”, lanjut si cewek kriwil ini.

“Haahhhh… Terus?”, entah kenapa tiba-tiba debaran jantung seperti sedang lari. Terbayang juga pengalaman menyebalkan di masa lalu. Rasa cemas naik level dengan cepat. Langit tiba-tiba seperti gelap (maklum dalam stasiun dan terhalang atap).

“Ya… aku bilang nggak bisa. Aku sudah punya pacar”, jawab si calon Yayang.

“Terus…”, tanya saya sambil agak lega sedikit.

“Dia nanya..memang siapa pacarmu?”, jelas si calon Yayang.

“Terus….”, tanya saya penasaran sambil merasakan kelegaan di hati.

“Ya, aku jawab saja.. Itu yang di depan kamu”, jawab si calon Yayang.

“W**i langsung diam dan mukanya keliatan kaget, Mas”, sambungnya lagi.

“Ohhh…”, mulut saya monyong dan tiba-tiba dunia terasa cerah ceria dan rasa lega mengalir deras di dalam hati.

“Terus..?”, tanya saya lagi, walau sebenarnya sudah tidak penting lagi. Yang terpenting saat itu, Hes tetap memilih saya. Yang lain saya tidak peduli.

“Ya sudah. Dia diam dan langsung pergi”, tutup si Yayang.

“Okeh”, kata saya. Sambil tangan saya meraih tangannya dan sore itu, saya tetap menggandeng tangannya sampai naik kereta.

Sang kutu buku tetap punya cinta sore itu.

Epilog

Cinta itu bertahan dan sampai pada ujung yang diharapkan, pelaminan. Beberapa tahun kemudian, saya dan Hes menikah.

Dan..

Saya tetap kutu buku, walaupun tidak separah sebelum peristiwa itu. Setelah kejadian itu, saya selalu berusaha meluangkan waktu dan perhatian untuk si Hes, cewek yang mau menerima adat si kutu buku yang terlalu cuek.

Ia bisa menerima saya, tetapi bukan berarti saya tidak perlu berubah. Jadi, saya merasa perlu melakukan perubahan dalam sikap dan tingkah laku. Cara pacaran kami mengalami perubahan dan perkembangan.

Meskipun tetap saja, kesukaan saya membaca buku tidak berhenti. Kebiasaan bergaul dengan buku terus berlanjut, meski sedikit demi sedikit berubah karena saya harus menabung untuk biaya pernikahan kami. Jatah bulanan beli buku, walau tetap ada, jumlahnya mengecil perlahan.

Gelar kutu buku baru berhenti saat si Kribo hadir di dunia. Masalah dengan tidak lancarnya ASI dari cewek yang sekarang sudah menjadi Yayang saya itu, menyebabkan saya memutuskan berhenti membeli buku. Susu untuk si Kribo jauh lebih penting.

Sejak itu, saya berhenti pergi ke Gramedia atau Pasar Senen untuk berburu buku. Saya lebih sering ke supermarket untuk belanja susu.

Berhenti membaca? Tidak juga. Saya melakukan itu kalau berkunjung ke rumah ibu dan bapak, membaca majalah atau buku lama. Juga, ikutan membaca komik koleksi adik bungsu.

Masa saya dengan buku usai saat itu.

Saya kemudian beralih menjadi “petarung” di berbagai forum diskusi online. Berinteraksi dan melakukan brainstorming dengan siapapun lewat internet. Ditambah dengan membaca berbagai tulisan.

Saya menjadi kutu internet, sampai sekarang.

Hubungan saya dengan buku dan toko buku baru pulih setelah si Kribo kecil ternyata mewarisi kegemaran bapaknya. Ia selalu mengajak saya ke Gramedia dimana ia memilih bukunya dan kemudian bapaknya yang membayarnya.

Yang saya lakukan dengan senang hati.

Karena saya tahu manfaat dari bergaul dengan buku. Saya ingin ia merasakan kegembiraan berada dalam dunia ini, seperti bapaknya menikmati masa itu dulu.

Meski, saya berharap ia lebih bijak dari bapaknya, yang terlalu tenggelam dalam dunia kutu buku. Saya sangat tidak berharap ia kehilangan orang yang disayanginya hanya karena buku.

Bogor, 21 Agustus 2020

14 thoughts on “Cinta Sang Kutu Buku Mau Diambil Orang”

  1. Rasanya aku juga akan kalap kalau dihadapkan di bazaar buku dimana harga 3 buku = seribu. Astaga, bisa gelap mata ini mah 😂
    Bahkan buku impor saja harganya sangat miring. Apa bazaar buku ini masih ada? 😂 #salfok

    Btw, aku bersyukur kak Hes nggak pindah hati gara-gara dicuekin terus sama kak Anton 🤣 pas baca cerita ini lumayan deg-degan, dikira ada adegan ribut-ribut di ujung cerita ala sinetron dimana sang wanita mengutarakan isi hati karena kesal sering diduakan oleh buku walaupun akhirnya tetap memilih sang pacar, bukan pria lain 🤣 tapi nyatanya nggak gitu sih. Fiuhhh.

    Bersyukur juga ternyata Kribo menuruni sifat sang bapak yang kutu buku 😁 karena tidak pernah ada hal yang sia-sia dari kesukaan terhadap membaca. Bahkan membaca komik sekalipun, masih ada moral cerita yang bisa diambil kan 🤭

    Reply
    • Hahahahaha.. Maaf telat yah, lagi sibuk ngurusin MM jadi yang ini belum kepegang..

      Nggak tau Lia.. apa masih ada atau tidak. Lagi juga itu kan lebih dari 25 tahun yang lalu. Sekarang pasti harganya nggak segitu dong.

      Nggak .. nggak ada sinetron. Itulah kenapa saya sayang banget sama dia… Dia tetap mau nerima saya apa adanya, tetapi saya sadar harus berubah. Buat kita berdua.

      Iyah, saya juga percaya itu karena saya penggemar komik juga…Jadi saya tahu ada banyak inspirasi yang bisa diambil dari komik sekalipun..

      Reply
  2. Aku kok tetiba curiga …, apa jangan-jangan kita dulu itu pernah, bahkan sering berada dalam satu .. gerbong KRL.
    Karena aku juga pada suatu waktu pernah tiap hari pulang pergi kerja Cilebut – Depok.
    Sayangnya waktu itu aku belum punya blog, jadi ngga kenal mas Anton.

    Lucunya juga, ternyata kita samaan sering beli buku bekas buat bacaan di pasar Senen samping persis terminal 😁.

    Kalau ngga di pasar buku Senen, kadang aku beli buku bekas di pasar Jatinegara yang letak kiosnya dibawah jembatan penyeberangan orang.
    Sekalian lihat macam-macam gelaran aneka barang kalau menjelang sore hari.

    Reply
    • Serius… nih.. bisa jadi mas .. Saya dah 15 tahunan naik KRL dari Cilebut mas Him. Memang dikau dulu dimana kok bisa bolak balik naik KRL rute itu. Kupikir dikau di Jawa Tengah saja.

      Iyah.. itu dulu bangey hobiku kelayapan di Senen. Hahaha..

      Kok kita nggak pernah ketemu yah…

      Reply
  3. Buku bagus harga murah itu biasanya yang jual bukan pemiliknya Mas, entah mungkin dikiloin di tukang loak, abis itu di pilah pilah kalo kondisi kertas masih bagus, barulah harganya di naekin 😂 (waktu masih kecil suka nongkrong di toko buku bekas juga soalnya mas) 😅

    Saya jadi inget dengan seorang teman kuliah yg ternyata adalah teman seangkatan waktu SMK juga tapi lain jurusan, kami jadi temen deket karena pacar temen saya ini adalah cowok yg dulu suka sama saya pas di SMK juga 😂 Jadi dia itu curhat karena kedongkolannya, Si Pacar ini pas pulang bareng persis kayak Mas Anton, tapi mereka ini naik bus yang searah, jadi cuman janjian bareng doang abis itu di bus masing-masing, kayak gitu terus ampe lulus sekolah abis itu udah hilang kontak 😂

    Reply
    • Wakakakakak.. untung saya mah tidak gitu gitu banget si mbak.. sejak kejadian itu, saya “agak” berubah. Biar tetap saja suka banget sama buku.

      Buktinya sekarang sudah hampir 20 tahun kita jadi keluarga.

      Reply
  4. bisa ngiler kalau harga buku 1000 dapat tiga, Mas 😀 . Saya jadi ingat jaman Kuliah dulu juga selalu berburu buku diskonan yaang selalu digelar oleh Kompas Gramedia tiap tahunnya, saya bisa dapat buku-buku bagus seharga 5000 hingga 10.000 sampai koleksi sekarang lumayan.
    memasuki masa-masa kerja jadi jarang membeli buku, karena sadar buku-buku bersegel di rak belum terbaca semua. hihi..

    menyenangkan ya Mas, bisa berjodoh dengan si Yayang. hahaha doakan saya bisa dapat jodoh yang gemar membaca juga, karena menyenangkan bisa berdiskusi gitu sama orang yang sama-sama menyukai buku 😀

    Reply
    • Aaamiiin.. saya doakan dulu juga buat Mbak Rie.. semoga mendapat jodoh yang baik dan bisa membawa kebaikan bagi semuanya..

      Hahahaha… udah nggak ada lagi buku 1000 tiga hahaha.. tapi yang diskonan banyak sekarang..Waduh, sayang banget kalau nggak dibaca mbak.. saya masih pingin baca cuma dengan mata yang minus besar tambah plus tambah silinder, berat kalau harus baca buku..

      Hayo dibaca Mbak Rie..

      Reply
  5. Iya nih sejak ada bocil bocil, mikir mikir dulu kalo mau beli buku baru. Susu dan spp anak jauh lebih penting.
    Mau beli yg bajakan kok gengsi hehe.. Berasa jahat ke penulis. Akhirnya jadi pengejar diskonan di toko toko buku besar. Tapi toko buku besar itu sejam mas dari rumah saya yg di kota pinggiran.
    Akhirnya mengincar diskonan besar di toko buku online yg ada free ongkirnya pula haha emak emak banget ya
    Ini yg nurun maniak buku itu gendhuk sulung saya, sayang adikknya yg cowok kelas 3 sd, belum sampai maniak. Masih harus penuh perjuangan nih untuk membuat si bungsu jadi suka buku.
    Eh, mungkin ini hadiah dari Tuhan, lha kok tahun ajaran ini saya ditunjuk jadi kepala perpus sekolahan tempat saya mengajar. Alhamdulillah, jadi sering memandangi dewretan ratusan buku. Bisa baca buku sepuaasssnya.
    Tapi PR nya juga besar banget: membuat anak anak remaja sma yg rata rata gadget addict itu -jadi tertarik ke perpus. Jadi suka baca

    Reply
    • Alhamdulillah Mbak Dewi…

      Prinsip ekonomi itu penting mbak. Diskon tidak akan mengurangi isi bukunya. Iya kan. Buktinya saya sendiri suka berburu buku bekas karena sampul yang rusak tidak mengurangi apa yang ada di dalamnya.

      Iya rejeki banget tuh mbak bisa jadi kepala perpus.. semangat lo mbakyu.

      Nah, itu masalah utama di zaman ini rata-rata, nggak yang muda saja yang gadget addict, yang tua juga begitu kok. Yang baca dan nulis malah sedikit sekali.

      Tetap semangat ya Mbakyu…

      Reply
  6. nah loh…… nah loh, pelajaran berharga buat si cuek bebek adalah dia harus peka sedikit mas pekaaaaah wkwkwkkw, kalau nda nanti si yayang diambil orang lain, ini kok aku berasa jadi kayak dejavu gini ya baca cerita ini, kayak nuansa post mas yang sebelumnya wkwkwkwk, tapi syukur alhamdulilah sore itu cinta mas anton masih bisa digenggam dalam tangan ya, alhamdulilah bahkan sampai dengan saat ini sampai maut memisahkan amin, deg degan juga aku bacanya hahhahahhaha

    oiya tadi aku mau nanya jakarta jakarta teh sama kayak korjak ga sih yang berbahasa inggris, atau beda?

    kalau di pinggiran tasiun mau ke ui mah emang surganya buku buku murah mas, sama kayak blok m square basement dan cikini…kalau yang di senen ntah sekarang pindah kemana ya, kok aku nda nemu ya #cry…

    wakakka, eh mas anton kan kutu buku banget tuh sampai identik dengan kacamatanya, walau sekarang dah jadi internet ronin aka pendekar interned wakakka, kalau pak suami aku kayaknya doi ga suka baca buku berat hahha, sukanya ya baca anime atau manga hahhaha, jadi di rumah yang suka buku cuma aku thok..tapi meskipun kutu buku aku nda pake kacamata sendiri dibanding 2 saudaraku yang lain

    iisssh ini masalah beli susu kok sama ya kayak cerita kami hahhaha #asyik ada teman aku jadinya

    eh bobonya masih ada pa nda tuh mas huaaa mupeng kalau denger kata bobo jadul

    Reply
    • Hahahaha.. Iyah memang nahlo… saya sempet deg degan waktu itu. Dan ngerasa banget kalau saya kurang care sama si Yayang waktu itu. Sibuk dengan diri sendiri.

      Sejak itu saya cukup berubah dan selalu coba meluangkan waktu tuk dia.

      Bukan Mbul, Jakarta-Jakarta itu bukan the Jakarta Post. Bentuknya majalah dan isinya leih ringan. Mirip blog lah kalau menurut saya mah. Nanti deh kalau rencana saya jadi bikin kliping online, saya akan tampilkan di MM.

      Saya sampai sekarang juga masih penggila manga dna komik Mbul.. hahaha.. Cuma nggak segila dulu lagi.

      Ya iyalah Mbul, saya mah waktu itu jelas kudu milih, kesukaan sendiri atau untuk si Kribo, ya pilihan yang mudah. Hahahaha.. dan saya ngerti banget kalau Mbul ambil langkah serupa, alasannya ngerti banget lah… hahahaha

      Masihhhh.. disimpan di rumah ibu… Masih tersimpan… mungkin nanti saya bagikan juga deh dalam bentuk digital

      Ditunggu yah.. hahah entah kapan bisa terealisasi

      Reply

Leave a Reply to Lia The Dreamer Cancel reply