Dulu

Hari Senin, masih pagi lagi, saat semua orang sibuk dengan segala aktivitasnya, saya justru banyak bengong. Pandemi masih terlalu berkuasa untuk roda perekonomian bergerak lebih cepat. Hasilnya, masih saja terlalu banyak waktu kosong karena orderan masih terlalu sedikit untuk membuat saya sibuk seperti dulu.

Jadilah, saya punya banyak waktu luang.

Ujungnya, saya pagi ini masih justru membuka-buka folder foto-foto lama yang menyimpan ratusan bahkan ribuan foto “dulu” yang dibuat saat pertama kali jadi blogger. Foto-foto yang sebagian masih dibuat memakai ponsel lawas murahan saja.

Saat itu bisa dikata pengetahuan saya soal fotografi masih nol besar. Yang saya tahu hanya mengarahkan kamera tekan tombol shutter.

Obyeknya juga lebih banyak pada keseharian orang di jalan saja. Becak, motor, kemacetan, dan sejenisnya. Tidak pilih-pilih, apapun yang menurut saya menarik, kamera saya arahkan dan “jepret”.

Ribuan foto seperti ini hilang dan tidak bisa dikembalikan ketika laptop tua kepunyaan saya rusak total, termasuk hard disknya. Datanya tidak terselamatkan karena si kompi benar-benar tewas.

Saat itu saya tidak merasa terlalu kesal karena isinya mayoritas foto yang saya pandang kurang “bagus” menurut teori fotografi. Toh saya juga yakin bisa menggantikannya dengan versi sekarang, yang tentunya dengan skill, pengetahuan, dan perangkat yang lebih baik, hasilnya pasti bisa lebih bagus.

Cuma, entah kenapa pagi ini saya merasakan ada kehilangan setelah melihat koleksi foto jadul seperti itu. Tiba-tiba saja kok saya merasa seharusnya saya mencoba mencari cara lain untuk mengambil data foto-foto itu.

Saya seperti merasa kurang berusaha menyelamatkan mereka.

Padahal isinya saya tahu sekali, kebanyakan adalah potret jalanan di Bogor. Mobil, kendaraan, dan sejenisnya. Tukang sayur, tukang roti, dan berbagai profesi yang saya lihat di jalan.

Cuma itu saja. Tidak ada yang istimewa. Yah, bagaimana bisa istimewa kalau kamera yang dipakai hanya smartphone dan dibuat orang yang tahunya asal jepret saja.

Tapi, ya tetap saja, saya seperti kangen melihat foto-foto itu.

Kangen karena saya merasa ada yang berbeda. Sisi yang mungkin agak hilang belakangan ini.

Foto-foto lama yang tersisa dan bisa diselamatkan karena ada backup, foto-foto jadul itu, terasa lebih personal. Memang tidak tajam atau indah kalau menurut saya yang sekarang, tetapi lebih memberikan perasaan intim, lebih punya jiwa.

Saat dibandingkan foto-foto saya sekarang, terasa bedanya. Yang sekarang cenderung terasa “technical” alias mementingkan teknik. Lebih artifisial lah rasanya. Meski saya yakin kalau orang lain membandingkan, pasti mereka memilih foto-foto saya yang versi sekarang.

Apakah mungkin karena saya sudah tua jadi gemar melihat masa lalu yah? Mungkinkah sindrom pra-manula memberikan nilai lebih pada foto jadul dan membuat mereka istimewa? Ataukah memang saya sudah berubah sebegitu jauh?

Entahlah, yang jelas, rasa kangen itu ada pagi ini.

(Bogor Senin, 22 Februari 2021, di depan komputer memandangi inbox Outlook yang tidak kunjung didatangi email orderan)

4 thoughts on “Dulu”

  1. Ini semua pakai kamera hp, mas Anton? Cakep tone-nya… Apakah diedit lagi?

    Kalau merasa begitu, berarti ilmunya mas Anton sudah cukup banyak dong. 😁 Jadinya malah kangen masa meraba-raba lagi. Tapi, saya baru tahu kalau hobi fotografi mas Anton ini juga baru mulai di dekade 2010an. Saya kiraaa sudah dari zaman rikiplik 😳

    Reply
    • Kalau ga salah yang jalanan itu pake ponsel saja, yang lain pakai prosumer (non DSLR/Mirrorless). Ini foto-foto awal saya nekuni fotografi.

      Yup, pakai edit dengan photoscape.

      Dulu tahun 1997-an saya pernah punya kamera analog, cuma biaya motret mahal kan harus beli film dan cuci cetak. Kemudian kamera rusak, dan saya berhenti. Barulah setelah punya blog, belajar lagi.. yah belum lama.

      Hihihi iyah.. saya kangen masa saat memotret itu tanpa banyak mikir teori, sama seperti saya ngeblog tanpa banyak mikir, nulis ya nulis ajah. Makin tua saya.. wkwkwkw

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply