Istriku Ibu Rumah Tangga Biasa Saja

Yayang. Cinsay. Say. Neng. Hes.

Semua itu panggilan saya terhadap seorang wanita yang sudah menjadi teman hidup selama 19 tahun lamanya. Wanita yang begitu spesial dalam kehidupan saya dan si Kribo. Tanpanya, bisa dikata, saya dan si Kribo tidak bisa berkutik banyak.

Bagaimana tidak, tanpanya, saya bukan cuma harus memikirkan kerjaan kantor saja, tetapi juga memasak, mencuci, mengurus rumah, pergi berbelanja, mengasuh dan mengawasi si Kribo, dan banyak lagi pekerjaan rumah tangga lainnya.

Tanpanya, saya akan datang ke kantor dengan baju kusut, kaos kaki belang karena salah ambil (beberapa kali terjadi), atau dompet tertinggal. Rumah sudah pasti bakalan seperti kapal pecah, berantakan total.

Si Kribo pasti sulit makan karena sudah kecanduan makanan “restoran” rumahan yang dibuat oleh si Yayang. 

Disebut restoran karena prosedurnya si Kribo memesan menu, ibunya yang memasak dan menyajikan. Mirip lah seperti restoran. Bapaknya? Ikut menikmati menu pangeran kesayangan kami saja. Kasihan Yayang kalau menu ditambah yang artinya tambah kerjaan dan berkurangnya waktu istirahat.

Yah, itulah istri saya. Seorang ibu rumah tangga saja.

Sebuah status yang kadang membuatnya sewot banget, terutama kalau harus ngumpul dengan ibu-ibu lain di kompleks saat arisan, atau kegiatan lain. Entah sudah berapa kali ia kembali ke rumah dengan wajah ditekuk (seperti balak 6 kegencet yang tahu permainan gapleh pasti ngerti rasanya).

Asem banget.

Sudah beberapa kali dia tiba-tiba membuka percakapan yang sebenarnya sudah terjadi berulangkali.

Mas, memang wanita bekerja itu harus diperlakukan spesial yah?“, rentetan kata bernada sewot keluar dari mulut mungilnya.

Hemmmm…Emang kenapa Neng?“, sahut saya sambil nyengir karena sudah tahu bin paham apa yang meresahkan si Yayang. Hanya saja, sesuai standar protokoler suami istri di rumah kami, sebuah keharusan bagi saya untuk mau mendengarkan ceritanya.

Tadi waktu arisan, kan ibu-ibu berencana mau mengadakan kegiatan, terus buat panitia. Eh, si ibu XYZ bilang supaya tidak perlu menjadikan ibu BBB sebagai panitia. Katanya, dia bekerja, kasihan repot. Biar kegiatan ini dihandle ibu-ibu yang di rumah saja!“, semburan kekesalan wanita kelahiran September 1971 ini.

Terus, pas urusan lain soal koordinasi acara, ibu-ibu bilang si ibu GGG ajah dia kan kerja, jadi dia pasti bisa manage. Kok seakan wanita bekerja itu tahu segalanya dan Ibu rumah tangga itu bodoh dan nggak bisa melakukan apa-apa selain masak dan ngurus rumah yah“, sambungnya lagi.

Oh, gitu“, sambut saya sambil memandang mukanya (soalnya kalau tidak begitu, bisa disangka tidak memperhatikan).

Ini sudah yang keberapa kali, setiap ada acara, ibu-ibu yang bekerja diistimewakan dan tidak diberi tugas, atau menolak menerima tugas“, sungutnya dengan muka terlihat kesal.

Memang harus yah wanita bekerja diperlakukan istimewa dan diperbolehkan tidak menerima tugas kemasyarakatan seperti itu?“, tanyanya sambil berharap jawaban dari suaminya, yang sampai tulisan ini dibuat masih jadi sekretaris RT

“……….

Percakapan seperti ini biasanya membuat pikiran saya melayang sejenak ke suatu waktu di masa lampau. Ke sebuah percakapan kecil antara saya dan seorang gadis keras kepala yang di kemudian hari menjadi si Yayang, di suatu malam berpuluh tahun yang lalu, saat Indonesia sedang berada dalam kondisi kritis.

Percakapan yang diikuti beberapa peristiwa yang hanya tercatat dalam sejarah kami, bukan sejarah Indonesia.

——– Galau – 1998  ——-

(Lupa tanggal tepatnya, tetapi yang jelas sekitar bulan April-Mei tahun 1998, sebelum tragedi Semanggi yang kemudian tercatat dalam sejarah).

Indonesia di masa itu sedang “goncang” dengan berbagai demonstrasi mahasiswa yang merasa resah dan semakin berani angkat bicara menentang Suharto dan Orde Barunya. Indonesia sedang berada di atas bom waktu yang siap meledak.

Stop. 

Jangan bayangkan sama dengan demonstrasi mahasiswa sekarang. Pemerintah zaman Orde Baru sangat represif kepada demonstran, sikap keras aparat terhadap para demonstran lah yang pada akhirnya memicu goncangan besar di Indonesia. Tidak seperti di zaman sekarang dimana pemerintah memberikan ruang yang bebas untuk mengemukakan pendapat.

Catatan : telepon genggam sudah ada, tapi belum semua punya. Biasanya yang punya orang kaya atau ponsel dinas dari kantor. Facebook masih jauh dari hadir. Twitter masih dalam kandungan kayaknya

(Yang jelas saya belum punya ponsel . Masih jadul, dan saya masih memanggil si Gadis Keras Kepala dengan kependekan namanya Hes, bukan Yayang. Kami masih berpacaran)

Di salah satu malam itu, rasa resah bin galau tidak kunjung berhenti melanda hati saya. Penyebabnya, melalui telpon, sesaat sebelum pulang kerja tadi, si Gadis Keras Kepala mengatakan bahwa ia kemungkinan menginap di kantor. Bosnya, Alm. Sjahrir, pengamat ekonom jebolan UI, meminta stafnya bersiap membantu para mahasiswa.

Sulit untuk tidak khawatir dan galau. Situasi Jakarta sedang kacau balau dimana-mana. Kerusuhan seperti sudah di depan pintu. Dimana mana terjadi demonstrasi.

Terlebih, Si Keras Kepala berada di area rawan (Menteng, Jalan Cik Di Tiro) , dan yang paling bikin bete dan galau, saya tidak bisa menemaninya (karena ini urusan kantor dan kerjaannya).

Akhirnya, untuk mengusir kegalauan saat itu, saya memutuskan untuk menelpon HP-nya. Setidaknya, saya tahu kondisi dan posisinya.

Waktu menunjukkan pukul 22.00 lebih beberapa menit.

Tut…tut…tut. Panggilan tidak diangkat.

Dua kali saya ulangi sampai kemudian bisa tersambung.

Halo, Hes….?“, panggil saya.

“…………………. (suara letupan senapan di latar belakang. Suara beberapa laki-laki menyerukan, “Tiarap. Tiarap. Nunduk semua”)”. Tidak ada sahutan suara gadis yang saya sayangi. Hanya suara nafas yang terdengar.

Deg. Tingkat galau naik drastis melebihi level dewa. Berbagai bayangan buruk berkelebat, terutama karena saya tahu persis situasi di masa itu.

Hes….Kamu dimana?“, tanya saya. Rasanya saat itu suara saya agak bergetar juga.

Bentar mas….“, suara di sisi seberang terdengar. Pendek saja.

Lega langsung merasuk ke dalam hati mendengar suaranya.

Hanya suara beragam teriakan , instruksi, dan beberapa kali letupan terdengar di latar belakang dan membuat rasa lega cepat sekali menguap.

Kita lagi disuruh tiarap dan berlindung“, sambungnya beberapa saat kemudian.

Kamu dimana? Lagi di jalanan yah?“, tanya saya.

Iyah. Ini lagi anter logistik buat anak-anak mahasiswa. Makanan buat mereka“, sahutnya.

(Ooo my God batin saya. Rupanya tim sekretaris kantornya harus turun ke jalan mengantar makanan buat para pendemo)

Ohh.. dimana?“, lanjut tanya saya. Meski sempat mereda, rasa khawatir bin cemas benar-benar semakin tinggi, entah ada tingkat apalagi setelah level Dewa terlewat.

(Dia menyebut nama jalan, di kawasan pusat kota dekat gedung DPR/MPR)

Bentar mas.. bentar.. disuruh merunduk lagi. Lagi serem banget nih mas, banyak tembakan“, katanya sambil sedikit terengah-engah.

Saya diam. Tidak bisa berkata apa-apa. Tidak tahu harus ngomong apa. Tidak tahu harus bagaimana. Khawatir jelas. Cemas pasti. Cuma ada satu rasa yang tidak dinyana dan tidak terhindarkan muncul, kagum sekaligus iri.

Seorang gadis yang hanya lulusan salah satu SMK di Bogor, dan saya tidak tahu bagaimana dia bisa menjadi seorang sekretaris, bisa begitu berani dalam situasi berbahaya seperti itu. Bukan karena terjebak, tetapi sengaja demi membantu perjuangan para mahasiswa.

Dan, saya hanya bisa termangu saja dengan gagang telpon tetap di telinga.

Mas, mas.. nanti aku telpon lagi yah. Disuruh mundur sama pak Sjahrir. Situasinya sudah berbahaya banget“, tiba-tiba suaranya kembali, agak berteriak karena riuhnya suara di latar belakang saat itu.

Tidak berapa lama kemudian, sambungan terputus. Tut..tut..tut terdengar di telinga.

Galau saya naik drastis. Naik tingkat dengan cepat. Tingkatnya saat itu, mungkin sama dengan tingkat saat dewa yang sedang galau tingkat dewanya dewa.

Malam yang panjang.


Percakapan yang tidak pernah saya lupakan sampai hari ini. Selain menyisakan kesan mendalam, juga karena merupakan salah satu babak dari kehidupan saya dan gadis yang kemudian menjadi istri saya tersebut.

Babak-babak yang sadar tidak sadar membuat kami berdua merasa semakin dekat dan merasa berada pada jalur yang tepat dalam hubungan kami.

———  Lolos – Kerusuhan Mei 1998  ———

Tigabelas Mei 1998.

Satu hari setelah 4 mahasiswa Trisakti tewas tertembak. Saat saya beranjak menaiki tangga memasuki gedung Skyline Building (Menara Cakrawala), terasa suasana mencekam dan situasi memang sudah tidak kondusif.

Dimana-mana ketegangan terasa sekali melanjutkan suasana sehari sebelumnya. Beberapa daerah di Jakarta sudah diberitakan mengalami kerusuhan. Berita di televisi masih penuh dengan berita terkait tewasnya para mahasiswa.

Geramnya banyak orang terhadap rezim saat itu pun semakin meningkat.

Kegeraman itu juga ada di hati saya.

Tidak butuh waktu lama. Bahkan , hanya beberapa saat memasuki ruangan kantor, berbagai berita kerusuhan diterima. Kantor kami yang berada di lantai 16 berubah menjadi kantor berita dalam sekejap.

Telpon tidak berhenti berdering dari teman, saudara, dan entah siapa lagi memberitahukan tentang kerusuhan di wilayahnya. 

Posisi di lantai tinggi juga memperlihatkan api yang membumbung tinggi dari berbagai belahan Jakarta. Jumlahnya terus bertambah seiring berlalunya waktu.

Satu persatu wilayah Jakarta seperti semak terbakar api. Menjalar tak bisa berhenti.

Jakarta Terbakar” hari itu.

Para bos Jepang memutuskan untuk memulangkan semua karyawan demi keamanan. Semua bergegas keluar kantor. Beberapa sibuk menelpon sanak keluarga untuk mengetahui kondisinya, atau untuk mencari kendaraan.

Saya masih duduk beberapa saat setelah perintah keluar dan memutuskan untuk mengangkat telpon. Si Gadis Keras Kepala pasti di kantornya dan sulit disuruh pulang.

Betul perkiraan saya, dia keukeuh alias dengan keras kepala ogah pulang. Dia berkata bahwa dia masih harus mengurus banyak hal, katanya. Sampai akhirnya, saya memaksa dengan suara agak berteriak, saya bilang, “Pulang sekarang. Saya tunggu di stasiun Gondangdia“.

Untungnya dia manut dan mau nurut akhirnya. Mungkin karena itulah pertama kali saya begitu berkeras dan memaksa.

Saat turun dari gedung, saya melihat gedung Sarinah mulai tutup. Berbagai kain dengan tulisan “Ini milik orang Islam” dipasang bahkan di McDonald Sarinah yang baru saja tutup. Entah apa maksudnya, tetapi, berbagai tulisan seperti itu dipasang di banyak toko.

Dengan bajaj saya mencapai stasiun dan tidak berapa lama kemudian si Keras Kepala muncul.

Lega.

Bergegas kami naik KRL tercepat yang datang.

Saat kereta lewat kawasan Cikini, dari dalam kereta, di depan bioskop MEGARIA (sekarang menjadi Metropole XXI), terlihat kerumunan ribuan orang. Sekilas terlihat ada asap mengepul. Kerusuhan besar sudah dimulai.

Waktu menunjukkan pukul 10-11.00

Sesampainya di Bogor, barulah kami sadar. Sedikit saja terlambat naik kereta, sangat mungkin kami terjebak di Jakarta yang sedang rusuh. Di televisi kami melihat, bioskop Megaria yang pada saat kereta kami lewati belum terbakar, dalam berita terlihat sudah luluh lantak dimakan api.

Kami lolos.

Ia memandang saya tidak mengucapkan apa-apa. Hanya, jelas kami berdua lega bisa mencapai rumah dengan selamat. Setelah itu baru kami ketahui bahwa banyak kawan kami yang harus menginap di kantor tanpa perlengkapan dan persediaan makanan yang memadai karena terlambat keluar dari gedung.

Keputusan saya tepat.

Jakarta rusuh selama 3 hari. Ratusan/ribuan korban jatuh. Tidak terhitung gedung yang terbakar (dibakar habis)

———  Kembali ke Jakarta ——–

Saya berpikir saya adalah orang keras kepala. Cuma, ada saat dimana saya menyadari bahwa gadis yang saya sayangi bisa jadi lebih keras kepala (sshtt.. jangan bilang sama dia yah).

Satu hari setelah kerusahan Mei 1998 usai (16 Mei), sebuah telpon darinya benar-benar mengharubiru perasaan. 

Jengkel, kagum, kesal, sekaligus sayang dan khawatir, semua jadi satu.

Percakapannya singkat.

Si Keras Kepala berkata, “Mas, aku mau ke Salemba. Gabung sama Bu Titik dan Bu Poppy bantu tim logistik disana. Mau bantu-bantu. Katanya mahasiswa mau dievakuasi dari gedung DPR“.

Saya kali ini tidak berbengong ria, “Ok, aku ikut yah. Sekalian aku ikut bantu-bantu. Gini-gini juga punya jaket kuning loh. Nanti aku bawa sekalian

Jangan. Kamu kan harus kerja“, katanya.

Nggak, pokoknya aku ikut. Lagi juga kantor disuruh libur seminggu“, tegas saya. Tidak mau lagi saya membiarkannya sendirian. Lagi juga, saya pikir sebagai rakyat yang peduli, bantuan satu orang bisa bermanfaat dalam situasi seperti itu.

Ok deh kalo gitu. Bilang bapak ibu dulu kamu“, suruhnya.

Okeh. Beres“.

Janji ketemuan di stasiun Bogor dan kami berangkat dengan KRL, melakukan yang berlawanan dengan yang dilakukan puluhan ribu orang saat itu.

Kami kembali ke Jakarta. Bukan meninggalkan Jakarta.

Sepanjang perjalanan ke kampus UI Salemba, kami bisa melihat dengan mata kepala sendiri cerminan betapa dahsyatnya kerusuhan beberapa hari sebelumnya .

Gedung hitam dengan kaca pecah dimana-mana. Puing-puing berserakan di tengah jalan. Kawat berduri terpasang hampir di setiap penjuru kota.

Panser, tank, berjaga di setiap pojok. Tentara dalam jumlah banyak berpatroli dengan wajah suram dan mata memandang curiga pada semua yang lewat.

Jakarta masih tegang dan tidak aman, tetapi kami harus kembali. Tenaga kami mungkin bisa bermanfaat disana.

Itulah yang kami lakukan selama beberapa hari berikutnya, sampai kemudian keadaan lebih kondusif dan saya diminta kembali ke kantor. Si Gadis Keras Kepala masih terus melanjutkan tugas dan pekerjaannya.

——– Diomelin – Jakarta 1999 (Tragedi Semanggi II) ——

Satu tahun beberapa bulan kemudian, tragedi kurang lebih mirip terulang di Jakarta. Jakarta rusuh lagi pada bulan September dan tewasnya mahasiswa terulang.

Bedanya, kali ini giliran saya mendapat semprotan keras dari si Gadis Keras Kepala. Di saat bersamaan juga, saya melihat kekhawatirannya yang sangat besar dan bahwa ia menyayangi saya.

Bermula dari kegagalan saya untuk menembus kerumuman massa mahasiswa dan rakyat di depan Kampus UI Salemba merupakan pangkal kejadian hari itu.

Saya tidak bisa masuk ke dalam kampus untuk bergabung seperti biasa dengan tim “dapur” saat itu. Saya juga tidak bisa menghubungi si Keras Kepala (yang jelas karena saya belum punya HP juga, si Gadis Keras Kepala sudah punya hape kantor)

Bukannnya berbalik arah dan pulang, saya memutuskan bergabung dengan mahasiswa dan berlongmarch ke Gedung DPR/MPR.

Perjalanan yang melelahkan tapi menyisakan banyak cerita. Mulai dari kisah sederhana berbagi satu nasi bungkus dengan banyak orang, sampai berhadapan dengan para tentara bersenjata lengkap di depan gedung DPR.

Tegang dan menakutkan.

Pada saat massa mahasiswa ditarik, banyak yang kesulitan angkutan. Tidak ada yang berani lewat kawasan itu di tengah massa ribuan mahasiswa. Hasilnya, banyak yang terpaksa menginap seadanya di pinggir jalan.

Termasuk saya.

Saya harus bermalam bersama 2 orang pemuda dan 1 orang anak kecil (iya satu orang anak berusia 10 tahun) yang karena menonton akhirnya tidak bisa pulang. Bermalamnya bukan di hotel atau losmen, tetapi di bawah salah satu jalan layang di Jakarta.

Berteman dengan ribuan nyamuk.

Masalahnya, saya tidak bisa menghubungi rumah dan si Gadis Keras Kepala di markasnya. Komunikasi terputus. (Mungkin karena peristiwa inilah, saya beberapa bulan kemudian memaksakan diri membeli ponsel)

Pagi harinya, setelah memastikan si anak kecil mendapatkan angkutan, saya menggunakan taxi ke stasiun Cikini, stasiun terdekat dengan kampus Salemba. Setelah mandi di toilet umum disana, saya memakai telpon umum untuk menghubungi gadis kesayangan.

Baru mengatakan “Halo”, semburan omelan mampir ke telinga. Tidak terlalu panjang dan kemudian ia hanya mengatakan akan menyusul ke stasiun.

Tidak berapa lama, sosoknya terlihat turun dari bajaj.

Mukanya terlihat marah., kesal, jengkel, tapi juga, terlihat sangat khawatir.

Kamu tuh gimana sih mas! Bukannya pulang!” Ibu dan bapakmu khawatir, tahu nggak. Nggak ada kabar. Aku sih aman di kampus, kamu itu malah membahayakan diri!”, omelnya.

Saya cuma bisa diam sejuta bahasa.

Udah sarapan belum?“, sambungnya sambil bersungut.

Sudah, tadi makan roti bakar di warung sana“, jawab saya.

Ya sudah. Kita pulang“, sahutnya

Kami pun pulang dengan kendaraan kesayangan kami, si KRL. Selama perjalanan, saya memegang tangannya dan diapun sepertinya lega saya sudah selamat.

Saat itu juga, saya memutuskan untuk membawa si Gadis Keras Kepala ke rumah dan memperkenalkan secara langsung kepada kedua ortu. Sesuatu yang tidak diduga si Keras Kepala, tetapi ia menyetujuinya.

Sesampai di rumah, si Keras Kepala mendapat dukungan tambahan untuk mengomeli saya atas kecerobohan yang saya lakukan. Saya hanya bisa diam sambil garuk-garuk kepala.

Biar diomelin, ada rasa senang di dalam hati melihat bagaimana calon menantu dan mertua bahu membahu dengan kompaknya mengomeli si anak badung.

Setelah puas diomelin, saya mengantarnya pulang dengan senyum lebar.

(Peristiwa spesial dan pertama kalinya saya diomelin tapi merasa bahagia sekali dan bukannya marah)

——- Sekarang ——-

            “…………

            “Jadi, pendapat mas gimana?“, tanyanya

            “Ehm, perlu aku jelaskan lagi?“, sahut saya sambil tersenyum. 

            “Nggak sih. Ya sudah. Aku ke dapur yah“, jawabnya dengan nada sudah tenang. Kesalnya dan sewotnya sudah menguap setelah meluapkan perasaannya dan senyum kembali di wajahnya.  

            “Okeh say..“, dan saya tersenyum lebar melihatnya kembali normal. Hilang deg-degan bakalan nggak dimasakin. 

Sebuah percakapan yang biasanya berakhir disana. Tidak panjang karena pastinya si Yayang tidak akan lupa beberapa pesan kecil yang pernah saya sampaikan sebelumnya

  • Bekerja atau tidak adalah opsi atau pilihan yang harus diambil sesuai dengan kondisi dan situasi seseorang, tidak ada kaitannya dengan derajat seseorang. Manusia melakukannya untuk mencari nafkah
  • Pilihan manapun, bekerja atau tidak, sama sekali tidak ada kaitannya dengan menjadikan seseorang istimewa atau tidak. Istimewa tidaknya seseorang bukan diukur dari status atau jabatan yang disandangnya, tetapi dari adakah manfaat yang diberikan olehnya kepada manusia lain
  • Banyak orang yang “mainnya” kurang jauh dan pengetahuannya kurang sehingga menganggap apa yang berbeda dengan dirinya sebagai lebih baik
  • Banyak wanita yang belum pernah “bekerja” di kantor, sehingga melihat wanita yang bekerja sebagai sesuatu yang spesial, meskipun sebenarnya tidak

Wanita kesayangan saya ini pastinya juga tidak akan lupa kalau saya pernah mengatakan bahwa saya bisa seperti sekarang adalah berkat dirinya.  Bukan hanya karena ia sudah mendampingi saja, tetapi karena banyak sekali pelajaran yang diberikannya kepada saya.

Totalitas dalam bekerja dan menyelesaikan tugas, kepedulian terhadap sesama, kasih sayang, kesabaran dan kelembutan, dan yang terpenting pengorbanan. Semua adalah pelajaran berharga yang banyak mempengaruhi pemikiran saya selama ini.

Keberaniannya untuk mengorbankan pekerjaan yang sangat disukai dan cintai demi keluarga tersayangnya bukanlah sesuatu yang kecil. 

Setiap hal tersebut layak sekali mendapatkan penghormatan membungkuk dalam ala orang Jepang dan saya bersedia melakukannya. Pengorbanannya pula yang membuat saya dan si Kribo cilik terpacu untuk memberikan yang terbaik agar tidak sia-sia. 

Ia mendapatkan rasa hormat saya yang paling dalam, dengan sukarela. Tanpa diminta. Tentunya juga rasa sayang saya dan si Kribo.

Si Yayang , rasanya sudah menyadari sepenuhnya bahwa semua itulah yang terpenting dalam kehidupan. Tidak penting menjadi biasa di mata orang yang tak mengenal, tetapi lebih penting menjadi istimewa di mata orang yang sayang kepadanya. Bukan sebaliknya.

Dan, saya bangga dan bahagia mengatakan bahwa istri saya hanya ibu rumah tangga biasa saja.

Catatan :

  • percakapan tidak persis seperti aslinya, tetapi memiliki arti yang kurang lebih sama dengan apa yang diingat penulis saat kejadian
  • bukan fiksi, melainkan berdasarkan kehidupan nyata penulis

Bogor, 18 Juni 2020

18 thoughts on “Istriku Ibu Rumah Tangga Biasa Saja”

  1. Karena pada tahun 98, aku baru berumur 3 tahun jadi nggak tahu gimana kondisi kerusuhan saat itu tapi setiap ada orang yang cerita mengenai kejadian itu, rasa mencekam dan ngeri itu muncul.

    Aku salut banget sama Kak Hes, Yayangnya Kak Anton. Berani banget untuk turun ke jalan dalam kondisi mencekam seperti itu, berani dan rela berkorban sekali padahal kondisi seperti itu bisa dibilang mempertaruhkan nyawa juga.

    Dan di penghujung cerita, aku terenyuh sekali. Seandainya Kak Hes baca ini, mungkin beliau akan terenyuh juga hatinya. Betapa beliau memiliki suami dan anak yang sangat sayang beliau. Semoga pernikahan kakak, langgeng terus sampai maut memisahkan 🙏

    Reply
  2. Yayangnya cantiiiik dan ayu sekali, mas Anton 😍 eniho itu fotonya di KRB yah? Mendadak rindu mau ke KRB hahahaha 😂

    Terus saya ketawa donggg baca tulisan balak 6 kegencet hahaha jadi ketauan saya waktu kecil pernah main gaple sama anak komplek 🤭 hehehe. By the way, saya bisa mengerti perasaan Yayangnya mas Anton yang kesal karena merasa ibu pekerja terlihat seperti lebih diistimewakan padahal menurut saya yang bekerja, ibu rumah tangga sangat istimewa karena nggak mudah untuk kelola rumah dengan segala urusan yang ada 🙈

    Saya baca cerita di atas sambil mengingat kejadian 1998 yang cukup menegangkan untuk saya juga. Jadi bisa dengan jelas tau betapa kawatirnya mas Anton ketika Yayangnya mas ada di lokasi kerusuhan apalagi sampai harus mendengar bunyi tembakan ☹ however saya salut sama Yayangnya mas karena tetap menjalankan tugasnya dengan penuh semangat meski keadaan begitu riskan. Dan ikutan kesal waktu tau mas nggak bisa kontakan saat harus tidur di bawah jembatan layang hahahahaha. Seriously, itu buat saya nightmare banget sih (nggak bisa kontak pasangan dan nggak tau pasangan di mana) 🙈

    Thank God, akhirnya sekarang mas Anton dan Yayangnya mas bisa long last hampir 20 tahun lamanya wish bisa sampai akhir hayat 😍 terima kasih sudah berbagi cerita, mas — sehat selalu untuk mas dan Yayangnya mas serta si kecil Kribo, yah 😁

    Reply
  3. Aaaamiiin.. Makasih banget doanya Lia. Doa yang sama juga untuk Lia nanti

    Emang ngeri banget Lia… suwerr dah….

    Saya juga. Dia benar-benar berani dan agak nekat. Cuma tanpa orang nekat seperti itu dunia nggak berubah.

    Mudah-mudahan yang seperti tahun 1998 itu tidak terulang lagi yah. Sewweeemmm banget

    Reply
  4. Iyah Eno, itu di KRB. Main sini ke Bogor. Kita keliling-keliling sama si Gadis Keras Kepala.. hahaha.. Makasih wat pujiannya (#mikir apa perlu disampein yah biar idung si keras kepala mengembang..:D)

    Uhuy ketahuan suka main gaple.. wkwkwkwkwkw…

    Yah, itulah masyarakat Eno. Masih banyak yang memandang wanita IRT sebelah mata. Jadi, saya cuma bisa ngasih pesan ke yayang saja supaya cuekin yang kayak gitu. Ga layak dapet perhatiannya. Cuma, bisa dimaklumi juga kadang sebel dengernya.

    Tuh si Keras Kepala memang begitu. Sering banget bikin dag dig dug. Nekat. Cuma saya juga salut, makanya iri dengan semua keberaniannya. I respect her a lot.

    Hahahaha.. Jalan layang itu yang membuat saya sadar fungsi hp dan komunikasi itu penting banget. Biar saya bukan pengguna maniak, tapi saya merasa benda itu memang berguna.

    Sama-sama Eno, semoga Eno dan si Kesayangan juga langgeng sampe kakek nenek yah

    Reply
  5. Aminnnn. Terima kasih juga buat doanya kak 🙏

    Pernah denger cerita dari sisi korban yang kena kerusuhan, barang dagangan ludes semua, sampai setelah kerusuhan, kepala itu ngeblank, nyaris jadi gila karena emang baru merintis usaha dan baru mulai maju. Kasihan banget.. Jangan sampai kejadian kayak gitu keulang lagi, terlalu banyak korban nggak bersalah yang jadi sasaran. Ngeriiii

    Betul, tanpa orang nekat kayak Kak Hes kayaknya para mahasiswa itu bisa pingsan kelaparan 😂

    Reply
  6. sekarang udah ada twitter, semua berita bisa sampai ke segala penjuru secepat kilat. Semua orang punya ponsel, tapi kita masih panik ketika terjadi "ketimpangan" sedikit saja. Apalagi waktu itu ya mas, situasinya jauh lebih menegangkan dibanding sekarang. Berhadapan langsung dengan situasi genting dan orang-orang bersenjata, nggak tahu niatnya baik atau yang lain.

    Salut banget sama istrinya Mas Anton. Baca cerita Mas Anton, selain memang bener-bener memperlihatkan apa saja yang sudah dilewati Mas anton dengan istrinya hingga bisa bersama-sama sampai sekarang, juga rasa cinta Mas Anton sendiri. Mas Anton menghargai sekali peran istri dan istrinya Mas Anton juga berusaha yang terbaik setiap hari untuk keluarga. 😀

    Seperti biasa, saya yang masih seumur jagung ini (dulu waktu 98, saya masih SD hehehe… orangtua aja yang bingung karena bangkrut), akan menyimpan pelajarannya buat menghadapi pernikahannya sendiri. :>

    Reply
  7. Waktu itu mah, buat saya sendiri bener-bener ruwet bin runyam. Tegang buanget dah. Hahaha.. Masalah konumikasi tidak semudah sekarang.

    Saya juga salut sama dia. Dan saya pikir, selain orangtua, orang yang harus kita hormati ya memang pasangan hidup kita sendiri. Mereka pastinya juga sudah melakukan pengorbanan untuk bisa bersama kita, dan itu patut mendapat penghargaan dan rasa hormat kita.

    Yah, gimana nggak menghargai, setiap hari diurus. Hahahaha…

    Waah pernah ikut ngalamin yah… MMeski tidak terasa banget karena masih kecil. Mudah-mudahan semua tidak terulang ya Mbak

    Semoga juga mbak berbahagia dengan pasangan mbak nantinya..

    Reply
  8. Alhamdulillah, pasangan yang saling melengkapi. Saat satunya lagi keras kepala, yang lain mengerti. Saya doakan langgeng selamanya, bahagia dunia akhirat mas Anton.

    Kalau urusan istri bekerja atau tidak, itu adalah pilihan masing-masing Mas. Dan saya salut sama wanita-wanita yang memilih menjadi ibu rumah tangga, maupun yang memilih untuk bekerja. Keduanya punya konsekuensi yang tidak mudah. Semoga istri mas Anton tetap bangga akan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Salam buat keluarga mas

    Reply
  9. Aaaminnn.. Makasih doanya mas Cipu, doa yang sama juga untuk mas dan istri yah (dah punya kan?)

    Yah, apapun pilihannya, yang penting semua konsekuen dengan apa yang dipilihnya. Kemudian, menjalaninya dengan iklas dan senang hati.

    Reply
  10. Ini mah kisah percintaannya romantis banget, perjuangannya nggak cuma antara kedua pihak dan kedua orangtua, tapi bahkan negara dan kemerdekaan bertindak.

    Saya pun sering di posisi Mbak Hes. Sungguh memang sebenarnya ngedumel pun harusnya ke orangnya aja semprot langsung ya, malah suami jadi 'tempat sampah'.

    Selamat sudah menjalani 19 tahun sebagai suami sitri. semoga longlast dalam kebahagiaan, kecukupan, dan keberkahan untuk keluarga Mas Anton, Mba Hes dan Si Kribonya.

    Reply
  11. Aaamiiin. Mbak kasih mbak Gina buat doanya. Semoga mbak juga diberkahi dengan kebahagian, kecukupan, dan keberkahan buat mbak sekeluarga.

    Hahaha.. Namanya juga di lingkungan, terkadang juga harus kompromi karena kalau disemprot langsung malah bisa merenggangkan hubungan dengan tetangga. Jadi, saya bisa mengerti kok dan bersedia jadi tempat sampah.

    Romantis kalau diingat sekarang, tapi pas kejadian mah tegang bin nervous juga..

    Reply
  12. Aku berdiri di jajaran yayangnya pak anton aja dah ini hihi
    Soalnya sama manyunnya kalau profesiku disepelekan sama orang hiyhiyahiya…

    samanya lagi paling curhatnya ke pak suami, ngecuprus aja akutuh minta dipukpuk..ahahha, walau pak suami juga bereaksi sama kayak pak anton harus antusias dulu ngedengerin dengan seksama biar akunya nda tambah manyun wakkaka, tapi alhamdulilah pemikiran pak suami sama persis plek ketiplek kayak pak anton pas ngejabarin point2 yang dikasih pointer itu loh. Dan beliau selalu bisa melegakan hatiku atas hal ini. Jadi aku insyaalloh happy walau jadi ibu rumah tangga biasa hihihi

    Oh iya pak, kenapa lah aku meleleh amat ya baca dialog yang mei 98 itu (aku waktu itu masih SD kelas 2 sih dan di kampung, jadi ga begitu ngeh kerusuhan yang di jakartanya). Betapa Pak Anton dan si Yayank kisahnya bak roman picisan, ini kalau difilmkan dylan kalah tauk hahai

    Tapi aku kagum sama Mbak Hes (aku panggil mbak hes aja lah ya, karena mbak hes masih imut-imut banget dengan gaya casual di foto hasil bidikan suami tercintanya ini). Di tengah kepungan serangan senjata api kerusuhan kala itu, ga kebayang kalau aku jadi Pak Anton, pastilah uda ga konsen mau ngapa-ngapain. Langsung maunya taksusul aja ga usah ke jakarta dulu. Tapi pengabdian mba hes begitu luar biasa, pasti akan jadi kenangan paling manis buat diceritakan ke anak cucu kelak ya Pak…:)

    Reply
  13. Berbahagialah menjadi ibu rumah tangga Nita. Tidak ada alasan untuk bersedih. Kita sebagai suami bahkan pinginnya istri itu nyaman senyaman nyamannya. Jadi permaisuri yang nggak perlu capek.

    Hahaha.. produser Dilan bakalan beralih pikiran kalau sebelum itu baca cerita ini yah… hahaha btw, setiap pasangan biasanya punya cerita romantis sendiri-sendiri yang tidak terungkap. Kebanyakan sebenarnya lebih dari Dilan dan Milea, cuma biasanya hanya disimpan sendiri saja.

    Iyah.. kita berdua sudah punya banyak stok cerita lucu dan romantis sekarang (dulu mah boro-boro ngerasa gitu) buat cucu kelak. Kalau buat anak, dia sudah dengar, jadi ga perlu diceritain lain.

    Reply
  14. Akhir percakapan Mbak Yayang tentang ibu-ibu di arisan itu, persis seperti saya kalau lagi merepet panjang lebar tentang topik yang sama ke suami 😆 itulah kenapa saya nggak pingin ikut arisan, kurang baik untuk emosi saya pribadi hahahaha

    Btw, saya ikut deg-degan sewaktu Mas Anton menelpon Mbak Yayang yang sedang dalam situasi baku tembak di jalanan 😨 tapi Mbak Yayang keren banget sih, saluttt! Terus waktu Mas Anton diomeli karena nggak pulang semalaman, ehhh malah langsung dibawa ketemu calon mertua. Kenapa ini seperti adegan drama yaaa 🤣 perasaan Mbak Yayang pasti campur aduk deh hahahaha

    Kalian berdua sama-sama beruntung memiliki satu dengan lainnya. Semoga pernikahan kalian langgeng, bahagia selalu supaya terus bisa mengumpulkan cerita romantis seperti ini untuk diceritakan ke anak cucu 😀

    Reply
    • Aaaamiin makasih Jane doanya…

      O yah. Jane memang sudah jadi IRT. Kalau begitu terbayang banget deh rempongnya kalau abis arisan hahahaha.. memang harus pinter-pinter jaga emosi tuh. Untung saya nggak ikutan.. wakakakakaka

      Hahaha.. iyah itu kenangan yang bagi kita nggak bisa dilupakan Jane, sampai sekarang kita berdua sering nyengir sendiri kalau inget kenekatan waktu itu…

      Yawda Jane.. jangan ikut arisan.. hahahaha daripada tekanan darah naek..

      Reply
  15. mas, wanitamu bukan wanita bisa, dan ga layak pake tambahan kata ‘saja’, dia ibu rumah tangga yg hebat. gile euy terharu saya ngetik komen ini 🙂

    salam hormat utk beliau.

    Reply
    • Mencoba melihat dari sisi pandang orang lain, jadi dia memang wanita biasa saja.

      Tetapi buat saya, yang tahu bagaimana dia, saya hanya bisa membungkukkan badan karena hormat atas apa yang dilakukannya.

      Reply

Leave a Reply to Gustyanita Pratiwi Cancel reply