Gas Habis

“Mas, bangun mas..“, kata si Yayang sambil mencolek saya pelan-pelan dua hari yang lalu.

“Heehh…“, sahut saya sambil berusaha membuka mata yang rasanya masih berat sekali. Masih gagap karena jiwa masih belum terkumpul karena dibangunkan mendadak.

Saat itu masih jam 4 kurang menurut jam di rumah kami.

“Gas habis“, sambung si Yayang sambil tersenyum dan memandang saya.

“Ohh.. terus“, sambung saya masih tetap 1/2 tidak sadar karena malamnya tidur jam 01.00. Otak masih belum bisa bergerak sempurna karena jiwanya masih melayang di tengah mimpi.

“Bantuin pasang kompor portabel dong. Udah coba beberapa kali tapi kok tetap nggak bisa nyala“, rajuk si Yayang.

“Iyah“, sahut saya.

Biarpun masih belum sadar seratus persen, saya tahu gas habis adalah masalah besar bagi wanita kesayangan saya itu. Ia tidak bisa mengerjakan tugasnya, memasak. Apalagi hari itu saya harus pergi ke kantor dan ia merasa punya beban kalau tidak membawakan bekal bagi suaminya, terutama di masa pandemi ini. Ia tidak mau suaminya harus pergi mencari makan keluar kantor.

Sambil melangkah oleng seperti orang mabuk, saya langsung menuju kompor portabel yang sudah siap sedia di dekat meja kerja saya. Kompor yang dibeli untuk merayakan tahun baru yang lalu olehnya karena malas memanggang memakai arang.

Kompor yang sejak awal membuat bingung dirinya dan si Kribo karena susah menyala dan sayalah yang pertama kali bisa menyalakannya di rumah.

Hanya kali ini, berbeda, mungkin karena masih mengantuk, setelah berulangkali coba diutak atik, kompor itu menolak menyemburkan api. Salah satu tombol seperti tidak mau berpindah tempat. Macet.

Setelah berulangkali mencoba, dan rasa kantuk masih membuat kelopak mata berat sekali, saya menyerah dengan mudah. Saya akhirnya cuma berkata, “Dah, Say, nggak usah bawain bekal“.

Langsung saya ngeloyor ke tempat tidur lagi. Ingin melanjutkan tidur sejenak.

Selang 20 menit kemudian, saya akhirnya bangun kembali. Meski berusaha tidur lagi, ternyata saya tidak bisa melanjutkan tidur.

“Sudah mas. Bisa nyala kompornya. Tadi dudukannya terbalik, jadi tombolnya tidak bisa jalan“, sambut ibunya si Kribo itu.

“Oh ya..?, sahut saya sambil melihat mukanya.

“Tunggu bentar lagi, nasinya matang mas“, lanjut si Yayang. Di atas kompor terlihat panci untuk memasak nasi dan di meja makan tempat bekal sudah terisi sayur dan lauk, hanya nasi yang belum dimasukkan.

Saya hari itu tetap bisa membawa bekal makan siang seperti biasa. Berkat si kompor portabel.

Namun, yang jelas, berkat kegigihan wanita yang dulunya saya juluki si Gadis Keras Kepala untuk tidak mau menyerah. Ia tidak mengomel karena suaminya “menyerah” dengan cepat karena tahu saya masih mengantuk.

Hanya, ia tidak mau menyerah. Ia ingin saya tetap terpenuhi kebutuhannya, tidak perlu repot, dan berada dalam situasi yang lebih aman dalam masa pandemi.

Sesuatu yang membuat saya tersenyum saat mengunyah makanan yang dibawakannya.

Di sana ada rasa sayang dan perhatian dari seorang istri kepada suaminya. Sikap pantang menyerahnya tidak pernah hilang, meski dalam hal yang berbeda dengan saya.

Sikap dan rasa sayang yang selama ini menopang keluarga kecil kami.