My Calls

Minggu yang berat.

Minggu yang seharusnya biasa saja, berubah dalam sekejap menjadi sesuatu yang membingungkan , penuh dengan beban, dan penuh dengan resiko.

Setidaknya , dua kali dalam satu minggu, saya harus membuat setidaknya dua keputusan yang sebenarnya membuat hati sendiri terasa ngilu. Yang terakhir, baru saja saya lakukan 2-3 jam yang lalu.

First call

Hari Rabu, 20 Januari 2020 yang lalu, tepat di tengah hari, pada saat sedang mencoba merapikan inventory kain, ponsel berdering. Nomor yang tidak saya kenal muncul.

Saya memutuskan mengangkatnya.

Begitu telpon tersambung, suara laki-laki tiba-tiba nyerocos.

Mas, istri gue, Y*** meninggal“, kata suara di seberang.

Siapa?”, tanya saya sambil masih bingung, siapa si Y*** dan siapa yang menghubungi.

Y**, mas, istri gue meninggal hari ini“, ulangnya.

Saya masih dalam kebingungan mendengar kabar “duka” karena tetap berusaha mengenali suara di seberang.

Iya, ini siapa? Soalnya namanya tidak terdaftar“, akhirnya saya memutuskan bertanya untuk kejelasan.

Ini D****n mas, istri gue meninggal tadi pas gue di kantor. Anak gue yang nemuin“, sahut suara itu.

Si penyampai berita duka itu adalah sepupu si Yayang. Ia terkenal tidak pandai bergaul dengan saudara yang lain dan sangat egois sehingga hubungannya bahkan dengan adik dan bapaknya tidak dekat.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un“, sahut saya setelah mengenali siapa penelpon tersebut.

Terus elu dimana sekarang“, tanya saya lebih lanjut.

Gue di RSUD, Mas. Gue juga baru nyampe dari kantor. Sekarang gue lagi bingung harus ngapain. Bisa bantu kesini nggak mas“, jawabnya.

Deg.

Orang meninggal. Rumah Sakit. Mengurus jenazah. Kematian. Tahlilan.

Semua bukanlah hal yang tidak biasa saya lakukan. Entah sudah berapa kali saya melakukannya. Tidak ada yang istimewa dan saya biasanya akan dengan senang hati ikut terjun untuk melakukan semua itu.

Bagi saya, semua itu adalah tugas seorang manusia terhadap manusia lain yang selesai tugasnya di dunia ini.

Namun, itu semua saya lakukan di saat normal, ketika Covid-19 belum hadir di Indonesia dan terbukti keganasannya memakan korban puluhan ribu jiwa dan menyakiti ratusan ribu lainnya.

Sekarang, semua itu merupakan sesuatu yang harus dihindari demi keselamatan bersama. Semua itu sudah saya dan keluarga hindari sejak hampir satu tahun yang lalu. Semua itu yang membuat kami sekeluarga memilih tidak keluar rumah jika memang tidak benar-benar perlu.

Dan, semua hal itu tiba-tiba hadir di depan mata.

Saya dihadapkan pada dua pilihan, mengabaikan permintaan bantuan saudara sendiri demi keselamatan saya dan keluarga versus menyediakan diri untuk membantu sekaligus menempatkan diri dalam bahaya.

Pastinya tidak sendirian, karena kalau saya pergi, si Yayang pun akan pergi juga. Ini ada di wilayah keluarganya.

Tough call.

Really tough call.

Butuh beberapa menit mencerna, sebelum kemudian saya mengatakan kepada si Yayang, “Bersiap Say, kita berangkat!“.

Itu keputusan saya. Bagaimanapun ada sinyal SOS yang dilayangkan kepada saya, dan sisi kemanusiaan saya tidak bisa mengabaikan.

Saya hanya berharap bahwa di lokasi nanti saya bisa menerapkan protokol kesehatan seketat mungkin, meski di dalam hati rasa keraguan itu besar sekali.

Dalam perjalanan, ketika memberi kabar kepada sanak saudara yang lain, sebuah kabar buruk lain diterima. Paman si Yayang baru saja masuk rumah sakit karena paru-paru yang bocor.

Kabar yang membuat suasana hati saya dan si Yayang menjadi muram. Kesedihan, kecemasan, kebingungan semua bertumpuk menjadi satu dalam satu waktu.

Beruntung, keluarga dari sepupu istri ternyata berkeputusan agar jenazah diurus di rumah keluarga mereka. Jenazahnya pun sudah dibawa ke rumah duka. Jadi, saya dan si Yayang terlepas dari sebagian kewajiban menanganinya.

Yang saya perlu lakukan hanyalah menemani suaminya, si D***n yang tentunya sedang berduka.

Selama prosesi pemakaman, saya dan si Yayang berusaha menghindar sejauh mungkin dari kerumunan yang terjadi dan pasti terjadi dalam proses pemakaman. Bahkan, ketika pemakaman dilakukan, kami menjauh dari orang-orang yang berkelompok, tanpa melepas masker kami.

Saat yang tidak menyenangkan sama sekali, tetapi saya putuskan, hanya itu yang kami bisa lakukan tanpa mengkompromikan keselamatan kami.

Kami memutuskan untuk tidak menghadiri tahlilan hari pertama karena rasanya sudah cukup berada dekat kerumunan hari ini. Tidak perlu mencari masalah lagi dengan berada dalam sebuah kerumunan lain, yang sebenarnya tidak terlalu perlu.

Hari yang penuh dengan keputusan-keputusan yang bertentangan sekali dengan yang kami lakukan.

Banyak tough calls yang diambil pada hari ini.

Kami sulit tidur hari itu.

Second Call

Hari ini, saya menemukan bahwa keputusan berat yang saya ambil beberapa hari sebelumnya bukanlah yang terberat yang harus kami buat minggu ini.

Pagi ini dimulai dengan sebuah kabar buruk lainnya, Paman si Yayang, yang sudah beberapa hari di rumah sakit terkonfirmasi positif Covid-19. Istrinya, bibi si Yayang, pun sama, positif dan harus melakukan isolasi mandiri di rumah.

Dua anaknya pun sedang melakukan tes swab di RS karena mereka bergaul erat dengan si Paman dan Bibi. Sesuatu yang tidak terhindarkan karena rumah mereka bersebelahan dan berjarak hanya 1 rumah dari rumah mertua yang sudah dibeli si Ndu, adik si Yayang.

Bukan sebuah kabar yang menyenangkan untuk didengar di pagi hari, bahkan siang, atau malam. Kabar yang menyakitkan dan menyedihkan ketika orang-orang yang dikenal terkena penyakit tersebut.

Hanya helaan nafas panjang dari kami saja mengiringi doa yang keluar dari mulut kami. Semoga semua akan baik-baik saja. Doa yang sayangnya tidak diiringi dengan keyakinan bahwa hal itu akan terjadi.

Si Paman, yang biasa bercanda dengan saya setiap bertemu, sudah melakukan cuci darah. Meski kabarnya berada dalam kondisi sehat, tetap saja pengetahuan saya mengatakan bukan hal yang bagus. Hanya mulut tetap terkunci dan berusaha tidak pesimis.

Beberapa jam kemudian, tepat selepas dzuhur, kabar susulan diterima. Si Paman sudah berpulang.

Sesegera mungkin, kami berdua pun berangkat menuju rumah mertua/adik ipar saya yang akan digunakan sebagai markas. Meskipun tentunya kami tidak dapat memasuki rumah si Paman/Bibi, setidaknya kami ingin memberitahukan bahwa kami peduli dan memberikan sokongan terhadap mereka.

Itu saja yang ada di kepala kami saat itu. Tidak pernah menyangka kalau kemudian kami dihadapkan pada situasi yang luar biasa membingungkan setibanya di sana.

Sebuah keputusan berat lainnya yang harus diambil.

Sesampainya di lokasi, adik si Yayang dan temannya memberitahukan bahwa situasi sangat tidak baik. Si Bibi, yang terkonfirmasi positif dan dalam masa isolasi mandiri, ingin bisa hadir dan melihat si Paman untuk terakhir kalinya.

Keinginan yang wajar mengingat mereka sudah menjalani puluhan tahun hidupnya bersama. Melihat orang kesayangan mereka untuk terakhir kalinya bukanlah sesuatu yang luar biasa.

Dengan catatan, dalam situasi normal, bukan dalam masa pandemi, dan tentunya bukan dalam kondisi ia terinfeksi Covid-19.

Tidak masalah juga kalau memang tersedia peralatan dan juga petugas yang menanganinya.

Semua itu tidak kami punya hari ini.

Ditambah dengan kenyataan, ia sedang sendirian di rumah karena anak-anaknya sedang mengurus si Paman.

Siapa yang harus mengantarnya ke RS atau ke pemakaman? Bagaimanapun, menyuruh siapapun untuk menjadi supirnya berarti akan menempatkannya dalam ruang yang sama dengan seorang penderita Covid-19. Seseorang akan berada dalam situasi yang membahayakan jiwanya jika terjadi, kalau tanpa perlengkapan yang memadai.

Dan, celetukan sang adik ipar membuat suasana semakin ruwet. Ia berkata, “Ndu yang nganter mas. Habis mau bagaimana lagi?“, katanya dengan muka pasrah dan bingung.

Saya terdiam.

Saya tahu ia memiliki komorbid juga dan situasinya akan berbahaya bagi dirinya sendiri.

Tetapi, ia benar pilihannya sangat sedikit. Bahkan, hampir tidak ada.

Kondisi kejiwaan si Bibi yang positif perlu mendapat perhatian. Semakin lemah kondisi mentalnya, semakin turun imunitas tubuhnya, semakin rendah kemampuannya bertahan dari virus tersebut.

Di sisi lain, saya tidak bisa menempatkan satu orang, siapapun itu, dalam situasi yang sangat mungkin membahayakan jiwanya. Apalagi si adik ipar, yang memiliki penyakit bawaan.

Tough call.

Very tough call.

Saya pada akhirnya memutuskan dan berkata dengan tegas, “Nggak Ndu, aku nggak izinin kamu pergi!“. Apalagi, sebelum itu, saya melihat istrinya menangis karena khawatir bahwa suaminya, yang ia tahu kondisinya, mengambil keputusan menemani si Bibi melihat jasad si Paman.

Saya pergi menemui para Paman dan Bibi lainnya, adik-adik si Bibi yang terkena Covid. Saya menjelaskan situasinya dan meminta mereka untuk membujuknya agar membatalkan niatnya.

Semua setuju dengan pandangan saya dan berusaha membujuk si Bibi via ponsel untuk membatalkan permintaannya.

Saat bersamaan, saya mengangkat telpon dan menghubungi salah satu dari anaknya yang sedang menunggu hasil swab.

Saat hubungan tersambung, saya mendengar suaranya yang bergetar menahan tangis dan meski terasa ia menguatkan diri, saya tahu kondisi psikisnya sedang jauh dari kata baik. Kehilangan orangtua bukanlah hal yang mudah diatasi.

Dengan menguatkan hati, saya menjelaskan situasinya. Juga, saya menerangkan bahwa saya tidak akan mengizinkan satu orang pun untuk menjadi supir dan mengantarkan si Bibi. Saya tidak ingin ada orang lain yang berada dalam bahaya.

Ia mengerti dan mengatakan bahwa ia akan kembali untuk menjemput.

Lega.

Tidak berapa lama kemudian, telpon saya berdering lagi, anak si Paman dan Bibi, yang tadi berbicara kepada saya, menanyakan apakah ada orang yang bisa mengantarkan si Bibi ke rumah sakit.

Pertanyaan yang membingungkan karena kondisinya akan sama saja.

Sehalus mungkin, dan sambil memohon maaf, saya menjelaskan lagi, hal itu tidak bisa dilakukan. Tidak mungkin membiarkan seorang yang sehat tertular Covid.

Saya menolak.

Rasanya sakit sekali di dalam hati saat mengatakannya. Ada rasa sedih bahwa saya tidak bisa membantu mereka yang berada dalam kemalangan sedikit saja. Ada sakit karena mereka adalah orang-orang yang sering bercanda, tertawa, bersenda gurau bersama.

Saya harus menolak keinginan mereka dan tidak bisa membantu sedikitpun. Hanya bisa memandang dan menemani dari jarak jauh.

Bukan hal yang ideal dan tentunya ada resiko mereka akan merasa dikucilkan dan tidak dibantu saat kesusahan.

Tetapi, nyawa seorang manusia, sangat berharga. Saya tidak boleh menempatkan seseorang dalam situasi yang bisa mengancam jiwanya. Tidak boleh.

Dan, saya tetap pada keputusan untuk meminta anak si Bibi menjemput ibunya sendiri.

Meski rasa sedih menggumpal, saya harus melakukan sesuatu yang seharusnya.

Si anak pada akhirnya datang dan menjemput ibunya, dan kami hanya bisa melihat dari jauh, memberinya semangat via WA.

Saya tidak tahu lagi bagaimana perasaan hati sore ini.

Bukan sebuah keputusan yang ringan dan gampang.

Yang jelas keputusan itu menyakitkan sekali, bagi saya dan si Yayang, dan bagi sanak saudara lainnya.

♦♦♦

Segala tindakan atau keputusan pasti ada konsekuensinya.

Dan, saya sadar sekali tentang hal itu.

Saya tahu pasti akan ada efek dari semua keputusan yang saya ambil minggu ini.

Dugaan saya, tidak ada yang menyenangkan.

Saya hanya bisa berdoa, semoga saja, Allah memberikan keringanan sedikit dalam hal ini. Semoga saja Allah memberikan kesehatan kepada kami semua. Semoga juga, Allah memberikan hidayah kepada saudara-saudara kami yang sedang berada dalam kemalangan dan memberikan mereka kelapangan dada.

Kelapangan dada untuk “mengerti” bahwa semua keputusan yang diambil, bukanlah karena kebencian. Bukan juga karena tidak mau membantu.

Keputusan itu untuk mencegah lebih banyak orang lagi yang terkena. Keputusan itu untuk menghindari agar tidak ada lebih banyak keluarga yang menangis karena kehilangan orang terkasihnya.

Keputusan yang berat sekali.

Tapi, itulah keputusan yang sudah saya ambil.

Dan, saya berdoa agar semua itu adalah keputusan yang tepat pada akhirnya.

Karena, saat ini, seberapapun berusaha, saya tidak bisa mengetahui apakah saya yakin atau tidak.

Hati saya seperti mati rasa.

Bogor, 23 Januari 2021, hari yang suram.

14 thoughts on “My Calls”

  1. Kak Anton, turut berdukacita πŸ™ semoga Almarhum dan Almarhuma diberi tempat terbaik di Surga dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi penghiburan dan kekuatan.
    Semoga saudara-saudara Kakak mengerti, bahwa bukan karena Kakak tidak mau membantu, hanya saja situasi yang tidak memungkinkan. Doaku untuk keluarga besar Kakak agar selalu diberi kesehatan dan kesembuhan bagi yang sedang sakit sekarang. Amiiin πŸ™πŸ»

    Reply
    • Aaamiiin…Makasih Lia atas doanya.. Baek banget sih si peri kecil ini. Semoga semua sehat yah, termasuk Lia juga..

      Yah, harapan dan doanya sih begitu, tetapi hari ini, ternyata dugaan saya juga tidak salah.. wakakakak but I made my call dan bersedia kok menanggung konsekuensinya…

      Reply
      • Aminnn. Terima kasih banyak juga atas doanya, Kak πŸ™πŸ»

        That’s bad πŸ™ I’m sorry to hear that πŸ™
        semoga Kak Anton tetap kuat menghadapi kondisi yang nggak mengenakkan ini :'( semangat!

        Reply
  2. Mas Anton, pasti ini tidak akan mudah jika sudah menyangkut kepergian dan sakitnya seseorang yang kita kasihi, tapi yang bisa aku katakan bahwa Mas Anton pun sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga kecil Mas dan saudara lainnya. Aku harap Mas Anton yang masih memiliki kekuatan untuk berpikir jernih bisa pulih lagi hatinya, karena masih ada PR untuk menguatkan satu sama lain.

    Turut berduka cita ya, Mas Anton… Semoga ada pembelajaran juga yang bisa ditarik dari musibah ini. Semoga Mas Anton dan keluarga juga tetap dikelilingi hal-hal positif, Aamiin

    Reply
  3. Turut berduka cita, Mas Anton.

    Bayangan kayak gini ini yang seringkali menghantui setahun terakhir, karena kondisi yang ada. Harus memilih yang mana. Semoga pilihan Mas Anton dan keluarga selalu memberikan kebaikan untuk yang mana pun, dan tetap dilimpahi kesehatan.

    Yuyur karena telepon-telepon semacam ini di masa lalu, saya sudah nggak bisa lagi ngangkat telepon dari keluarga di jam-jam tertentu. :”)) Namun saya berpikir suatu saat saya tentu harus berhadapan dengan hal seperti ini. Sebagai “orang dewasa”, tidak lagi ditemani orangtua.

    Padahal perasaannya juga pasti sama ya, terlepas umur berapa saja kita menghadapinya. Nggak bikin Mas Anton mendadak setrong dan bisa menghadapi semua dengan lempeng-lempeng, toh. Alhamdulillah Mbak Yayang juga sigap menemani.

    Semoga sepupu Mas Anton juga dikuatkan dan diberikan kemudahan untuk menghadapi situasi setelahnya. Beliau pasti merasa sangat terbantu dengan kehadiran Mas Anton dan keluarga.

    Reply
    • Aaamin.. makasih ya Mega..

      Iyah, saya paham banget rasanya ditelpon pada jam-jam nggak normal. Sekarang saya jadi kagetan kalau nerima telpon malam2 hahahaha…

      Sekuat-kuat saya Meg.. Tetap saja manusia dan tetap saja rasanya ya sakit juga. Tapi untungnya sudah belajar menerima dan sudah lebih kuat.

      #Stay safe ya Mega..dan nggak usah terlalu dibebani situasi setahun belakangan ini. Jalani saja dengan sebaik-baiknya… Habis mau gimana lagi.. iya nggak?

      Reply
  4. Mas Anton, saya turut berdukacita dan prihatin atas apa yang dialami keluarga Mas dan Mbak Hes. Semoga Yang Maha Kuasa memberikan ketabahan dan kekuatan ya.

    Untuk Mas Anton, Mbak Hes dan Kribo semoga kalian sehat-sehat juga ya. Akhir-akhir ini hati saya juga agak nyesss mendengar kabar duka dari kerabat yang meninggal karena Covid-19 ): baru aja kemarin ini saya mendapat kabar salah satu teman gereja dulu di Bali meninggal dunia karena penyakit yang sama. Saya sampai bingung harus berkata apa dan hanya bisa berdoa semoga kita semua selalu diberikan hikmat untuk menjaga kesehatan ya πŸ™

    Reply
    • Aaaminnn.. Makasih ya Jane..

      Iya lah pasti rasanya gimana gitu.. seperti ga berhenti kabar buruknya. Dateng terus dan kadang tiba-tiba.

      Semoga Jane, Andreas, Josh, dan adiknya Josh juga diberi kesehatan dan selalu berada dalam lindunganNYA yah

      Reply
  5. Turut Berduka cita yah Pak. Semoga di terima segala amal ibadahnya dan semoga diampuni segala kesalahan yang pernah dilakukan selama hidup di dunia.

    dan tak lupa pula, semoga anggota keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran.

    Dan semoga Pak Anton sekeluarga diberikan kesehatan dan dijauhkan dari Virus Corona.

    Reply
  6. Bapaakk, turut berduka cita sedalamnya ya.

    Sejujurnya, hampir setiap hari, saya seperti menutupi bagaimana was-wasnya hati ini.

    Makanya, kemaren pas dengar ibu mertua nggak mau makan lagi, kayak hilang ingatan sayanya.

    Sedih banget bapak, mendengar dan mengetahui, banyak banget teman-teman yang kehilangan sanak saudara hingga orang tuanya di masa pandemi ini.
    Dan itu bikin hati saya nyess banget, sedih memikirkan, akankah saya masih bisa bertemu dengan ortu saya dalam keadaan sehat walafiat.

    Ah, semoga kita semua selalu dilindungi-Nya ya Bapak, tetap jaga diri dengan patuh aja dulu, dengan itu wujud nyata cinta kita terhadap orang-orang kesayangan kita πŸ™‚

    Reply
    • Aaamiin.. Makasih. semoga Rey dan keluarga selalu sehat dan berada dalam lindunganNYA yah.

      Memang itu tantangannya Rey..Kadang untuk patuh itu tantangannya banyak banget karena sering keluarga kita tidak sepandangan dengan kita. Adik ipar saya juga tidak sepaham, ujungnya, ya saya tegaskan, jangan ke Bogor kalau elu masih sering kelayapan nggak perlu seperti itu (dia suka main sama teman-temannya).

      Bukan hal yang enak karena pasti ada yang tersakiti, tetapi itu demi kebaikan bersama kok.

      Stay safe yah

      Reply

Leave a Reply to Bakwan Jagung Cancel reply