Yayang : “Mas, anak tetangga depan sudah hapal 29 juz Al-Qur’an. loh”
Saya : “Terus..?” (biasanya sambil mata nggak mau lepas dari komputer)
Yayang : “Ibu-ibu bilang hebat yah, masih kecil sudah bisa hapal”
Saya : “Ohh…”
Yayang : “Kok, oh..” (Sambil mulai nyengir…)
Saya : “Terus saya harus bilang apa?”. “Apa saya harus ikut kagum juga?”
Yayang : Pergi mlipir entah kemana….
Cuma salah satu ringkasan kasus dalam kehidupan rumah tangga kami yang sudah hampir berjalan 20 tahun. Yang seperti ini bukan pertama kali terjadi dan rasanya tidak akan menjadi yang terakhir. Selama bertahun kami bersama, rasanya sudah ribuan kali terjadi percakapan sejenis dalam perjalanan rumah tangga kami.
Topiknya sama, yaitu rasa KAGUM, tetapi temanya berbeda. Kadang mengenai pendidikan seorang, gelar yang mereka miliki. Tidak jarang juga tentang kekayaan orang lain, seperti tetangga. Dan, banyak sekali tema yang berbeda muncul.
Kadang, saya pikir si wanita yang sudah menemani selama 20 tahun ini sedang jahil saja kepada suaminya. Responnya dia sudah tahu persis, tetapi tetap saja pertanyaan-pertanyaan sejenis itu diajukan kepada saya.
Mungkin si yayang sedang mengetes suaminya, apakah pandangan saya sudah berubah atau belum? Sudah melunak atau tetap sama?
Ia tahu persis bahwa saya tidak mudah kagum terhadap apa yang dimiliki seseorang. Kepintaran, gelar, kekayaan, atau apapun yang biasa dipergunakan orang untuk meningkatkan status sosialnya dalam masyarakat.
Bagi saya, kepintaran, gelar, atau kekayaan itu bukanlah sesuatu yang patut dikagumi. Itu adalah pencapaiannya secara pribadi dan bukan sesuatu yang harus membuat kita merasa kagum. Hal itu tidak bermakna apa-apa, walau yang memiliki mungkin merasa bangga dengan hal itu, tetapi tidak berarti saya harus ikut kagum.
Begitu juga, kalau ada yang merasa kagum dengan hal-hal yang seperti itu, saya sebenarnya bingung kenapa harus dikagumi. Tapi, saya cukup mengerti, sebagai orang Indonesia dimana masyarakatnya masih sangat mementingkan status, gelar, kepandaian, nilai rapot, dan kekayaan, bisa membuat banyak orang berdecak terkagum-kagum.
Tapi, saya, si Kribo cilik, dan si Yayang sendiri sering tidak mempedulikan hal seperti ini. Itulah kenapa kalau si Yayang yang tidak kalah kribo dari putra kami, menyampaikan hal nggak penting seperti itu , saya pikir berarti dia sedang iseng dan keluar jahilnya.
Bagi saya, terutama, rasa kagum sering tidak mau muncul di dalam hati kalau mendengar seseorang dipromosikan, naik gaji, punya gaji gede, punya mobil empat, punya gelar 10, dan sejenisnya.
Kecuali…
Mereka sudah melakukan sesuatu untuk orang lain. Misalkan, contoh saja, kalau seorang tetangga punya mobil empat, kemudian ia menggunakan 2 dari mobilnya untuk antar jemput anak sekolah tetangga lain secara gratis. Lalu, jika seorang tetangga hapal Al Qur’an kemudian memberikan kelas pengajian bagi orang lain, tanpa biaya.
Yang sejenis inilah yang baru bisa membuat saya mengacungkan jempol dengan sukarela.
Jika seseorang meraih sesuatu dan impiannya, Good for them! Tapi, bagi saya, hal itu tidak berarti apa-apa kalau masyarakat, lingkungannya, orang lain tidak mendapatkan manfaat.
Manusia adalah makhluk sosial dan hidupnya saling membutuhkan. Tidak bisa terlepas. Oleh karena itu sudah seharusnya, seorang manusia menjadi bermanfaat bagi manusia lainnya.
Tentu dalam hal ini kata “bermanfaat” berbeda satu dengan lain. Seorang dokter akan bermanfaat bagi manusia lain dalam bidang kesehatan, seorang tukang kayu bermanfaat dalam bidang perkayuan. Tidak bisa sama sesuai dengan bidangnya.
Tapi, masing masing bisa memberi kontribusi untuk membangun masyarakat dan membuat orang lain berkembang.
Pencapaian pribadi, tidak bisa dinikmati orang lain. Tidak bisa juga membuat orang lain berkembang dan bergerak lebih maju. Tidak memberi manfaat kepada masyarakat dan hanya bisa dinikmati sendiri saja.
Lalu, apa gunanya? Lalu, apa yang harus dikagumi?
Kenapa saya harus mengagumi orang lain yang tidak memberikan kontribusi manfaat bagi orang lainnya? Kenapa saya harus kagum karena orang lain meraih sesuatu?
Bagi saya, dan yang saya tanamkan kepada si kribo kecil adalah tidak perlu kagum terhadap pencapaian orang lain, kalau mereka tidak berbagi dan memberi manfaat kepada lingkungan sekitarnya. Yang seperti itu buat saya adalah orang pelit dan tidak seharusnya dikagumi.
Yayang : “Mas, pak A itu kerjanya di Pertamina. Uangnya kayak nggak berseri”
Saya : “Terus, dia bayar iuran berapa?” (Maklum sekretaris RT)
Yayang : “Sama dengan kita”
Saya : “Terus yang harus dikagumi apa?”
Yayang : “Nggak ada. Iseng aja”
Saya : “!?#@!”