Pangeran = Pengawal = Pekerja

Ada satu kesamaan antara saya dan si Kribo cilik yang sudah tidak kecil lagi.

Kami berdua sama-sama “anak laki-laki satu-satunya” dalam keluarga. Bedanya, saya memiliki 3 saudara perempuan sedangkan si Kribo anak semata wayang alias satu-satunya tanpa saudara.

Bagi banyak keluarga, terutama di masa sebelum tahun 1990-an, dan mungkin masih terjadi di masa sekarang, anak laki-laki satu-satunya bisa dianggap “pangeran” dalam keluarga. Mungkin, sudah banyak berubah di tahun 2000-an, walaupun kalau melihat keluarga yang tinggal di lingkungan kami, pandangan ini tetap masih dipegang banyak keluarga.

Anak laki-laki itu penting untuk penerus garis keturunan.

Spesial. 

Tidak peduli pemerintah mengatakan anak lelaki dan perempuan itu sama, masih tidak terhitung keluarga yang mendambakan kehadirannya.

Kami “spesial”..

Paling tidak begitulah yang dipikirkan orang banyak. Tidak terhitung sudah berapa kali terdengar kawan yang mengatakan saya beruntung. Walaupun ada seorang kakak perempuan, posisi pangeran keluarga adalah milik saya.

Mereka biasanya mengatakan dan membayangkan berada di posisi saya. Ingin apa, tinggal minta, orangtua pasti akan memenuhinya.

Enak bener kata mereka.

Saya biasanya hanya tersenyum simpul. Tidak membenarkan. Tidak menyalahkan. Saya membiarkan mereka tenggelam dalam bayangan mereka sendiri. Toh, kalaupun diceritakan sebenarnya, mungkin mereka sulit percaya.

Pangeran = Pekerja

Laki-laki di dapur

Pernah tahu rasanya ketiban cowet/cobek (tempat ulekan dari batu kali) ? Rasanya sakit banget! Sumpah! Bukan pas ketibannya, walau sakit juga, saya masih bisa bertahan sambil meringis.

Yang nggak tahan itu, saat tukang urut datang dan memijat bagian yang bengkak dan membiru, jempol kaki. Saya menjerit-jerit ketika tukang urut memijat jempol yang tertimpa. Rasanya seperti dioperasi (yah karena pas dioperasi pakai obat bius, jadi sakitnya jadi agak berkurang)

Mantap banget rasanya. Luar biasa.

Untungnya, saat itu kentang yang diulek untuk perkedel tidak tumpah berceceran. Jadinya, habis diurut masih bisa makan perkedel dengan sop.

Peristiwa yang merupakan hal biasa di kala saya SMP , yaitu membantu ibu memasak di dapur.

Ibu yang tidak bisa berjalan normal sejak kecil kerap menyuruh saya menemaninya saat memasak. Memarut, menanak nasi pakai dandang dan aseupan (tudung bambu), memotong bawang, meracik bumbu.

Beda jahe, lengkuas, dan kunyit, ketumbar dan merica, termasuk dalam kurikulum penting saat berada di dapur. Salah sedikit, rasa masakan bisa hancur lebur, begitu kata ibu. Jadi, saya manut banget, supaya nggak salah masukin bumbu.

Lebaran selalu menjadi momen penting bagi sang “pangeran”. Lebaran adalah saat dimana kue dibuat dalam jumlah besar, yang artinya tenaga anak laki-laki satu-satunya sangat bermanfaat. Adonan kue perlu dibanting supaya bisa bersatu dengan baik dan tidak ada yang lebih baik dalam melakukannya selain saya.

Membentuk adonan menjadi gepeng atau tipis, untuk kue biji ketapang, cheese sticks, atau pastel, lebih mudah dilakukan kalau dilakukan seorang laki-laki. Tenaganya lebih besar dan prosesnya jadi lebih cepat. 

Panas api kompor juga bukan hal yang baru. Selesai berbagai kue lebaran itu dibentuk, tugas anak laki-laki satu-satunya lah untuk menggoreng atau mengawasinya di oven aluminium.

Dua hari menjelang lebaran, sajian utama keluarga kami, rendang harus dibuat. Masakan ini wajib ada di meja makan untuk keluarga dan tamu yang datang.

Berbeda dengan masa kini yang mengandalkan panci presto, ibu lebih suka melakukannya dengan gaya tradisional. Ia lebih suka rendang dimasak di atas kompor dengan api kecil sambil disirami santan.  Tugas itu adalah jatah si “pangeran keluarga” untuk membantu mengaduk, membolak balik daging, dan sambil sedikit demi sedikit memasukkan santan ke dalam kuali besar.

Nama sayur asem, lodeh, sop, dan lain-lain yang katanya wilayah wanita bukanlah hal yang asing . Saya bisa memasaknya.

Dapur adalah area “bermain” , “belajar”, dan kawah candradimuka dunia memasak bagi si anak laki-laki satu satunya di keluarga kami saat itu.

Sebuah pelajaran yang di kemudian hari, setelah saya berkeluarga ternyata luar biasa berguna. 

Saat si Yayang sakit, tidak ada yang terlalu panik dalam urusan makan. Ada tenaga cadangan yang bisa menyelesaikan, meski tidak sesempurna kalau dia yang melakukan, semua terselesaikan. Tidak ada yang menangis menahan lapar.

Pernah, suatu waktu, si Yayang khawatir saat si Kribo cilik sangat ingin pergi ke Lampung, ke rumah bibinya. (Sebenarnya, si “pangeran” keluarga kami itu ingin melihat bagian lain dunia dan provinsi di paling Selatan pulau Sumatera itu terkenal akan keindahan pantainya). Ibunya takut dan tidak rela melepasnya pergi jauh tanpanya, meski bersama adiknya sendiri.

Jalan keluarnya, saya menyuruhnya pergi bersama, sekaligus memberikan refreshing dan mencari suasana baru untuk permaisuri saya ini. Bagaimanapun, ia butuh itu. Meski dia agak khawatir terhadap suaminya juga karena ia yang biasa mengurus segalanya di rumah, akhirnya ia berangkat.

        “Saya akan baik-baik saja”, begitu pesan saya saat mereka mau naik bis.

Selama seminggu dua orang kesayangan itu pergi. Selama itu pula, para tetangga menduga untuk urusan makan, saya memesan dan membeli makanan dari luar.

Mereka kaget ketika saya mengatakan, saya tidak pernah membeli makanan (kecuali saat di kantor). Saya makan hasil masakan sendiri. Si Yayang tidak begitu kaget karena ia sudah tahu suaminya memang bisa masak.

Dapur bukanlah tempat yang tabu bagi saya. Walau setelah menikah, saya menyerahkan tugas itu kepada si Yayang, tidak berarti pelajaran masa kecil terlupakan dan tidak lagi dipakai.

I am not Gordon Ramsay but I can cook, at least for myself!

Makasih ya Nyak!

Papan gilesan itu teman, setrikaan itu kolega, cuci piring itu hobi

Tahu papan gilesan? Buat yang lahir di masa mesin cuci sudah ada mungkin tidak pernah melihat bentuknya. Papan ini berupa papan tebal dengan gerigi di permukaannya. Dulu terbuat dari kayu nangka, sekarang sudah ada versi plastiknya.

Gunanya? Untuk menggilas pakaian supaya kotoran lebih cepat lepas, juga mencuci bisa lebih cepat dibandingkan sekedar dikucek saja.

Tahu setrikaan ayam? Ini jenis setrikaan jaman listrik belum tersedia kayak sekarang, ada dimana-mana. Setrikaan ini terbuat dari besi hitam dan ada ruang kosong di dalamnya untuk tempat bara/arang menyala.

Panas untuk melicinkan pakaian berasal dari bara arang tadi yang dibakar dulu sebelum kemudian dimasukkan.

Nah, biasanya ada pengait supaya arang tidak tumpah dan bentuknya berupa ayam jago. Makanya sering disebut setrikaan ayam.

Kok saya bisa tahu? Ya karena pernah memakainya. Untuk yang setrikaan ayam, dulu tugas saya (masih kecil, siswa SD), ngipasin bara apinya supaya tetap menyala dengan kipas bambu.

Setelah besar dan pindah rumah ke Bogor, mulailah saya terlibat dalam beberapa pekerjaan rumah tangga lebih banyak. Paling tidak yang terkait diri sendiri.

Mencuci, menyetrika, mengepel, menyapu, dan tentunya cuci piring.

Tidak dinyana, semua kebiasaan itu membantu sekali saat pertama kali berkeluarga. Di rumah kontrakan yang masih tanpa penghuni mesin cuci, ternyata saya bertemu dengan sobat lama, si papan gilesan.

Tangan si Yayang ternyata sensitif terhadap deterjen yang dipakai Rinso atau Daia. Jika ia mencuci, tangannya jadi terluka, kulitnya terkelupas. Nggak tega melihatnya, jadilah keahlian lama dikeluarkan dan bersama teman lama tersebut, saat libur atau sepulang kerja mencuci pakaian jadi tugas rutin.

Cuma soal urusan menyetrika, saat itu sudah tidak ada lagi si setrikaan ayam. Sudah tidak ada yang produksi karena listrik mudah didapat. 

Pekerjaan itu sudah berada di tangan si Yayang yang mengambil alih setelah berhenti bekerja.

Bukan berarti saya berhenti total karena sekali kali, tetap saja saya bertemu kembali dengan kolega lama, si setrikaan. Meski sebenernya, si Yayang lebih sering melarang. Dia bilang, sayang listrik (bukan sayang suami) karena kalau saya setrika biasanya lama (sesuai prosedur penyetrikaan yang diajarkan ibu dulu).

Cuci piring mah sudah jadi hobi yang tidak bisa dipisahkan sampai sekarang.

Pangeran = Pengawal

Kata Kasar

Tahu rasanya ditabok? Nggak enak gila!

Sebuah “kata kasar” yang keluar dari mulut saat masih di SMP, di dalam sebuah pertengkaran sengit dengan si kakak, berujung pada bilur-bilur di pipi. Ibu terpaksa melayangkan tangannya karena kata kasar tersebut.

Pelanggaran tak terampunkan. Bahkan dibandingkan dengan berkelakuan nakal saat bermain, umpatan, cacian adalah sebuah tabu.

Ibu dan bapak memberi beberapa batasan kecil terkait dengan kedudukan saya sebagai “pangeran” dalam keluarga kami, yaitu

  • Jangan berkata kasar terhadap siapapun, apalagi kepada orangtua atau saudara. Kata-kata seperti ini akan menyakiti orang dan pada akhirnya bisa melahirkan masalah lebih banyak
  • Berperilaku sopan kepada orangtua dan yang lebih tua. Jangan pernah meninggikan nada suara terutama kepada orangtua. Kamu bisa berbeda pendapat, tetapi sampaikan dengan mengikuti cara yang sopan dan lemah lembut
  • Jangan bangga dengan kekuatan. Terkadang kekuatan itu bisa merusak kalau tidak dipergunakan dengan benar. Pergunakan otak lebih banyak daripada otot

Mungkin, dan rasanya memang begitu, kedua orangtua tersebut sadar bahwa sebagai anak laki-laki, saya diberikan kekuatan yang lebih dari saudara perempuan. Mereka tidak ingin saya memanfaatkannya untuk menekan dan istilahnya membully dengan menggunakan kelebihan yang ada. Mereka ingin kedudukan menjadi berimbang dengan membatasi penggunaannya.

Batasan-batasan yang di kemudian hari membawa hasil berupa,

  • Calon mertua yang takluk dan bersedia “menyerahkan” anaknya menjadi istri saya, meski saat itu ada saingan lain, seorang insinyur yang berasal dari keluarga terpandang
    Om dan tante si Yayang, jumlahnya lebih dari 10, yang sampai sekarang selalu menyarankan kepada anak-anak mereka, “Sana diskusi dan tanya dulu sama mas Anton!” jika ada masalah
  • Punya gelar om Kodok dari mantan calon keponakan dan keponakan sekarang

Saya seorang master dalam urusan meyakinkan orang lain, dari berbagai kalangan dalam keluarga besar, yang manapun. Ibu, saat masih ada,  selalu mengatakan semua itu karena saya memakai “CARA” atau pendekatan yang lemah lembut dan sopan.

Bukan berarti saya selalu berusaha menyenangkan orang lain dan bermanis-manis kata. Tidak sekali dua kali juga saya bertentangan bahkan dengan ibu dan bapak sendiri. Hanya saja, caranya yang mungkin bisa diterima oleh mereka.

Tidak ada teriakan kesal karena emosi atau marah saat berbicara atau berdebat. Dalam kondisi apapun, nada suara tetap dijaga pada posisi rendah. Sesuatu yang rupanya menenangkan banyak orang dan membuat mereka bisa menerima, bahkan meski pendapat tidak sama.

Dengan begini, mereka mau mendengarkan apa yang saya sampaikan, karena mereka tahu, bahwa saya akan mendengarkan apa yang mereka katakan.

(Meski, saya sekarang harus meminta maaf kepada ibu karena kadang kata kasar keluar juga sejak punya mobil. Kelakuan pengendara di jalanan Indonesia itu benar-benar sering bikin naik darah. Ampun ya Bu!)

By the way, I was trained well as a marketer, long before I chose the profession. (Yah saya sudah terlatih menjadi marketing, jauh sebelum saya memilih profesi itu)

Pengawal

“Ton, jemput adikmu yah, dia pulang sekolah sore”. “Ton, mbakmu jam 8 baru keluar kantor, temenin yah”. “, Ton, ibu mau rumah mbah, kamu dorongin kursi ibu yah”

Yah, sejak beranjak dewasa, di kala menjadi mahasiswa, selain kuliah, ada satu peran yang harus dilakukan, yaitu menjadi pengawal, bagi semua anggota dalam keluarga.

Kemana-mana, sepertinya tidak afdol kalau tidak ada si Anton.

(Ada untungnya juga ternyata saat mahasiswa, dan menjadi pengawal adik. Bisa ngecengin anak-anak SMA yang cantik-cantik. Seneng serasa jadi superstar dapet salam banyak dari teman-temannya si adik. Sedihnya, tidak jarang juga disangka pacarnya si adik. )

Kebiasaan berperan sebagai pengawal dalam keluarga membawa keuntungan tersendiri saat bergaul. Cara pandang saya terhadap teman wanita, bukan hanya menjadi,”teman/sahabat” atau “inceran/pacar” saja. Ada satu kategori tambahan, yaitu “kakak/adik”.

Saat bekerja atau bergaul dengan teman wanita, saya bisa lebih “ngemong”. Karena saya tahu caranya. Teman wanita tidak takut berada dekat saya karena seperti berada bersama kakak atau adik saja.

Bisa jadi, si Yayang tidak cemas adanya CLBK kalau saya reuni atau bermain dengan kawan lama (wanita) karena ia menyadari adanya kategori tambahan dalam cara pandang saya terhadap wanita.

Peran pengawal ini tetap berjalan bahkan ketika saya punya keluarga sendiri. Bukan hanya bagi si Yayang dan si Kribo, tetapi tugas mengawal itu juga berlaku untuk ibu, bapak, kakak, dan adik dari kedua belah sisi.

Ke Rumah Sakit, ke pemakaman, dan banyak lagi yang lain. Si Anton hampir selalu ada.

Tugas itu tidak berhenti saat orangtua dari kedua belah sisi sudah tiada. Saya tetap mengawal adik-adik sendiri atau si Yayang saat mereka membentuk keluarga sendiri. Mulai dari melamar sampai mengurus acara pernikahan.

Masih terus dijalankan sampai sekarang dalam lingkup yang lebih luas, karena saya ketua panitia tetap kalau ada acara pernikahan di keluarga besar si Yayang (untuk semua sepupunya).

Saya pengawal bagi semua orang.

— Sekarang —

Sang Pangeran Kami 2018

Si Kribo

Masak bukanlah hal yang aneh bagi “pangeran” keluarga kami ini. Cuma, karena perkembangan zaman, dan keseringan nonton Masterchef dan Hell’s Kitchen (Chef Juna sama sekali tidak dilirik), ia akan manyun kalau disuruh masak sayur asem atau sayur lodeh (kalau makannya sih suka).

Masakannya ala anak millennial dan berbau barat. Fetuccini, spaghetti, dan entah apa lagi namanya karena dia suka bereksperimen. Dengan indomie sekalipun, dia bisa menghasilkan masakan “aneh” tapi enak dimakan.

Tidak jarang, kebiasaan ini bikin dompet bapak ibunya menipis karena bahan masakan yang dimaunya harganya lumayan.

Jelas dari bukti yang ada, dia bukan kalangan cowok “anti dapur”.

Nyapu, ngepel, juga bukan sebuah hal tabu baginya. Meski kadang kurang bersih dan rapih seperti bapaknya, dan dikerjakan sambil merengut karena disuruh permaisuri di rumah saat bermain game, ia tidak malu mengerjakannya.

Cuma menyetrika saja yang belum mahir dilakukannya karena permaisuri di rumah lebih suka mengurus yang satu ini sendiri, dan belakangan karena tetangga buka outlet jasa setrika. Mungkin, nanti saat kuliah dan masuk asrama dia akan belajar.

Si Kribo juga “pekerja” di rumah.

Ia juga pengawal, terutama saat bapaknya sedang di luar rumah. Banyak anak laki-laki malu kalau diajak ibunya berbelanja, tapi bukan si Kribo. Selama tidak ke pasar, ia akan menemani dan bahkan ikut memilih belanjaan. Kalau ke pasar, dia pilih sebagai supir saja, padatnya pasar bisa membuatnya manyun seharian.

Saat menyeberang jalan sekalipun, ia sudah terbiasa berada di sisi luar dan tidak segan menggandeng tangan ibunya.

Sejak ia bisa mengendarai mobil, perannya juga bertambah menjadi supir dan pengawal. Kemanapun, ibunya mau pergi, dia dengan sukarela akan menawarkan diri menjadi supir. Kebiasaan yang sering dimanfaatkan bapaknya kalau sedang malas dan ingin di rumah sedangkan ibunya ingin ke pasar atau belanja. Cukup bilang, “Ya, anter si mama ya”. Beres.

Bahkan kalau bapaknya ikut sekalipun, sekarang, Jatah duduknya di sebelah kursi pengemudi atau di kursi belakang. Kursi supir sudah selalu dibooking olehnya. (Rasanya jadi bukan seperti naik mobil sendiri, seperti naik Grab atau Go Car)

Si Kribo juga “pengawal” dan “supir”

Belakangan ditambah dengan belajar “mencari uang”. Pelajaran baru yang diserapnya dari bapaknya, fotografi, membawanya ke dunia mencari nafkah lebih cepat dari seharusnya. Ia sudah bisa menghasilkan uang dari sana sejak SMA.

Ia lebih cepat dibandingkan saya saat seusianya.

Si Kribo juga sudah menjadi pencari “uang”

Si Juru Damai Keluarga

Gorila di rumah


Pangeran kami ini punya julukan untuk bapaknya sejak kecil.

Gorila.

Kata itu diucapkannya saat TK. 

Kata yang sama tahun lalu, 2019,  tertulis di kue ulang tahun yang diberikannya kepada saya, bapaknya. Disana tertulis,  “Selamat Ultah Gorila”

Sampai hari ini, saya tidak tahu kenapa dia takut pada hewan yang satu ini.

Sama mengherankan kenapa ia memilih kata itu untuk mendeskripsikan bapaknya.Seumur hidupnya, bapaknya tidak pernah melakukan kekerasan pada dirinya. Jangankan memukul, mencubit dan menjewer saja belum sekalipun dilakukan kepadanya. Memarahi dengan berteriak tidak pernah juga.

Biasanya, cukup dengan “menaikkan nada suara sedikit saja”. Kadang, kalau ada masalah atau sesuatu yang salah, ngobrol dan mengajak berargumen sudah lebih dari cukup. Lirikan mata sedikit saja sudah bisa membuatnya masuk ke kamar tidak keluar selama seharian.

Nilai raport yang jelek. Kegagalannya saat masuk sekolah yang dia inginkan. Semua tidak mengundang kemarahan, makian, atau ceramah, bapaknya. Yang ada hanya sebuah pertanyaan, “Gimana Ya (kependekan nama aslinya dan panggilan kami)? Enak nggak?”. Sambil diam dia menggeleng dan dia tahu dimana letak salahnya.

(Baidewei baswey, saya tidak pernah mempermasalahkan ranking. Nilai di raport hanyalah indikator bahwa ia sudah melakukan yang terbaik atau belum. Bukan tinggi atau rendahnya yang membuat teguran dari bapak ibunya datang)

Saking segannya dia kepada bapaknya, tidak jarang kalau ia punya keinginan dan dia ragu bapaknya akan menyetujui, atau baru saja melakukan kesalahan, ia akan berdiam di dalam kamar seharian. Kemudian, ia mengirimkan “juru damai” kepada sang Gorila, yaitu  si “permaisuri”, untuk menyampaikan dan menjelaskan pesan.

Barulah setelah itu, terjadi diskusi dan negosiasi, atau sedikit pengarahan.

Maybe, perhaps, mungkin, gelar Gorila itu diberikan karena bapaknya, si master selalu “menyentuh” sisi-sisi yang pas dalam dirinya sehingga menimbulkan rasa “sakit” yang menyadarkan dalam hatinya.

Jadi, susah baginya untuk mencari alasan.

♠♠♠♠

Si Kribo akan tetap “Pangeran kami, sampai kapanpun.

Tapi, kami menyadari, suatu saat ia harus menjadi “raja” bagi keluarganya, seorang pemimpin, seorang kepala suku dalam dunianya sendiri.

Pada saat itu terjadi, kami hanya bisa berharap, bahwa apa yang kami ajarkan, yang sebagian diwariskan dari kedua eyangnya, akan bisa menjadikannya seorang “raja yang bijak”, “seorang kepala suku” yang melindungi dan menjadi tempat bergantung, “seorang pemimpin” yang mengedepankan otak dan persuasi dibandingkan kekerasan.

Semoga saja kami sudah mewariskan sesuatu yang bisa memutarbalikkan pandangan banyak orang tentang bagaimana menjadi anak laki-laki satu satunya. Bukan dengan kata-kata, tetapi dalam bentuk tindakan.

Semoga.

Bogor, 23 Juni 2020

18 thoughts on “Pangeran = Pengawal = Pekerja”

  1. Pas pertama aku lihat foto ke1, aku kira itu Kak Anton soalnya mirip plek plek-an banget wkwkw

    Cerita yang hangat sekali. Ini enak bacanya kalau lagi sore hari sambil minum teh hihihi.

    Ternyata nggak selamanya jadi anak cowok satu-satunya itu jadi pangeran ya. Malah jadi apa aja harus bisa tapi hasilnya keren, jadi mandiri toh.

    Semoga keluarga Kak Anton bahagia selalu 😊

    Reply
  2. Aaamiin.. makasih doanya Lia.

    Hahahaha…. emang mirip bapaknya, terutama dalam hal keras kepalanya. Tapi, soal kalau juteknya keluar mirip ibunya…

    Habis kalau dijadikan pangeran saja, kasihan dia nanti tidak bisa berdiri sendiri. Kan yang repot bapak ibunya juga kalau gitu

    Reply
  3. Foto mas Kribo yang sendiri pegang kepala itu mirip banget sama mas Anton 😆 hahahahaha. Gen mas Anton sangat kuat melekat ke mas Kribo sepertinya, bahkan sampai ke skill fotografinya juga (jangan-jangan nanti mas Kribo jadi blogger di masa depan) 😁

    Eniho, saya suka baca post ini, hangat rasanya 🙈 dan saya ikut merasa bersyukur karena Yayangnya mas Anton bisa dapat pasangan seperti mas Anton yang sangat mampu untuk diandalkan 😄 hehehe. Saya selalu percaya sosok orang tua dalam mendidik anak akan berperan besar dalam bagaimana anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang. Dan dari cerita ini pun saya bisa tau bagaimana peran orang tua mas Anton berhasil mendidik mas Anton menjadi penjaga dan pengawal yang baik untuk keluarga terlepas dari status mas Anton sebagai pangeran maupun raja 😄

    Semoga, one day ketika mas Kribo bisa jadi raja untuk keluarganya, bisa membawa nilai-nilai positif dari Ayah Gorila kesayangan mas Kribo yahhh 🤩 dan bisa selalu menjadi kepala rumah tangga yang bisa diandalkan oleh anak istrinya kelak. Amiiiin ~

    Thank you mas for the warm stories 😆🙏

    Reply
  4. Hahaha jadi si kribo ini kombinasi ya. Berarti bener anak kandung 😆

    Betul banget, yang kayak gini jarang ditemui di masa sekarang. Kebanyakan anak jaman sekarang sukanya yang praktis-praktis aja, nggak ada makanan, tinggal delivery, jadi skill-nya kurang 😅

    Reply
  5. Enooo.. kamu kemana saja… Tulisannya ditunggu loh. Saya bolak balik ke rumahmu orangnya nggak ada, eh taunya orangnya nongol disini.

    Entahlah kalau jadi blogger sih. Rasanya dia lebih suka terjun ke media creative kayak fotografi atau videografi dibandingkan menulis. Setidaknya, dia melakukan yang dia suka.

    Alhamdulillah… Memang, saya juga berpandangan bahwa peran orangtua lebih besar dalam pembentukan karakter anak.

    Semoga saja saya tidak "gagal" menjadi orangua .. itu saja harapan kami.

    Enoo… nulis lagiii dong… #tetep Tulisanmu juga "warm" sekali untuk dibaca. Percaya pada diri sendiri dong. You are much better than many other bloggers that I know

    Reply
  6. Salam kenal juga Ami. Sebenarnya nggak ada yang perlu dikagumi.

    Pria memang seharusnya bisa hal hal yang dilakukan wanita juga. Biar bisa mandiri juga (Kecuali melahirkan yah 🤫)

    Reply
  7. Bapaknya om kodok
    Juniornya gorilla
    #lucuuuk

    Ahahha, selamat ulang tahun ya pangeran gorilla, semoga bisa sama berwibawanya kayak Bapak ya Ya…dan apa yang dicita-citakan tercapai. Beydewey aniwey baswey, sama loh kita Ya, kalau mantengin masterchef ga sekalipun ngelirik yang namanya chef juna, cz idolaku yang lebih sangar lagi yaitu gordon ramsay, alvin leung (masterchef canada), dan segala juri yang pokoknya malah bukan di acara yang di sini #eh lo kok aku ikutan manggil nama panggilannya mas kribo ya, hihi

    Oiya aku mau komen tentang ini nih :

    – Masih bingung bentuk kue biji ketapang kayak apa, penasaran 😀
    – Pak Anton kayak Pak Suami ku nih, sejak kecil uda dijadiin asisten Ibu buat bantu-bantu masak di dapur, makanya ga heran rasa masakan beliau selalu jauh lebih enak dari masakanku huaha
    – Rendang bikinan ibu Pak Anton kebayang-bayang di lidahku, ulala…
    – Aku tahu kok apa itu papan gilesan buat nyuci dan juga setrika areng wakkakaka, dulu tetangga yang momong aku pas ibu kerja kan pakenya ini, dan aku sering perhatikan bagaimana cara kerjanya yang kudu nunggu arengnya panas dulu, dan itu lambreto sekali
    – Uda mudeng dari sejak kenal blog bapak bahwa bapak punya kategori tambahan yaitu pinter ngemong dan kakakable bingit hahha, kayaknya fansnya banyak nih pas masih muda dulu, apalagi gaul sama temen2nya adik hahah

    Aniway selalu seneng baca tulisan blogger pria yang familyman kayak bapak. Aku jadi tahu masih ada loh laki-laki yang kayak gini #contohnya pak anton, bapakku, dan juga pak suamiku #eh loh tetep ya Mbul hahah

    Reply
  8. Banyak Nita familyman. Cuma nggak semua menulis seperti saya, contohnya suamimu itu kan. Bapakmu itu. Di kompleksku juga masih banyak yang lebih suka jadi familyman.

    – Kue ketapang itu agak bulet and bunder, bahannya sama dengan cheese stick cuma manis
    – Alhamdulillah, kalau misuamu sudah terbiasa, pasti dia nggak bakalan ngeluh soal dilayani karena dia sudah terbiasa mandri. Emang sih, kita tetep seneng banget kalau disediain kopi atau teh manis doang. Rasanya sudah dimanja banget loh..
    – Nah, iyah itu rendang emang rasanya beda dengan yang pake panci presto…
    – Hahaha.. fans saya nggak banyak-banyak banget seeh… cuma adaaa ajahhh..

    Soal ngemong, ya mungkin sudah terbiasa…

    Semoga keluarga Nita selalu di bawah lindungan NYA yah, dan semoga pak suami semakin sayang sama Nita…

    Reply
  9. Saya anak laki laki dalam keluarga saya sih, yang lainnya perempuan makanya memang agak di manja. Sampai sekarang aku juga ngga bisa masak sendiri, pernah belajar masak tapi hasilnya ngga enak jadinya menyerah.😂

    Anaknya mirip sekali dengan pak Anton, semoga saja nanti bisa jadi pribadi yang tangguh dan penyayang seperti bapaknya.😃

    Reply
  10. Jelas.. kalo perempuan nggak akan dipanggil Agus dah.. hahahah…

    Aaamiin.. makasih doanya ya mas, doa yang sama untuk mas juga, semoga punya anak yang sholeh, asal jangan versi yang ditimpuk gas melon yah

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply