Kacamata

Salah satu candaan kami belakangan ini setelah memasuki usia akhir 40-an adalah tentang fakta bahwa kami sudah tua.

Saya adalah supporter “fakta berbicara” dan selalu biasa dengan enteng berkata, “Lah, memang sudah tua. Mau bagaimana lagi?“. Sebaliknya, si Yayang, karena mungkin melihat lebih ke dalam, ke jiwa kami yang mungkin masih tetap bersemangat menjalani hidup akan selalu mengatakan. “Tidak juga lah, Mas“.

Perdebatan kecil yang biasanya selalu berujung dengan ketawa-ketiwi antara kami berdua.

Dalam hal ini, biasanya saya menjadi pemenang. Semua itu berkat adanya senjata rahasi. Kalau kepepet, saya akan mengajukan senjata rahasia tersebut yang berupa dua contoh kasus bukti ketuaan si Yayang.

Bukti itu berupa rekaman memori yang tidak bisa dibantah olehnya karena ia juga tidak bisa melupakan peristiwa tersebut. Kejadiannya sebenarnya sudah terjadi 6-7 tahun lalu ketika usia belum mendekati 50-an, tetapi saya gemar mengulangnya karena memberikan saya posisi yang tidak bisa dikalahkan.

Dua kejadian itu berkaitan dengan “KACAMATA” karena kami adalah pengguna setia benda ini dalam keseharian.

Kasus Pertama

Beberapa tahun lalu, saat hendak berangkat keluar rumah, lupa untuk apa, tetapi mungkin untuk berbelanja bulanan, si Yayang sibuk bolak balik ke dalam rumah. Sedangkan, saya dengan tidak sabaran menunggu di dalam mobil.

Saya memutuskan keluar dan karena menyadari pasti ada sesuatu yang sedang dicari oleh wanita kesayangan saya itu.

Nyari apa, Neng?”, tanya saya sambil melihat ke wajahnya yang keliatan bingung.

Kacamata mas, tadi kayaknya naruh di atas meja“, jawaban meluncur dari mulut mungilnya sambil terlihat kesal.

Saya melihat mukanya sejenak. Kemudian, tersenyum karena melihat sesuatu yang membuat saya geli. Ingin ngakak, tetapi tidak tega melihat wajah memelasnya.

Yang membuat saya ingin tertawa adalah setelah berulangkali bolak balik mencari di semua sudut rumah, kacamata itu sebenarnya tidak lepas dari dirinya. Benda itu hanya bertengger dengan manis di atas kepalanya.

Si Yayang memang punya kebiasaan setelah membaca sesuatu ia akan melepas kacamatanya karena kurang nyaman. Hanya karena malas dan takut lupa, ia tidak mencopot kacamata, ia hanya akan mengangkat kacamatanya dan menaruhnya di atas kepala. Jadi, kalau perlu, ia hanya perlu menurunkan saja.

Sambil nyengir lebar, saya kemudian berkata, “Nah, itu yang di atas kepala apa, say?“. Langsung saya berlalu sambil tertawa ngakak dan susah dihentikan.

Si Yayang kemudian ikut ngakak berkata, “Eh, iya lupa”.

Itulah senjata pertama saya. (Dan, kejadian ini sudah beberapa kali terulang sampai sekarang)

Kasus Kedua

Ibu rumah tangga itu jagoan multi-tasking. Saya tidak punya keraguan untuk itu. Mereka mampu mengerjakan banyak hal dalam satu waktu. Mereka kaum yang sangat sibuk. Bahkan, saya saja tidak sanggup kalau harus melakukannya.

Kasus kedua yang selalu menjadi bukti yang saya ajukan dalam perdebatan soal”tua” berkaitan dengan keruwetan si Yayang sebagai ibu rumah tangga.

Beberapa tahun lalu (saat si Kribo masih di SMP), kami sekeluarga kebingungan mencari kacamata si Kumendan rumah ini. Bukan hanya saya saja yang ikut mencari, tetapi bahkan si Kribo pun diikutsertakan.

Setiap sudut dijelajahi. Semua tumpukan benda dibongkar. Dua kamar diobrak abrik. Semua demi menemukan si Kacamata.

Haduh, kemana yah mas. Tadi naruh di dekat TV“, celetuk si Kesayangan itu dengan putus asa. Rumah sudah dibongkar semua dan si kacamata masih ngumpet menolak untuk ditemukan.

Dah, beli baru lagi saja“, jawab saya singkat. Mau tidak mau, tanpa kacamata minus itu, si Yayang memang akan terganggu aktivitasnya. Dan, saya tidak mau ia merasa tidak nyaman. Jadi, sebagai seorang cowok yang cara berpikirnya singkat dan sederhana, membeli kacamata baru adalah pilihan logis.

Duh, kalau harus beli baru lagi kan sayang uangnya, Mas“, jawabnya dengan sedih dan dengan cetusan pikiran khas emak-emak.

Memang. Tadi kamu kemana saja?“, celetuk saya sambil mencoba berpikir bak Sherlock Holmes, menelusuri kegiatannya untuk mencoba mempersempit lokasi pencarian.

Cuma di dapur saja kok, Mas. Nggak kemana-mana. Nggak keluar seharian, habis nyetrika, ya masak. Naruh belanjaan dan ngatur kulkas. Masak aku naruh di kulkas?“, jawab si Yayang dengan kekesalan di mukanya menepis kemungkinan si kacamata jatuh di luar.

Kata terakhir itu yang membuat saya langsung berpikir, “Jangan-jangan ada di dalam kulkas“. Tempat itu satu-satunya yang belum diobrak abrik.

Tidak mungkin terdengarnya dan si Yayang benar, tidak ada orang yang meletakkan kacamatanya di dalam kulkas. Kacamata bukan benda yang perlu diawetkan dengan didinginkan.

Sempat merenung sejenak. Bahkan, saya sempat diam agak lama, mencoba berpikir tempat lain yang mungkin dijadikan tempat sembunyi kacamata. Sampai akhirnya, rasa gatal di dalam hati, penasaran membuat saya membuka pintu kulkas.

Nggak akan ada lah mas di sana“, celetuk si Yayang sambil tertawa melihat saya membuka pintu kulkas. Namun, saya tidak peduli dan tetap membuka pintu lemari pendingin tersebut.

Saat menengok sekilas ke dalamnya memang tidak terlihat ada benda tersebut. Cuma, kemudian saya melihat ada warna hitam menyembul dari belakang sebungkus tahu kesukaan si Kribo.

Saya angkat bungkusan tahu tersebut dan “Tadaaaaaa”, si kacamata dengan manisnya terlihat sedang merasakan kenikmatan kesejukan di dalam kulkas itu.

Saya keluarkan dia karena tidak baik baginya berada dalam suhu yang sangat dingin terlalu lama.

Dengan penuh senyum kemenangan, saya angkat dan kemudian berkata (tentu dengan senyum lebar dan menahan tertawa), “Lah, ini apa, say?

Si Kribo langsung menggeleng kepala dan berkata, “Mah.. mamah…Ampuun deh

Si Yayang bengong dan kemudian tersenyum malu.

Hari itu, ia menjadi bahan bully-an dua cowok di rumahnya. Dan, setelah beberapa tahun kemudian pun, cerita itu tetap berulangkali dibahas. Bukan hanya di antara kami bertiga, tetapi juga di depan adik-adiknya juga.

Tentunya, sejak itu saya memakainya sebagai senjata ampuh kedua untuk memenangkan perdebatan soal “sudah tua” tadi.

β™₯

Tidak pernah kalah. Memang dua senjata ini ampuh untuk memenangkan perdebatan dengannya.

Tapi, yang menyenangkan dari kedua senjata ini, bukanlah kemenangannya. Biasanya kalau kasus kacamata ini keluar, kami akan tertawa bersama. Si Yayang akan tersipu dan kemudian ikut tertawa.

Dan, saya akan punya alasan, sebagai pemenang perdebatan, untuk memeluknya dan kemudian berkata, “Luv u say“. Bagaimanapun, saya adalah pemenang yang menghargai sportivitas dan tidak boleh membully atau merendahkan yang kalah.

(Bogor Senin, 12 Juli 2021. Saat masih malas mengerjakan pekerjaan kantor melanda)

8 thoughts on “Kacamata”

    • Hahahahaha… makasih. Dikau nanti pada saatnya akan membuat cerita cerita yang sama Peri. Dikau akan punya banyak kisah yang kalau diingat akan membuat rasa hangat itu ada di dalam hati.

      Iyah, saya kasihan, si Yayang lupa memakaikan jaket tebal sebelum masukin tuh kacamata.. Kasihan kan.. wkwkwkwk

      Reply
  1. hahahhahaha memang kacamata selalu membuat drama
    yang sering itu udah pakai tapi engga kerasa
    aku aja yang masih belum tua banget suka lupa kok pak
    tapi engga sampe masuk kulkas si
    palinh masuk ke jok motor gegarap hujan

    Reply

Leave a Reply to Peri Kecil Lia πŸ€ΈπŸ»β€β™€οΈ Cancel reply