Gengsi Vs Harga Diri ?

Gengsi Vs Harga Diri
Commuter Line, 4 Juni 2020

Hari ketiga masa WFOD (Work From Office Deui – Kerja Dari Kantor Lagi). Masih di atas Commuter Line pagi ini.
Tidak kebagian tempat duduk (lagi). Rupanya nasib baik hanya pada hari pertama saja, hari berikutnya keadaaan seperti sudah kembali normal, yaitu saya harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.
Belum kereta berangkat, tiba-tiba seorang Petugas Keamanan Dalam mencolek bahu sambil berkata, “Pak, kursi prioritas kosong”. Kursi prioritas itu ditujukan bagi empat kategori penumpang, yaitu ibu hamil, ibu membawa balita, penyandang cacat, dan lansia (lanjut usia).
Hadeuh.

Niatnya jelas baik karena PKD KRL Jabodetabek ini memang sekarang proaktif membantu penumpang agar nyaman naik kereta. Memang kebetulan, seperti foto di atas ada kursi lowong di jajaran kursi prioritas.
Mungkin, sang PKD melihat rambut saya yang sudah penuh dengan uban. Tidak heran , dia beranggapan bahwa saya sudah “manula” atau lansia. Jadi, dia menyarankan saya untuk menempati kursi kosong itu.
Saya hanya mengangguk sambil berterima kasih atas tawarannya, tetapi saya tidak berjalan ke arah kursi tersebut. Saya memilih tetap berdiri sampai ke tujuan akhir, stasiun Gondangdia.
Mungkin, banyak orang yang akan berpendapat saya bodoh tidak mau memakai kesempatan untuk “tidak capek dan pegal”. Banyak yang melakukannya dan bahkan tidak sedikit yang berebut menuju kursi prioritas meski mereka bukan termasuk 4 kategori penumpang tersebut. Kadang, ada yang rela pura-pura tidur ketika yang berhak meminta.
Tapi…
Saya sudah memutuskan untuk tidak memakai kursi prioritas, bahkan ketika kursi tersebut kosong sekalipun, saya akan membiarkannya tetap kosong saja.
Bukan karena gengsi….
Hanya harga diri saya tidak mengizinkan saya melakukan hal itu. Meski tidak lagi muda, saya masih mampu berdiri dan beraktivitas secara normal. Tidak cacat sehingga memerlukan bantuan. Tidak juga hamil (yang tidak mungkin saya alami). Tidak punya anak balita juga.
Sudah pasti saya tidak masuk kriteria orang yang berhak menduduki kursi itu.
Memakai kursi prioritas bagi saya sama saja seperti membiarkan diri memakai hak orang lain. Sesuatu yang tidak bisa saya benarkan.
Saya akan selalu membiarkan kursi prioritas kosong.
Bahkan, kalau saya mendapat tempat duduk biasa sekalipun, saya akan berbagi dengan penumpang di depan saya. Biasanya sampai stasiun Lenteng Agung atau Pasar Minggu saya akan berdiri dan mempersilakan penumpang di depan untuk duduk..
Saya tahu capeknya berdiri dari Bogor sampai Jakarta Kota, jadi kalau bisa berbagi kenapa tidak. Masing-masing akan bisa menghemat tenaga untuk dipergunakan bagi keperluan lain.
Saya terpikir, jika suatu waktu nanti saya memasuki usia lansia, sangat mungkin, saya akan tetap menolak untuk duduk di jajaran kursi prioritas. Saya akan menemukan cara dan jalan agar saya tidak menggunakan kursi tersebut.
Bagaimanapun, Allah memberi saya akal dan pikiran untuk memecahkan sebuah masalah. Lalu, mengapa harus bergantung pada kebaikan dari orang lain.
Sangat bersyukur pula, pemikiran yang sama ada di kepala si yayang dan si kribo kecil.
Yang pertama, wanita yang sudah menemani saya selama 19 tahun,  pernah menolak duduk di kursi prioritas saat bepergian bersama ibu-ibu tetangga. Ia merasa itu bukan haknya karena ia bukan manula.
Apalagi, Si kribo cilik yang sudah tidak kecil lagi . Ia dengan tenaga mudanya untuk duduk di kursi umum saja sering tidak mau kalau bepergian naik kereta.
Kami terbiasa menjadi orang yang sulit menerima sesuatu. Bukan karena gengsi tetapi karena 3 ajaran dari orangtua kami, yang mungkin kolot, tapi kami percaya membawa kebaikan. Ketiga ajaran itu adalah bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” dan “di dalam rejekimu ada rejeki orang lain”, serta “jangan pernah ambil sesuatu yang bukan hakmu”.
Bagi kami bertiga, yang seperti itu adalah bagian dari harga diri kami dan tidak akan dikompromikan.
Jakarta, 4 Juni 2020

8 thoughts on “Gengsi Vs Harga Diri ?”

  1. What a nice sharing… Setuju mas dan saya sangat mengapresiasi sikap mas Anton. Semoga semakin banyak orang yang meniru kebiasaan seperti ini. Anti-korupsi tidak hanya ditunjukkan dengan semata menolak gratifikasi kan, hal hal sekecil tidak menggunakan fasilitas yang bukan hak kita sudah bisa menjadi contoh kecil penerapannya.

    Terus istiqamah mas

    Reply
  2. Setuju mas, saya juga kalau lihat kursi prioritas kosong tetap nggak mau duduk. Karena merasa itu bukan hak saya 🙈 jadi meski kosong, saya akan tetap berdiri hehe.

    Buat saya, hal-hal kecil seperti ini penting, karena saya jadi belajar lebih peka dengan situasi dan kondisi. By the way, semoga semakin banyak yang aware hal-hal kecil seperti yang mas Anton posting ini 😍

    Reply
  3. Saya bangga nih melihat Pak Anton tidak mengambil jatah " kursi prioritas " . 🙂

    # Mempertahankan Harga diri dan Kangen berdiri di KRL kayaknya beda – beda tipis deh, hahahah……Maaf bercanda.

    Reply
  4. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah = Lebih baik memberi daripada meminta. Saya tidak meminta pada mbak Eno dan juga tidak tahu ada Give Away saat berkomentar. Saya berkomentar dengan tulus sebagai kawan dan merasa perlu mengapresiasi tulisannya.

    Saya tidak menolak, saya menerima hadiahnya. Hanya karena kenyataannya saya tidak punya Go Pay (fakta), dan saya merasa ada yang lebih memerlukan, saya minta tolong disalurkan kepada yang lebih membutuhkan.

    Terlihat sama dan seperti menolak, kenyataannya tidak. Saya menerima rejeki itu, tetapi saya pikir bisa dimanfaatkan oleh orang lain.

    😀

    Reply
  5. Pasti belum pernah tahu rasanya berdiri di kereta nih orang Ogan Komering Hulu… Kalo nyoba pasti tahu rasanya betis pegal dan yang kayak begini tidak membuat kangen … hahahahaha

    Coba saja sendiri kalau ga percaya… 😛

    Reply

Leave a Reply to KANG NATA Cancel reply