Iis – The ART

Iis namanya.

Usianya saat datang ke rumah kontrakan kami di tahun 2004 baru sekitar 16-17, ABG. Kami dikenalkan kepadanya oleh seorang supir angkot yang merupakan kenalan lama keluarga kami di kawasan Pondok Rumput Bogor.

Berbadan bongsor, berambut panjang berkuncir a la gadis desa dan memang begitulah adanya. Ia datang dari daerah Leuwiliang di Kabupaten Bogor. Bahenol dan badannya yang sedang berkembang layaknya seorang gadis memang membuatnya menjadi lirikan banyak pemuda di sekitar rumah kontrakan kami saat itu.

Kami dikenalkan kepada ABG ini ketika saat itu si Yayang merasa kerepotan sekali mengurus rumah, terutama karena si Kribo cilik yang semakin lincah. Kesukaannya berkeliaran kesana kemari dan keinginannya untuk bermain di rumah Eyang-nya membuat si Yayang mengalami kesulitan dalam mengurus rumah.

Rumah kontrakan kami seharga 3 juta per-tahun itu memang lumayan luas juga dengan tiga kamar. Untuk menyapu dan mengepelnya pun lumayan butuh waktu dan tenaga.

Saya memang sering membantu , tetapi hanya bisa di hari libur saja. Setiap hari kerja, mau tidak mau si Yayang yang harus mengerjakannya.

Keinginan si Kribo yang lebih suka bermain di rumah kedua orangtua saya sering membuat waktu si Yayang habis menemaninya.

Setelah berdiskusi dan saran dari ibu, kami menyetujui untuk mendatangkan ART (Asisten Rumah Tangga) atau Pembantu yang tinggal bersama di rumah. Kebetulan memang ada dua kamar kosong.

Mulanya, saya agak keberatan juga ketika salah satu kawan ibu, seorang supir angkot memperkenalkan Iis kepada kami. Usianya masih begitu muda dan tentunya membuat saya agak risi bin jengah. Apalagi, tinggal di gang seperti itu rentan menimbulkan omongan orang.

Tapi, karena saya merasa kasihan kepada si Yayang yang terlihat sekali kecapekan, akhirnya saya bersedia menerima Iis, si ABG sebagai ART.

Lagi pula, setiap hari saya pergi ke kantor dan pulang biasanya sekitar jam 7-8 malam. Hanya di akhir pekan saja, saya berada di rumah seharian. Belum lagi kalau hari Sabtu terkadang harus masuk juga.

Ditambah, kami memutuskan untuk memberikan satu hari libur setiap minggunya kepada Iis. Kami pikir ia pun perlu tetap bermain sebagai ABG.

Jadi, saya tidak akan terlalu merasa risih. Yang terpenting juga adalah si Yayang tidak lagi terlalu kelelahan dan bisa fokus bersama si Kribo.

Iis – The ART

Tidak ada keluhan terhadap kinerja Iis.

Semua hal dikerjakannya dengan baik dan dengan panduan dari si Yayang, ia bisa membereskan rumah dalam waktu cepat.

Memasak pun bisa dilakukannya meski kadang rasanya kurang sesuai dengan lidah saya. Bukan sebuah masalah karena yang terpenting buat saya perut kenyang dan si Yayang tidak kerepotan.

Toh, lama kelamaan berkat panduan si Yayang yang memang jago masak, masakannya menjadi lumayan juga.

Rupanya kebiasaannya di desa membuat mengurus rumah bukanlah sebuah masalah baginya. Lagi juga, perabotan di rumah kami sangat minim sehingga tidak banyak yang perlu dibereskan.

Yang paling menyenangkan adalah Iis ternyata juga cepat akrab dengan si Kribo.

Kribo memanggilnya dengan teh Iis dan tidak jarang kami melihat mereka berdua bernyanyi bersama. Tidak jarang kami heran bocah kecil kesayangan kami itu tiba-tiba menyanyikan lagu baru yang agak “aneh” dan kadang berbahasa Sunda.

Iis seperti menjadi “kakak” bagi si Kriwil kami.

Lucu.

Pada akhirnya, kami sering justru membiarkan Iis dan si Kribo yang pergi ke rumah Eyang untuk bermain. Kami bisa berdua di rumah.

Akhirnya saya bisa menerima kehadirannya dengan tenang di rumah.

Tidak jarang juga si Yayang membelikannya baju atau memberikannya jajan kalau ia hendak pergi di hari liburnya.

Ia rupanya menerima si ABG dan memperlakukannya sebagai adik kecilnya.

Walaupun begitu, kalau kebetulan saya sedang libur dan bersantai di rumah, dan tetiba si Yayang dan si Kribo pamit mau pergi ke rumah Eyang, saya akan segera menjawab, ” Ikooottttttt”.

Bagaimanapun, menghindari prasangka buruh tetangga lebih baik, walau harus mengorbankan nyamannya di rumah. Maklum, tinggal di gang sempit seperti itu rentan sekali.

Hampir tidak ada masalah dengan kehadirannya di keluarga kecil kami.

Iis – The ABG

Hampir.

Karena, ada satu hal yang mungkin agak merepotkan kami. Bukan tingkah lakunya.

Sikap dan tingkah lakunya baik-baik saja dan sopan kepada semua orang, termasuk kepada kami. Si Kribo menyukainya, dan kami berdua pun menyukai kesigapan dan inisiatifnya untuk mengerjakan pekerjaan di rumah.

Cuma, ABG tetaplah ABG.

Kebiasaannya memakai pakaian “sexy” nan pendek, baik itu celana pendek, baju lengan pendek, terkadang membawa kerepotan sendiri. Sering si Yayang melihat mata bapak-bapak atau ibu-ibu melirik ke arahnya saat ia keluar rumah.

Jangankan yang muda, yang tua saja juga begitu.

Tidak jarang, si Yayang harus mencubit “adik”nya itu supaya berpakaian lebih pantas. Kadang berhasil, kadang tidak.

Yah, kami berdua menyadari ia tetap saja seorang ABG yang sedang berusaha “menebar pesona”.

Walau bagi saya dan si Yayang tidak masalah dan lumayan memahami perkembangan seorang ABG, tetap sebagai “kakak”, kami berusaha terus mengingatkannya.

Ada satu kejadian yang sampai sekarang kadang membuat kami tersenyum, yaitu ketika kami harus pergi ke kantor sebuah bank di Jakarta. Kami harus melakukan akad kredit untuk pembelian rumah kami.

Baca : [Tidak Niat] Beli Rumah

Ketika hendak berangkat dan mobil sewaan sudah tiba, Iis lama sekali belum keluar dari kamarnya.

Beberapa kali dipanggil, jawabannya, “Sebentar Bu”.

Begitu ia keluar dari kamarnya, kami terbengong bersama.

Rupanya, alasan ia lama berada di kamarnya adalah karena berdandan. Ia memakai baju baru dan penampilannya seperti nyonya dengan sepatu berhak. Ia rupanya ingin tampil “istimewa” karena hendak pergi ke tempat “spesial”.

Kami tersenyum.

Kami cukup menyadari bahwa pergi ke Jakarta, meski mungkin sebentar adalah sebuah perjalanan “istimewa” baginya yang berasal dari kampung.

Ibukota bagi kami adalah hal biasa dan membosankan karena setiap hari kami harus kesana, tetapi baginya, mungkin ia sebelumnya belum pernah melihat kota ini dan hanya sekedar tahu lewat televisi atau koran.

Jadi, yah kami paham sekali kalau ia merasa perlu berdandan semaksimal mungkin untuk sebuah perjalanan istimewa.

Kami hanya tersenyum, walau sepanjang perjalanan kami bergosip berdua sambil tertawa. Yayang bilang, “Kayaknya kita sedang nganter ‘nyonya” nih mas”

Karena kami berdua saat itu hanya berpakaian biasa saja. Bahkan saya hanya mengenakan kaos saja.

Tapi, yah, kami paham hal itu “berbeda” buat Iis.

Menjadi “Kakak”

Si Kribo adalah putra semata wayang kami.

Tapi, kami merasa, sejak Isi bergabung, kami seperti menjadi “kakak” yang harus mengawasi “adik” kami.

Beberapa kali kami harus mengingatkannya tentang bagaimana bersikap kepada para pemuda. Kehadirannya memang kerap membuatnya mendapat salam, telpon dari beberapa pemuda di wilayah kami.

Kami pernah merasakan deg-degannya orangtua ketika anaknya belum pulang, padahal si Kribo di rumah, tetapi si Iis belum juga sampai ke rumah di hari liburnya.

Sampai akhirnya ada telpon berdering dan Iis memberitahukan bahwa malam itu ia tidak bisa pulang karena sedang berada di Kawasan Puncak bersama kawan laki-lakinya.

Kami hanya bisa bengong berdua karena tahu betapa “berbahaya”nya hal itu. Meski tidak bisa melakukan apa-apa lagi dan hanya bisa memintanya berhati-hati, saya mengingatkan si Yayang untuk menegurnya.

Bagaimanapun, saya khawatir kalau terjadi sesuatu dengan dirinya. Kami berdua yang akan terkena imbasnya dan mendapatkan masalah besar kalau si Iis mengalami “sesuatu”.

Dan, si Yayang melakukannya.

Tidak marah hanya ia mengajak berbicara panjang lebar tentang bahayanya bersama seorang lelaki berduaan saja.

Untungnya setelah itu kejadian itu, tidak ada lagi hal yang sama terjadi.

Kami tahu pusingnya menangani seorang ABG, bahkan ketika putra kami masih cilik sekali.

Kembali Bertiga

Menjelang kami meninggalkan rumah kontrakan di tahun 2005, sempat ada kebingungan hadir.

Rumah yang kami beli lebih kecil dan hanya ada dua kamar berbeda dengan rumah kontrakan yang 3 kamar. Di mana kami harus menempatkan si Iis?

Tapi, karena kami memikirkan si Kribo yang sudah lengket dengan “kakak”nya, kami memutuskan untuk menawarkan kepada Iis, apakah ia mau ikut bersama kami atau tidak.

Untungnya, Iis berkata bahwa ia memutuskan untuk pulang saja ke kampung karena satu dan hal lain. Yah, kami pun menerima keputusannya dan agak senang juga karena “masalah” terpecahkan.

Saat pulang kami memberikannya oleh-oleh dan “jajan” yang lebih dari biasanya. Kami merasa, ia sudah bekerja dengan sangat baik, terlepas dari kelakukan “ABG” nya.

Si Kribo sendiri walau sempat bertanya kenapa “kakak”-nya tidak ikut, pada akhirnya bisa menerima bahwa ia harus berpisah dengan si kakak.

Jadi, satu bulan sebelum kepindahan ke rumah baru, kami kembali bertiga dan sejak itu, tidak ada lagi ART dalam keluarga kecil kami.

♥♥♥♥♥

Meski tidak lama, hanya 8 bulan, kami berdua belajar cukup banyak dari Iis si ABG, terutama dalam menghadapi seorang ABG perempuan yang sedang beger (bahasa Sunda – puber). Juga bisa memahami rasanya saat “anak” tidak pulang ke rumah dan khawatirnya mengetahui ia pergi berduaan saja.

Sampai sekarang, saya sering mendengar si Yayang menceritakan kepada si Kribo tentang bagaimana dekatnya dia semasa kecil dulu dengan “kakak”nya. Sesuatu yang saya sendiri kadang juga tersenyum karena mengingat masa-masa mendengar suara cadel si Kribo memanggil-manggil kakaknya.

Saya juga menyadari dari caranya bercerita, bahwa si ABG itu memberikan banyak kesan bagi dirinya.

Kami tidak tahu dimana sekarang si ABG. Beberapa kabar terakhir yang kami dapat kalau sedang bermain ke rumah Eyangnya si Kribo adalah ia menjadi buruh pabrik, kemudian sudah menikah, dan sudah bercerai. Rupanya ia memilih jalan menikah setelah tidak bersama kami lagi.

Sebuah pilihan yang kami pahami juga karena hidup di kampung berbeda dengan di kota. Pola pikirnya berbeda sekali dan kami tidak bisa menyalahkannya. Hanya, tetap ada rasa “menyayangkan”.

Bagaimanapun, meski hanya singkat, ia pernah menjadi bagian dari keluarga kecil kami dan memberi warna.

Tidak menyenangkan rasanya mendengar seseorang “anggota” keluarga mengalami hal yang kurang mengenakkan.

Walau kami sadari, bahwa semua itu berada di luar jangkauan kami.

Semoga saja ia baik-baik saja.

(Bogor, 09 Nopember 2020)

6 thoughts on “Iis – The ART”

  1. Aku pikir awalnya gambar perempuan yang di foto itu adalah gambarnya teh Iis (ikut-ikutan manggil teh kayak si Kribo wkwk).

    Kayaknya habis ini aku bakalan sering main kesini dibanding blog pak Anton yang lainnya, karena lebih relate kesini hahaha. Soalnya, ditulisan yang maniak menulis nggak tahu kenapa, aura pak Anton garang wkwk. Nggak tahu kenapa bisa mikir gini.

    In the end, turut sedih sama apa yang dialami teh Iis setelah tidak bersama pak Anton lagi. Mudah-mudahan dia baik-baik saja 😇😇

    Reply
    • Hahahaha bukan Sovia, itu kebetulan saja saya lagi iseng bawa kamera..

      Berarti branding disana berhasil. Sejak awal memang blog MM itu dibranding agak bengal, garang, dan keras kepala.. wakakaka.. Bukan cuma Sovia kok yang bilang begitu. Berarti blog itu sudah sesuai dengan niat awalnya… Nggak salah sama sekali…

      Mudah-mudahan yah.. Aaamiin…

      Reply
  2. Mas Anton, aku lagi blogwalking ke blog-blognya Mas Anton dan berhenti di tulisan ini. Membacanya membuat aku senyum-senyum sendiri karena dulu mama pun punya ART yang umurnya masih muda dan aku serta adikku juga masih kecil saat itu. Apalagi kalau ingat si Mbak-ku itu suka jalan-jalan keliling komplek sampai digosipin orang warung dan tetangga karena dia suka dekat-dekat cowok orang xD dan itu nggak cuma terjadi di satu Mbak-ku aja.

    Yah jadi ikutan flashback juga kan hahaha

    Reply
    • Asyik tulisan jelek ini bisa bikin orang senyum.

      Iya, yang seperti ini sering jadi bahan omongan orang. Mungkin karena perbedaan karakter kehidupan yah, jadi kadang sedikit menimbulkan dinamika baru di lingkungan. Waktu si Iis ini ada, memang juga sempat jadi bahan omongan, mata ibu-ibu juga suka melirik lirik gitu… hahahahaha…

      Hayp ikutan berflashback ria…..

      Reply

Leave a Reply to Prisca Cancel reply