P.H.K.

Kasihan.

Nggak terasa sambil memandang ponsel ada rasa trenyuh dan sedih di dalam hati. Tarikan nafas agak panjang terpaksa dilakukan karena tidak terhindarkan rasa sesak membaca bagaimana sang Covid-19 menghasilkan badai PHK yang menghancurkan mata pencaharian jutaan orang di Indonesia.

Melo kata anak millenial. Sentimentil kata generasi 70’an. 

Mungkin, memang begitulah saya.

Kata PHK atau Pemutusan Hubungan Kerja, kapanpun dan dimanapun, akan selalu berhasil membetot saya untuk bernostalgia sejenak ke masa lalu, masa ketika si Kribo Cilik masih berusia 4 tahun, tahun 2006. Masa dimana saya merasakan dunia seperti kelam dan kecemasan dan kekhawatiran pernah begitu pekat hadir dalam kehidupan kami.

Tahun itu, tepatnya Agustus 2006, saya di-PHK.

Gonjang-ganjing dalam tubuh manajemen, perseteruan antara investor asing dan lokal di perusahaan tempat saya bekerja mencapai puncaknya. Perusahaan dinyatakan tutup “mendadak”. Pemberitahuan diterima ketika kami sedang berakhir pekan yang membuat kegalauan tingkat tinggi tiba-tiba menyeruak dalam kehidupan kami.

Walaupun, saya sebenarnya sudah menyadari bahwa ending seperti itu adalah sesuatu yang “hampir pasti” terjadi, tetap saja berita itu seperti hantaman godam yang sangat keras. Berat untuk diterima.

Mungkin, karena pada saat itu, saya berharap terlalu banyak. Baru dua tahun sebelumnya, saya memutuskan meng-kredit rumah agar kami tidak perlu lagi menjadi kontraktor, yang harus tinggal di rumah sewaan yang bukan milik kami. Belum lama saya begitu menikmati rumah baru kami, yang meski kecil dan sangat sederhana terasa berbeda dengan rumah kontrakan. Rumah itu milik kami meski sertifikatnya masih dipegang bank sampai cicilan lunas.

Tutupnya perusahaan itu sama dengan seperti tutupnya sumber pemasukan yang dipakai membayar cicilan rumah tersebut. Yang artinya, sesuatu yang sedang sangat kami nikmati terancam sekali keberadaannya.

Kegalauan terus bertambah kalau memandang si Kribo Cilik yang sedang lincah-;incahnya dan sedang begitu menikmati rumah odong-odong miliknya. Ia begitu senang bermain di rumah sendiri dan menjulukinya dengan nama kendaraan tua dan bobrok yang masih dipakai di beberapa daerah kota Bogor. Julukan itu dilekatkannya kepada rumah kami yang waktu itu sebenarnya belum begitu layak karena masih banyak bagian yang perlu diperbaiki.

Si Kribo tetap saja senang dan gembira berlarian kesana kemari di halaman depan atau belakang yang masih berupa tanah. Ia tidak mengeluh meski kalau hujan turun, ia dan ibunya akan repot memasukkan kompor ke dalam rumah karena belum ada dapur. Pembayaran uang muka rumah dan cicilan bulanan, membuat hampir tidak ada dana tersisa untuk menambahkan dapur ke rumah kecil kami.
Untungnya, si Kribo tidak mempermasalahkan, ia begitu menikmati suasana baru rumahnya sendiri.

Dan, itulah yang membuat rasa kelam saat itu bercokol dalam hati. Haruskah saya terpaksa harus membuatnya kehilangan semua itu? Kebahagiaan memiliki “sesuatu” yang miliknya sendiri. Kegembiraan yang baru sebentar dirasakannya?

Tidak kalah berat rasanya ketika memandang wajah ibunya si Kribo, dimana kekhawatiran terlihat meski tidak terucap. Berbagai pertanyaan timbul, “Menyesalkah ia meninggalkan pekerjaannya ?” Yang paling menakutkan adalah “Mampukah saya tetap membahagiakannya?” Ia sudah berkorban banyak demi keluarga kami dan bukan sesuatu yang menyenangkan kalau saya tak mampu memenuhi janji saya kepadanya.

Berbagai pikiran kelam bermunculan bak jamur di musim hujan.

Dunia saya terasa suram seiring datangnya tentang keputusan PHK yang pasti akan terjadi.

Suasana muram seperti ini sempat menghadirkan masalah lain. Ketegangan, kekhawatiran, dan kecemasan dalam hati memang tidak terucap, tetapi semua tidak bisa disembunyikan.

Si kribo cilik sempat sebentar terasa menjauh. Ia yang biasa nemplok dengan manja di punggung kemanapun kami pergi, sempat ngambek dan tidak mau melakukan kebiasaannya. Rupanya segala unsur negatif, kekhawatiran dan kemarahan  yang berusaha disembunyikan tertangkap oleh radar bersih si kecil. 

Saya membuatnya takut, meski tidak mengucapkan apa-apa. Ia merasakan berbagai kesuraman yang ada di hati saya.  Mungkin roman muka saya saat itu begitu “gelap” sehingga ia merasakan amarah dan rasa geram itu.

Untungnya, dan disanalah saya merasa begitu beruntung memiliki seorang istri, yang meski tidak kalah kuatirnya dengan situasi yang ada, tetap memberikan semangat dan menemani, tanpa banyak bicara. Ia tidak memaksa saya mengungkapkan apa yang tidak mau saya ceritakan, ketakutan dan kekhawatiran. Ia sudah cukup mafhum bahwa suaminya sedang berada dalam zona “perang”.

Ia hanya selalu berkata, setiap hari, “Tenang mas, Insya Allah, Tuhan akan memberikan jalan”. Tidak henti dia mengatakan itu. Sesuatu yang pada akhirnya tetap membuat saya bertahan dalam situasi yang berat seperti itu.

Dan …

Apa yang dikatakannya memang terbukti.

Allah SWT memberikan kami jalan, sekaligus memperlihatkan bahwa tidak selamanya “yang buruk” membawa keburukan.

PHK itu memang “buruk”. Menyebabkan ketidakpastian. Hanya, rupanya, setelah melalui proses negosiasi antara serikat pekerja dan manajemen, ada satu keputusan yang membuat dunia tidak begitu suram lagi. Masih penuh ketidakpastian, tetapi, senyum saya bisa kembali sedikit, walau rasa kuatir tetap ada.

Pesangon.

Negosiasi selama sebulan ternyata membawa hasil, kesepakatan berujung pada persetujuan bahwa setiap pegawai akan diberikan pesangon 2 x Kesepakatan Kerja Bersama dan dibayarkan penuh segera setelah disepakati.

Dengan uang itu, ternyata, kami bisa melunasi rumah cicilan kami. Bahkan, masih ada sisa uang kami pergunakan untuk membuat dapur dan membeli kendaraan.

Yang  terpenting, saat itu, si Kribo tidak perlu kehilangan rumah odong-odong kesayangannya. Ia bisa tetap tinggal dan menikmatinya.

Tidak berapa lama, kekhawatiran lainnya pun segera sirna. Sebuah telpon dari perusahaan tekstil lainnya mengundang saya datang untuk wawancara. Entah darimana mereka mendapatkan nama saya, tetapi wawancara berjalan mulus. Tidak berapa lama kemudian, mereka juga mengabari bahwa saya bisa segera bergabung.

Semua hal yang saya takutkan seperti dihembus angin kencang dari surga. 

Kami mendapat jalan untuk bertahan dan terus melangkah maju.

Tidak berarti rasa kuatir hilang begitu saja. Efek dari PHK sendiri masih bercokol dan kecemasan, ketegangan tetap masih ada hingga beberapa tahun ke depan, dan bahkan saat ini. Meskipun demikian, saat itu kesuraman yang menghantui keluarga kami seperti awan terhembus angin.

“We will survive”.

Memang, ternyata jalan kemudian masih panjang dan penuh gelombang. Saya masih harus berpindah kerja 2-3 kali lagi sebelum sampai di perusahaan dimana saya bekerja sekarang. Salah satu diantaranya harus mengalami bersepeda motor setiap hari antara Bogor – Tangerang (lebih dari 100 kilometer setiap hari) selama 2 tahun.

Tapi, kehidupan kami beranjak maju dan terus berkembang sampai menjadi seperti sekarang.

Meskipun demikian, pengalaman PHK inilah yang hingga sekarang tetap saja akan selalu berhasil menggiring pikiran saya sejenak ke masa lalu. 

Masa dimana kehidupan kami pernah masuk fase yang begitu suram dan gelap. Masa dimana sepertinya tidak ada masa depan untuk kami.

Masa dimana kami belajar sesuatu bahwa tidak ada sesuatu yang abadi. Masa yang sama memberi pelajaran penting bahwa jangan hanya bergantung menjadi karyawan saja. Masa yang memperlihatkan betapa pentingnya memiliki seseorang yang mau menemani bukan hanya di kala suka, tetapi di kala kesuraman melanda.

Masa yang mengajarkan dan membuat kami menjadi lebih dewasa dari sebelumnya.

Masa yang membawa kami sejauh ini.

Masa yang hari ini kami syukuri pernah terjadi dan kami alami.

Bogor, 08 Juni 2020

4 thoughts on “P.H.K.”

  1. What a story, thanks for sharing mas. Saya yakin banyak orang saat ini yang merasakan apa yang mas Anton rasakan di tahun 2006. Harapan, doa dan dukungan orang terdekat tentu menjadi pegangan di masa-masa sulit seperti itu. Semoga mereka-mereka yang kena PHK dapat menemukan jalannya kembali dan beroleh rezeki yang lebih baik.

    Reply
  2. Terima kasih untuk tulisannya, Mas. Saya ingat ketika orangtua saya keduanya tidak punya pekerjaan juga. Ada waktunya rumah kami disewakan agar tetap bisa membayar cicilan dan kami pindah ke rumah kontrakan di gang.

    Saat sudah menikah sekarang, hidup saya masih cenderung 'aman' dan tenang, tapi pasti nanti akan ada naik-turunnya.

    Membaca cerita mas Anton, membuat saya kagum dengan semangat dan doanya, serta berharap jika kalau ada kesusahan di rumahtangga dan kehidupan saya nanti, saya bisa menjalaninya bersama pasangan saya seperti Mas Anton dan tulisannya.

    Reply
  3. Semoga Mega tidak pernah mengalami hal seperti ini. Semoga semuanya damai dan lancar Mbak…Semoga diberi rejeki berlimpah dan selalu berkecukupan.

    Kesulitan pasti ada, tetapi mudah-mudahan Mbak sekeluarga bisa mengatasinya

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply