Kebun Raya Bogor, 2017 |
#In Memoriam My Beloved Mother
Fisiknya memang tidak sempurna. Kedua kakinya mengecil. Ceritanya mungkin tidak tahu tepatnya bagaimana, tetapi di kala masih sekolah dasar, ia mengalami sakit panas dan kemudian disuntik. Tidak berapa lama kemudian, kakinya menjadi tidak bisa berfungsi dan untuk berjalan sejak itu ia harus menggunakan kruk, atau tongkat yang dikepit di ketiak untuk berjalan.
Entah kejadian terjadi tahun berapa. Ia tidak pernah mengatakannya dengan jelas.
Tetapi, selama saya menjadi anaknya, saya melihat bahwa keterbatasan fisiknya tidak pernah menghalanginya mengurus kami, empat anaknya (3 perempuan 1 laki-laki). Bahkan, di kala kehidupan kami belum seperti sekarang berkecukupan, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu yang baik.
Terlintas kenangan ketika bapak hanya mampu mengontrak di rumah petak di Jakarta dulu, kami harus hidup dalam rumah yang kecil. Saat itu listrik belum seperti sekarang. Begitu juga air, yang sekarang hanya perlu memutar keran dan air keluar.
Waktu itu, air hanya bisa ditimba dari sumur dengan menarik tali, yang biasanya terbuat dari ban bekas.
Siapa yang melakukannya? Kami ketika di Jakarta dulu, masih kecil. Bapak harus berangkat ke kantor. Hanya tersisa ibu dan 3 orang anaknya yang masih kecil.
Dan, dialah yang menimba air, mencuci, memasak untuk kami.
Sebuah perjuangan yang hingga sekarang masih terus terbayang di benak saya, anak laki-laki satu-satunya dan mengilhami tentang arti sebuah kegigihan. Arti dari pepatah “Dimana kemauan, disitu ada jalan”.
Perjuangan, ibu yang lahir di tahun 1946 inilah yang membuat saya selalu menutup mulut ketika kesusahan menimpa. Seberapapun beratnya cobaan yang kami hadapi, saya akan lebih baik membungkam mulut sendiri daripada harus mengeluarkan keluhan.
Apa yang saya alami tidak seberat apa yang harus dijalani seorang wanita yang untuk berjalan saja tidak bisa menggunakan kakinya sendiri.
Ia yang bahkan setelah kami pindah ke Bogor masih terus berjuang untuk meningkatkan kehidupan kami. Caranya juga sampai sekarang masih membuat kepala saya menggeleng-geleng dan heran darimana tenaganya didapat.
Bekerja sama dengan bapak, beliau akan bangun jam 2-3 pagi, jauh sebelum ayam jantan berkokok, kemudian membuat lontong, bakwan, pisang goreng, dan kemudian memasukkannya ke dalam tas bapak untuk dibawa ke kantor. Disana jajanan itu akan dijual bapak kepada teman-teman sekantornya.
Lumayan katanya untuk membayar uang sekolah.
Begitu gigihnya ia mengorbankan waktu dan tenaganya hanya demi kesejahteraan kami, anaknya. Sesuatu yang tidak jarang hingga saat ini masih terus mengilhami saya untuk tidak pernah merasa capek dan mengeluh menempuh jarak Bogor Jakarta untuk mencari nafkah.
Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan seorang wanita dengan cacat fisik yang pernah memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi kami, anak-anaknya.
Karena itulah, mungkin di mata orang lain, dia adalah wanita cacat, tetapi di mata kami, anak-anaknya, dia “sempurna”.
Kebun Raya Bogor 2017 |
# Sebuah tulisan pembuka dari seri “IBU” di blog ini. Terlalu banyak diceritakan dalam satu tulisan saja
(Edisi di depan laptop, 9 Juli 2019 jam 21.00 dimana niatnya menulis panjang dan bercerita banyak tetapi terpaksa terputus karena rasa kangen terhadap beliau)