Pengawal Tidak Boleh Menangis

Malam itu, 05 Januari 2018, bukan sebuah malam yang menyenangkan.

Bukan saja hari itu berarti hari ketiga ibu yang melahirkan saya berada di RS PMI Bogor karena sakit, tetapi juga karena lengan kanan saya mengalami masalah.

Sebuah cakaran kucing tetangga dua minggu sebelumnya adalah penyebabnya.

Keisengan ingin mengajak kucing tetangga bernama si Billy berujung pada saya diserang oleh hewan tersebut. Padahal, tidak ada yang saya lakukan selain memegang talinya dan mengikutinya berjalan.

Lengan kanan antara pergelangan dan bahu terkena cakarannya. Sayangnya, saya menganggap enteng masalah tersebut dan merasa bukan hal yang patut dibesarkan. Bahkan, ketika malamnya saya merasa meriang, kondisi tersebut saya abaikan dan sekedar menganggapnya sebagai masuk angin.

Saya tidak menyadari kalau si kucing ternyata sudah tidak dikeluarkan selama seminggu dari kandang karena pemiliknya bepergian. Kukunya kotor karena kotorannya sendiri.

Hasilnya, sebuah cakaran terkecil di dekat urat nadi ternyata menyebabkan infeksi parah. Nanah memenuhi lengan saya.

Usaha seminggu sebelumnya, ke dokter 24 jam tidak membawa hasil. Suntikan dan anti biotik yang diresepkannya tidak membawa perubahan apa-apa. Tangan saya tetap bengkak dan tidak henti mengeluarkan cairan nanah.

Sampai 2 hari sebelum malam itu, saya terpaksa pergi ke IGD RS Islam Bogor karena tangan tidak bisa digerakkan. Setelah pemeriksaan, dokter jaga disana menyarankan agar menemui dokter bedah pada hari Senin, bila obat tidak memberikan efek.

Infeksinya sudah parah katanya. Kalau obat tidak mempan harus dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan nanahnya.

Kondisi itulah yang membuat saya tidak bisa mengantar ibu ke rumah sakit tiga hari sebelum malam itu. Ketika salah satu adik menelpon bahwa mereka memutuskan untuk membawa ibu di rumah sakit karena kondisi kesehatannya yang tidak menunjukkan perbaikan sama sekali, saya menyetujuinya. Beliau tidak bisa makan dan tubuhnya lemas.

Sebagai “pengawal” keluarga, biasanya tugas itu adalah bagian saya, tetapi dengan tangan yang tak henti meradang dan mengeluarkan nanah, saya tidak punya pilihan lain selain mengizinkannya.

Bagaimanapun, saya tidak akan mampu menyetir mobil dengan tangan yang merah membengkak. Sakitnya luar biasa bahkan untuk melakukan gerakan yang kecil.

Saya dan Yayang hanya sempat sekali menjenguknya di pagi hari 05 Januari saat tangan “terasa” membaik.

Ibu terlihat senang dan gembira melihat kedatangan kami hari itu. Tidak lama kami berada disana, karena semua, termasuk ibu, menyadari kondisi saya yang sedang sama sekali jauh dari sehat.

Mereka menyuruh saya dan si Yayang pulang untuk beristirahat. Yang saya turuti karena memang badan sebenarnya masih luar biasa tidak enak.

Di malam itu, usai memijit lengan untuk mengeluarkan nanah sebisanya, saya berusaha untuk tidur. Bukan hal yang mudah karena demam yang seperti tidak kunjung usai membuat susah sekali memicingkan mata.

Gelisah karena badan terasa panas sekali.

Si Yayang tak henti memandangi saya dengan sangat cemas. Setelah berulangkali menyaksikan betapa memerahnya lengan saya dan nanah yang tidak kunjung habis, kecemasannya semakin hari semakin menumpuk. Ia tidak sabar untuk bisa menemui dokter bedah untuk melakukan tindakan.

Pikirannya galau, segalau pikiran saya juga.

Setelah beberapa saat, saya pun bisa tertidur.

Tidak lama.

Lewat tengah malam, telpon genggam saya berbunyi.

Tegang. Kaget. Khawatir. Sekaligus siaga.

Pengalaman menunjukkan bahwa telpon di larut malam seperti itu bukanlah pertanda baik. Sudah beberapa kali saya menerima panggilan seperti itu dan biasanya kabar buruk yang hadir.

Dari Dian, Mas“, kata si Yayang yang mengambil ponsel tersebut. Tanpa banyak bicara saya mengambil si ponsel dari tangannya.

Halo, ya Nyil (panggilan saya terhadap si adik bungsu)“, saat si Asus menempel di mulut.

Mas, maaf, bisa ngobrol. Soalnya Dian sudah nggak tahu harus gimana“, nada suara si adik terasa bergetar, panik dan khawatir.

Iya, kenapa?“, jawab saya.

Ibu.. sepertinya kondisinya memburuk, Mas. Sudah susah makan dan kelihatan lemas sekali. Hampir nggak sadar. Maaf, Dian nelpon soalnya, Dian dan Mbak Pipit (adik saya yang satu lagi), udah kebingungan dan khawatir banget“, jelas adik bungsu saya.

Mbak Avi (kakak) belum bisa kesini, makanya Dian mau ngomong saja sama Mas. Soalnya benar-benar tegang, sedih, dan bingung“, lanjut si bungsu dengan nada sudah mau menangis.

Oh, ya udah. Tunggu sebentar, mas nanti kesana“, sahut saya dengan perasaan yang sudah campur aduk.

Memang Mas bisa? Memangnya tangan mas sudah bisa?“, tanya sang adik yang juga tahu kondisi lengan saya.

Nggak usah dipikirin, kamu tunggu ajah disana. Mas bakalan dateng sebentar lagi“, jawab saya.

Ya udah mas“, jawab si Nyil dengan suara agak lebih baik dari sebelumnya. Ia menutup percakapan.

Saat menengok, saya melihat wajah si Mantan Pacar yang terlihat khawatir, lebih dari sebelumnya.

Mas, panggil Grab saja yah. Tangannya kan belum bisa dipakai nyetir“, pinta si Keras Kepala.

Kayaknya nggak bisa Neng, hampir jam 1 begini, susah dapetnya. Kayaknya harus pake si Verna“, jawab saya.

Si Yayang menghela nafas dan semakin terlihat cemas, meski ia menyadari bahwa saya benar dalam hal ini. Bakalan susah mendapatkan kendaraan lain di malam menjelang dini hari itu.

Pilihan lainnya, sepeda motor juga tidak mungkin dipakai.

Arya perlu dibangunin, Mas“, tanya Yayang lagi.

Nggak usah Neng, biar dia tidur. Kamu juga di rumah saja. Besok pagi, baru kamu nyusul deh

Helaan nafasnya semakin panjang pertanda kekhawatirannya yang makin meninggi, tetapi tidak punya solusi lain untuk ditawarkan.

Ia hanya menutup percakapan dengan mengatakan, “Pakai jaket ya mas” yang saya balas dengan anggukan setuju. Meski sudah sepanas Jakarta di siang hari, udara Bogor tetaplah dingin dan berangin di tengah malam.

Setelah memakai jaket dan mengganti perban di lengan, saya pamit dan kemudian mengeluarkan Hyundai Verna buatan tahun 2002 dari kandangnya.

Rumit juga mengemudi dengan satu “setengah” tangan. Tangan kanan tidak bisa menggenggam kemudi dengan baik karena kalau dilakukan ia akan mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak. Jadi, saya menggunakan telapak tangan dekat pergelangan untuk menekan kemudi supaya sedikit lebih stabil.

Untungnya, lalu lintas Bogor sepi. Meski tetap ada kendaraan yang berlalu lalang, jalanan terasa kosong dan sepi sehingga tidak perlu terlalu banyak menggunakan kemudi.

Entah karena mengantuk, entah karena demam yang masih belum pergi, entah juga karena Jalan Pajajaran dimana RS PMI berada gelap, saya tidak sadar melewati jalan kecil menuju pintu masuk rumah sakit tersebut.

Alhasil, saya harus berputar kembali mengitari Kebun Raya Bogor dulu sebelum bisa kembali ke jalur itu.

Perjalanan singkat yang kosong. Jalanan sepi dan kosong. Begitu juga hati saya saat itu. Nyut-nyutan di tangan tidak terasa. Mata saya hanya memandang ke jalanan Bogor yang tanpa kendaraan.

Barulah ketika sampai di depan Istana Bogor terasa ada kehidupan. Sebuah Toyota Vios warna hitam melaju secara zig zag, oleng, sekitar 10-15 meter di depan si Verna.

Mungkin pengemudinya lebih ngantuk dari saya.

Saya mengerem sedikit untuk memberi jarak tambahan untuk berjaga-jaga.

Tindakan yang tepat karena beberapa detik kemudian, laju si Vios semakin kacau dan berakhir pada naiknya kendaraan itu ke trotoar di dekat Lapangan Sempur.

Saya berhasil menghindar.

Tapi tidak berhenti untuk melihat dan mengecek kondisi si pengemudi . Dari kaca spion terlihat ban kanan depan mobil tersebut naik ke trotoar membuat mobil miring, meski tidak sampai terbalik.

Rupanya, si pengemudi berhasil menekan rem di saat tepat kalau tidak ia bisa terjungkir masuk tebing di bawahnya.

Saya tetap melaju.

Ada hal yang menurut saya lebih penting untuk dilakukan saat itu. Apalagi kecelakaan itu tidaklah terlalu parah.

Tidak berapa lama kemudian, saya sampai ke parkiran rumah sakit dan bergegas menuju kamar dimana ibu dirawat. Suasana rumah sakit terasa semakin mencekam dan membuat hati tambah tidak tenang.

Sesampainya di kamar, kedua adik memandang saya dan mengabarkan ibu sedang “tidur”. Mereka menjelaskan beberapa tindakan tim medis dan juga kondisi ibu yang sudah tidak sadar.

Meskipun tetap terlihat khawatir, keduanya terlihat “tenang” dan “senang” melihat kedatangan saya.

Si Pengawal sudah datang.

Mereka tahu bahwa saya tidak akan bisa melakukan apapun dan juga sedang sama khawatirnya dengan mereka. Meskipun demikian, kehadiran kakak laki-laki satu-satunya, si Pengawal, rupanya memberikan sedikit ketenangan di hati mereka yang sedang tegang bin galau.

Walaupun mereka tahu, hati si Pengawal pun sedang sama galaunya.


06 Januari 2018

Ngopi yang tidak terlaksana

Jam 08-an :

Si Yayang datang. Membawa sedikit makanan untuk yang berjaga. Kecemasan terlihat di wajahnya ketika ia melirik tangan saya.

Bertambah cemas ketika masuk ke dalam ruangan dan melihat kondisi ibu.

Hubungannya dengan ibu bukan lagi sekedar ibu mertua dan menantu, ibu selalu memperkenalkannya kepada siapapun sebagai “anaknya”.

Raut mukanya sedih, bingung, dan juga khawatir.

Perasaan yang dia tahu juga sedang saya rasakan.

Nyil, Pipit, udah pada pulang dulu. Kita harus gantian. Hesti kan sudah ada disini. Sana pulang dulu biar nanti bisa aplusan“, kata saya kepada kedua adik saya di ruang tunggu.

Tapi, kondisi ibu mas..?“, sahut Pipit yang seperti tidak ingin meninggalkan ibu. Selama ini memang ia yang selalu bersama ibu di rumah dan mengurusnya. Apalagi, setelah kami melihat kondisi ibu yang terus memburuk sejak saya datang, ia seperti tidak mau melepaskan matanya.

Iyah, Mas ngerti. Tapi kalian sudah beberapa hari disini, perlu mandi, makan, dan istirahat juga

Mas sama Hesti yang jaga kok, nanti kalau ada apa-apa, mas kabarin deh“, jelas saya. Bagaimanapun kondisi mereka juga sudah terlalu lelah setelah beberapa malam harus tidur kursi di ruang rawat.

Iya deh, Mas. Memang sudah lumayan capek dan ngantuk banget“, kata kedua adik saya itu.

Setelah berkemas dengan cepat dan memanggil Grab, keduanya kembali ke rumah. Saya dan si Yayang menunggu di kamar rawat.

Wanita yang sudah bersama saya selama 17 tahun di kala itu duduk di samping tempat tidur dimana ibu dirawat. Tangannya memegangi tangan kurus “ibu”nya. Mulutnya tak berhenti membacakan doa.

Pasrah.

Mas, kamu juga harus istirahat. Gimana tangannya Udah makan belum?“, tanya wanita kesayangan saya itu.

Udah. Tadi makan di warung sana. Tangan nggak apa-apa, agak membaik“, sahut saya. Bukan berarti benar-benar tidak sakit dan badan tidak meriang, tetapi karena pikiran saya sedang dipenuhi banyak hal lainnya.

Ya udah. Kamu tiduran dulu sana“, bujuknya.

Iya say. Ntar aku ngelonjor di kursi depan (ruang tunggu) saja“, sahut saya.

Saya pun keluar. Menyenderkan punggung di kursi dan berusaha untuk tidur sejenak.

Usaha yang sia-sia.

Jam 10-an :

Tidak berapa lama, Om dan Tante si Yayang datang membesuk. Hubungan mereka dengan ibu cukup dekat. Bukan sekedar hubungan basa basi antar besan saja. Mereka kerap datang ke rumah ibu bahkan tanpa ditemani saya. Ibu adalah kakak juga bagi mereka.

Saya berbincang sejenak.

Para Om dan Tante meminta saya tetap sabar yang dengan tersenyum saya iyakan karena memang tidak ada lagi yang bisa saya perbuat.

Jam 11-an :

Dokter dan perawat keluar dari ruang rawat dimana ibu berada dan Yayang memberitahukan bahwa hasil rontgen menunjukkan adanya cairan di dada ibu.

Mereka katanya akan berusaha terus, yang terbaik.

Jam 12-an :

Mata sudah terasa lelah sekali. Tidur yang hanya beberapa saat semalam tidak mencharge “baterai” saya dengan energi yang cukup.

Akhirnya, saya menemui Yayang di ruang rawat.

Neng, aku ngopi dulu yah di bawah. Ngantuk banget nih“, kata saya.

Iya Say, aku disini yah“, jawab si Yayang sambil tersenyum. Ia juga terlihat capek dan cemas. Pasti sejak saya berangkat dini hari tadi, ia juga tidak bisa meneruskan tidurnya.

Saya beranjak turun ke lantai bawah dan menuju ke parkiran dimana banyak warung berada.

Berhenti sejenak di pelataran rumah sakit memandang sekitar. Menarik nafas seperti berusaha mengumpulkan energi dan kemudian melangkahkan kaki untuk mencari tempat ngopi, sekitar 100 meter dari pelataran.

Sekitar 5-10 meter dari warung kopi, telpon saya berdering.

Si Yayang.

Mas, cepetan balik ke sini. Ibu dibawa ke HCU, Mas“, suara si Yayang di telpon. Terasa sekali kepanikan dan kecemasan dalam suara wanita yang dulu saya sebut si Keras Kepala.

Iyah aku kesana!“, sambut saya.

Telpon ditutup dan setengah berlari saya kembali ke ruang rawat.

Saya tidak pernah jadi ngopi hari itu.


HCU

Terus terang, saya tidak tahu beda ICU, HCU, ICCU dan segala jenis ruang di rumah sakit. Tidak peduli juga karena harapan saya adalah tidak pernah memasuki ruang-ruang itu dengan alasan apapun.

Yang saya tahu adalah ruang itu adalah ruang “gawat” dan dipergunakan ketika kondisi pasien berada pada tahap “lebih buruk” dari yang biasa.

Sesampainya di ruang ibu dirawat, saya bertemu si Yayang yang kecemasannya terlihat pada level tertinggi.

Sebelum ia sempat berkata apa-apa, saya melihat tempat tidur ibu kosong.

Tadi, dokter kesini dan kemudian memerintahkan ibu dibawa ke HCU“, jelas Yayang. Suaranya bergetar. Berusaha tenang tetapi gagal. Ia khawatir dan sedih.

Katanya, harus ada salah satu anggota keluarga yang mendampingi“, sambungnya.

OK, HCU dimana?“, sahut saya bingung karena memang sama sekali tidak tahu di sebelah mana ruang tersebut.

Di lantai dua, Mas!

Aku bawa selimut dan barang-barang mas ke mobil. Kamu bisa tolong bawa keranjang buah dan kasihkan ke perawat saja. Sayang“, kata si Yayang sambil melihat keranjang buah yang tersimpan di atas lemari pendingin.

Iyah, kamu jalan dulu saja. Entar aku nyusul di belakang“, kata saya.

Si Yayang berjalan keluar membawa tas dan beberapa perlengkapan. Saya mengurus sisanya.

Ketika hendak mengambil keranjang buah kecil berisi dua apel dan 2 jeruk, saya agak kerepotan karena tangan kiri sudah terisi tas dan beberapa benda lain.

Akhirnya, saya menggunakan tangan kanan untuk mengambil keranjang tersebut dan mencoba mengangkatnya.

Baru beberapa centimeter si keranjang terangkat, saya langsung seperti terjengkang dan terduduk di sofa ruang rawat.

Rasa sakit yang teramat sangat seperti sengatan listrik ribuan volt yang menghantam otak. Luar biasa sakitnya. Pertanda tangan tersebut berada dalam kondisi yang sangat tidak baik.

Saya hanya bisa terdiam dan berusaha tetap sadar.

Penunggu pasien di sebelah, seorang ibu yang sudah agak tua menatap saya dan kemudian berujar, “Pelan-pelan saja, Dik“.

Butuh waktu beberapa saat untuk saya mampu menjawabnya dan mengatakan “Iya, bu”. Setelah rasa sakit berkurang dan kesadaran penuh kembali, saya bangkit dan berlalu keluar ruangan.

Keranjang buah saya biarkan saja di dalam. Pesan si Yayang tidak saya laksanakan karena saya tidak mampu melakukannya.

Saya bergegas mencari ruang HCU, yang saya tidak tahu dimana lokasinya. Setelah bertanya kesana dan kesini dan sempat nyasar ke ruang ICU atau HCCU, saya sampai ke lokasi.

Yayang sudah menunggu dengan cemas.

Mukanya sudah jelas cemas, panik, takut, semua bercampur menjadi satu.

Mas, aku nggak berani masuk padahal tadi dokternya menyuruh anggota keluarga masuk“, kata-kata meluncur dengan cepat dari mulut mungilnya penuh dengan kecemasan.

Jadi, inget Bapak“, sambungnya dengan suara tambah bergetar. Saya maklum karena ia menyaksikan saat ketika bapaknya, bapak mertua saya meninggal akibat serangan jantung.

Kamu tunggu saja di bawah, Neng“, kata saya.

Saya langsung memasuki ruang HCU.

Suasananya memang berbeda dari ruang rawat biasa. Berbagai mesin terlihat di dalamnya. Hanya ada satu meja dan kursi.

Saya pun mendekati meja dan kursi tersebut. Memperkenalkan diri. Perawat di meja tersebut menjelaskan bahwa ibu sedang dalam perawatan khusus.

Saya memandang ke sebuah tempat tidur dimana ibu tergolek. Seorang dokter dan beberapa perawat terlihat sedang “merawat” wanita yang melahirkan saya itu.

Perawat meminta saya mengisi beberapa formulir dan kemudian menandatanganinya. Saya melakukan dengan tangan gemetar, entah karena tegang atau bisa juga karena memang karena rasa sakit yang belum hilang.

Setelah mengisi, saya duduk dan diam memperhatikan tim medis sedang berusaha keras.

Saya mohon izin kepada perawat untuk keluar sejenak. Sang perawat menjelaskan bahwa mereka membutuhkan seorang anggota keluarga tetap mendampingi untuk pengambilan keputusan terkait pasien.

Saya jelaskan bahwa saya butuh waktu sejenak untuk memberi kabar adik dan kakak saya. Firasat saya mengatakan semua anggota keluarga harus dipersiapkan untuk menghadapi situasi terburuk.

Saya janjikan hanya 2-3 menit saja dan akhirnya perawat mengizinkan. Saya keluar ruangan karena saya tahu bahwa tidak baik menelpon dalam ruang rawat. Duduk di lantai depan pintu ruang HCU dan menghubungi si Yayang.

Saya bilang kepadanya, “Say, aku butuh bantuan Ndu (adiknya-adik ipar saya)“. Hanya itu yang saya sampaikan kepadanya. Saya dan adik iparnya, sudah lebih mirip kakak adik dan saling bisa mengandalkan.

Yayang menjawab,” Sudah Mas, Ndu nanti akan datang dengan saudara yang lain. Sedang dalam perjalanan“.

Rupanya bertahun-tahun hidup bersama, ia tahu bahwa suaminya butuh bantuan dan tenaga tambahan dan tahu pula siapa yang bisa diandalkannya.

Setelah menutup telpon, saya men-dial nomor telpon Pipit dan kemudian menjelaskan secara singkat situasi. Meminta dia segera kembali ke rumah sakit bersama Dian dan Mbak Avi.

Percakapan selesai dalam waktu 5 menit saja dan saya kembali ke dalam ruang HCU.

Situasi di dalam ruangan semakin membuat hati saya tidak jelas. Pemandangan di film-film tentang dokter dan rumah sakit, seperti E.R. atau New Amsterdam, tergambar secara nyata di depan mata saya.

Sang dokter memerintahkan perawat untuk melakukan “penyetruman” untuk memacu jantung. Beberapa kali dilakukan. Mata saya tidak bisa lepas dari peralatan elektronik yang memperlihatkan denyut nadi pasiennya, ibu saya.

Kemudian, sang dokter melakukan beberapa kali usaha “pemukulan dada”.

Saya diam.

Hati saya kebas. Setelah berada dalam kecemasan yang luar biasa beberapa lama, hati saya sepertinya sudah tidak lagi bisa merasakan apa-apa. Rasa sedih yang sudah kelewat batas juga membuatnya seperti tidak bisa berfungsi menghadirkan rasa apapun.

Saya hanya memandang.

Perawat di meja memperhatikan tangan kanan yang masih diperban dan bertanya. Saya menjelaskan bahwa itu karena infeksi.

Hanya sejenak, sang dokter memanggil, “Pak, tolong ibu “dibimbing“.

Saya mengerti permintaannya, walau belum pernah melakukan sama sekali. Saya beranjak ke tempat tidur dimana ibu berada. Mengelus kepalanya, dan kemudian membisikkan kata ke telinganya,

Bu, kalau ibu mau beristirahat, istirahat yah. Anak-anak iklas kok. Ibu istirahat yah. La ilaha illallah“.

Saya ulangi beberapa kali sampai kemudian saya diminta dokter mundur. Saya kembali duduk. Terdiam. Mata tidak bisa lepas dari grafik denyut nadi yang kadang menghilang kadang muncul.

Saya seperti sedang menonton sebuah adegan di film. Hanya kali ini saya pemeran utamanya.

Tidak berapa lama. Indikator denyut nadi bergerak naik turun, meski terlihat rendah, denyut nadi ibu kembali lebih stabil.

Tabung oksigen dibawa keluar dan beberapa peralatan medis “darurat” dilepaskan. Sang dokter tidak mengabarkan apa-apa. Saya menarik nafas berasumsi situasi membaik karena tanda kehidupan ibu ada.

Ibu sepertinya masih berjuang untuk bisa menemui anak-anaknya kembali. Anak-anak yang sudah membuatnya repot selama bertahun-tahun, termasuk saya.

Anak-anak yang sangat disayanginya.

Saya masih tersandar dengan hati yang masih belum berfungsi dengan baik. Apakah saya lega? Apakah saya takut? Apakah saya cemas? Saya tidak bisa menjawabnya, bahkan sampai saat ini.

Beberapa menit.

Hanya beberapa menit saja.

Adegan yang sama kembali terulang. Tabung oksigen dibawa kembali ke ruangan. Peralatan penunjang didorong masuk menuju tempat tidur ibu.

Grafik denyut nadi melandai.

Situasinya seperti pengulangan adegan sebelumnya.

Saya diminta kembali “membimbing” ibu dan saya melakukannya kembali. Setelah mencium kening ibu, saya sampaikan lagi pesan yang sama, “Bu, kalau mau beristirahat, istirahat ya bu. Anak-anak ibu iklas“.

Kembali sang dokter menyuruh saya mundur.

Adegan yang sama.

Hanya, ending-nya saja yang berbeda.

Kali ini, sang dokter akhirnya memerintahkan penghentian tindakan. Saya memandang indikator denyut nadi yang tetap datar dan tahu adegan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sang dokter menghampiri saya. Ia menyampaikan, “Maaf pak, ibu sudah meninggal. Turut berduka cita ya pak“.

Ibu sudah beristirahat.

Saat itu jam menunjukkan pukul 14.05.


Masih di RS PMI Bogor

Semua terasa seperti dalam mimpi. Sambil berusaha tetap tersenyum, saya kemudian membungkukkan badan kepada sang dokter dan tim perawat.

Saya mengucapkan, “Terima kasih ya Bu, pak“.

Tatapan heran terlihat dari tim medis di hadapan saya melihat sikap saya. Mungkin mereka merasa aneh, tetapi saya berpikir itu adalah tindakan yang layak untuk mereka yang sudah berusaha menyelamatkan hidup wanita yang saya sayangi dan hormati.

Mereka sudah berjuang untuk menyelamatkan orang yang sangat berharga untuk saya.

Setelah menandatangani formulir, saya beranjak keluar ruang HCU.

Saat menuruni tangga menuju ruang tunggu di lantai satu dimana Yayang dan anggota keluarga lain menunggu, saya berhenti sejenak.

Ada perasaan sesak di dada yang tiba-tiba menyelimuti. Rasa sedih yang luar biasa menyelubungi hati.

Hanya saja, saya tahu, belajar dari beberapa pengalaman terdahulu, bapak, bapak mertua, ibu mertua, saya tidak boleh menangis. Seberapapun inginnya, saya tahu ketika yang lain melihat airmata mengalir di pipi saya, tidak akan ada lagi ketegaran dan keiklasan.

Semua akan terbawa dan hanyut dalam kesedihan. Tanpa ada yang bisa mencegah dan menghentikan.

Jika seorang pengawal menangis, semua bisa jadi tidak terkendali. Ibarat bendungan jebol, tidak ada lagi penahannya.

Saya memutuskan berdiam beberapa saat di anak tangga ke 4 dari atas. Menghela nafas panjang, memejamkan mata sejenak berusaha menenangkan hati.

Dan, ketika hati terasa lebih tenang, perlahan kesadaran beranjak ke titik normal.

Ada banyak “tugas” yang harus dilakukan. Tugas seorang ‘Pengawal”, tugas dari anak laki-laki satu-satunya, tugas dari orang yang berada di sisi ibu saat ia pergi, tugas seorang anak.

Saya melangkahkan kaki menghadapi adik, kakak, istri tersayang, si Kribo dan sepupunya, Ditha (anak dari Mbak Avi).

Saya berjongkok di depan mereka yang wajahnya mencerminkan seperti sudah tahu apa yang mau saya sampaikan.

Saya hanya mengatakan, “Ibu sudah nggak ada ya

Tangis semua pecah. Airmata bercucuran hampir dari semua yang ada. Hanya si Kribo, Arya yang tetap diam, hanya wajahnya saja yang mencerminkan perasaannya saat itu. Sedih.

Satu-satunya Eyang yang tersisa sudah kembali ke pangkuan-NYA. Eyang yang sangat menyayanginya dan disayanginya.

Melihatnya seperti memandang wajah sendiri beberapa saat lalu ketika mendengar informasi dari sang dokter. Ketika saya berusaha mencerna dan memahami kenyataan pahit yang harus dihadapi.

Saya rangkul adik dan kakak dan kemudian berkata, “Sedih boleh, tapi jangan lama-lama, ada banyak tugas yang harus diselesaikan“.

Ndu…“, saya memanggil adik ipar yang duduk beberapa kursi dari tempat saya berjongkok.

Ya mas“, sahutnya.

Tolong kamu duluan pulang ke rumah ibu. Bawa si Verna. Tolong bantu siapkan keperluan. Bawa Arya dan Hesti“, instruksi saya.

Jadi, Ndu duluan Mas?“, tanya si adik ipar yang saya iyakan. Saya tahu ia akan melakukan pesan saya dan mengerjakan yang dibutuhkan.

Pit, Dian, Mbak Avi, pulang duluan. Pasti banyak yang harus diurus“, pinta saya kepada saudara-saudara yang masih belum bisa berhenti menangis.

Mas, nanti sendiri disini“, tanya si Yayang. Meski airmata masih mengalir, dia sadar bahwa suaminya sendiri masih sangat tidak sehat.

Iyah, biar aku yang ngurus administrasi dan jenazahnya“, jawab saya.

Kemudian saya tinggalkan mereka yang sedang berduka menuju ruang administrasi untuk mengurus segala sesuatu.

Si Yayang ternyata tetap mengikuti saya. Menemani. Mulai dari mengurus administrasi sampai menemani membawa jenazah ibu ke mobil, ia terus berjalan di samping.

Barulah setelah saya naik ke mobil jenazah, ia berangkat dengan si Verna bersama adiknya sesuai yang saya perintahkan.

Saya duduk di depan bersama supir. Meski saya tahu bahwa mobil jenazah mendapatkan prioritas di jalanan, saya berpesan kepada sang supir untuk tenang saja dan pelan-pelan.

Saya tahu ibu tidak akan menginginkan terjadi kecelakaan hanya karena terburu-buru.

Selama perjalanan, sang supir mengajak berbicara. Sepertinya, ia berusaha menghibur dengan caranya. Sesuatu yang saya sangat hargai.

Sesampainya di rumah, warga sekitar sudah berkumpul. Ibu adalah senior di kampung itu dan orang yang dihormati para tetangga. Tidak heran kalau di sepanjang Gang Tawes, tempat ibu tinggal, semua sudah keluar dan bersiap membantu.

Pengurusan segala sesuatu tidak ada masalah.

Semua seperti tahu kepada siapa harus bertanya karena saya ada disana. Walau dengan kepala masih terasa tidak normal, saya tetap mengambil keputusan terkait urusan pemakaman.

Dalam proses pengurusan jenazah, ada saat dimana saya merasa hati tersayat dalam sekali, yaitu ketika harus mengambil keputusan tentang pemandian dan penguburan jasad ibu.

Saya meminta adik, kakak, dan saudara ibu untuk ikut memandikan. Tapi, saya mengambil keputusan untuk tidak ikut serta.

Tangan saya yang bernanah dan masih terasa luar biasa sakit mendorong saya memutuskan untuk tidak mengambil giliran untuk memandikan. Saya tidak mau ada nanah yang menetes kepada jasad ibu.

Biarlah ibu tetap bersih saat menuju tempat peristirahatannya.

Kesedihan yang sama merasuk dalam hati saat mengantarkan jasad ibu ke liang lahat tiba.

Saat bapak, bapak mertua, dan ibu mertua, sayalah yang paling pertama turun ke dalam lubang. Menanti dan mengantarkan mereka ke peristirahatannya. Sesuatu yang merupakan tugas saya sebagai anak laku-laki.

Dan, saya tidak bisa melakukan tugas itu untuk seseorang yang teramat sangat saya sayangi. Seseorang yang melahirkan dan membesarkan saya.

Tugas itu memerlukan tangan yang kuat, bukan tangan yang mengangkat keranjang berisi 4 butir buah saja tidak bisa.

Saya hanya bisa memandangi kakak ipar dan saudara yang mengantarkan ibu ke liang lahat.

Kesedihan yang paling dalam yang pernah saya rasakan karena tidak bisa menyelesaikan tugas sebagai Pengawal ibu untuk terakhir kalinya. Yang harus saya terima.

Saya hanya bisa memandang dari sisi liang lahat sampai tanah perlahan menutupi jasad ibu.

Maafkan saya yang tidak bisa menyelesaikan tugas dengan baik ya, Bu.


EPILOG

Hari yang panjang, 06 Januari 2018 adalah awal dari sebuah perjalanan panjang yang baru. Kehidupan tanpa ibu.

Saya pada akhirnya tidak bisa pergi ke dokter bedah pada hari Senin untuk mengoperasi luka.

Banyak sekali “tugas” yang harus diselesaikan. Tahlilan, menemui kawan-kawan ibu, kawan-kawan bapak, sanak saudara yang semua menyampaikan belasungkawa.

Menyelesaikan administrasi dan berbagai hal lain terkait ibu, seperti laporan untuk Yayasan Dana Pensiun.

Saya juga harus menjadi figur wali keluarga saat tahlilan selama 7 hari. Dengan badan yang semakin meriang dan kondisi seperti orang sakaw/melayang karena infeksi yang rupanya semakin parah, saya harus berusaha menjadi figur kepala keluarga. Meski biasanya sebelum acara dimulai, saya harus mengeluarkan nanah agar tetap bisa bertahan.

Barulah setelah 7 hari tahlilan selesai, saya diantara si Yayang langsung ke RS PMI lagi untuk memeriksakan kondisi tangan.

Dokter yang menangani langsung menyuruh saya masuk ruang operasi hari itu juga karena khawatir nanah mempengaruhi tulang.

Selesai operasi yang sangat menyakitkan, saya kembali ke rumah ibu. Kakak dan adik semua meminta saya berada di sana sampai hari ke-40. Yang saya penuhi karena menyadari kondisi dan situasinya.

Saya baru kembali ke rumah sendiri, bersama Yayang dan si Kribo setelah 40 hari berada di rumah ibu.

Sang Pengawal akhirnya kembali ke kehidupannya sendiri, yang baru dengan tiadanya ibu lagi.

Dan, tanpa menitikkan setetes pun airmata.

Karena, saya sadar, menitikkan airmata bukan tugas seorang Pengawal keluarga.

(Walaupun, saya akui, tidak terasa airmata menggenang di mata saya ketika membuat tulisan ini, teringat detik-detik yang berlalu di hari itu.

Mungkin karena saat ini, saya sedang tidak bertugas sebagai Pengawal dan membiarkan sesuatu yang selama ini tersimpan agak muncul di permukaan. Yang pasti, saya masih tetap manusia dan tetap punya rasa di hati.)

14 thoughts on “Pengawal Tidak Boleh Menangis”

  1. Turut berdukacita, Kak Anton..

    Kak Anton benar-benar tegar, aku salut. Membaca cerita ini membuatku tenggelam di dalamnya dan hampir saja aku menangis saat membacanya 🙁

    Aku yakin, ibu Kak Anton udah berada di tempat yang terbaik.
    Kak Anton, sesekali jika ingin menangis juga nggak apa kok, menangis bukan tanda lemah, hanya saja beberapa perasaan sulit diungkap dengan kata-kata.

    Terima kasih udah berbagi cerita ini, Kak. Pasti sangat berat waktu menulisnya karena akupun sebagai pembaca, juga merasakan sesak di dada saat membacanya 🙁

    Reply
    • Maaf yah ngasih bacaan yang bikin sesak… 😀 dan terima kasih sekali atas doanya..Aaaminn semoga dikabulkan

      Iyah, pingin sebenarnya. Cuma, mau tidak mau kan harus menghitung dampaknya. Makanya sering saya putuskan menunda bahkan “mematirasakan” hati sendiri Lia.. hahahaha.. Karena sebagai pengawal, yang dikawalnya bisa lebih amburadul kalau saya begitu..

      Nggak kok saya nggak memandang menangis sebagai kelemahan, tetapi, kadang posisi dan situasi memaksa kita harus begitu..

      Makasih ya Li.. dan maaf dapet bacaan yang kurang enak.. 😀

      Makasih sudah datang kesini

      Reply
  2. Saya baca ini tengah malam, dan nggak sadar saya ikut menangis 😭 karena saya relate sama yang mas Anton alami ketika orang tua saya pergi meninggalkan dunia ~

    Bertahun-tahun lewat, setiap kali teringat, saya sampai nggak bisa telan ludah karena tercekat. It’s hard. Dan saya tau, bagaimana rasanya menahan airmata seperti yang mas Anton lakukan 😭

    Kadang saya berpikir kalau saya belum bisa melakukan tugas saya dengan baik sebagai anak ~ dan setiap kali mengingat momen bersama orang tua, ada sedikit penyesalan terlintas. Hanya saja, pada akhirnya, yang saya lakukan adalah menjalani hidup dengan sebaik-baiknya sekarang karena itu yang orang tua saya inginkan.

    Semoga, ibu mas Anton mendapat tempat terbaik di sisi Yang Maha Esa. Saya yakin, ibu sudah bahagia di sana, dan sehat terus untuk mas Anton, yaaah ~ terima kasih cerita malam ini, saya jadi belajar lagi untuk lebih menghargai waktu yang saya punya hingga akhir 😄

    Reply
    • Aaamiin.. Makasih banyak Eno atas doanya.

      Maaf yah hahaha dah bikin menangis.. Semoga juga orangtua Eno diberikan tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa.

      Memang tidak akan pernah cukup Eno apa yang dilakukan kepada orangtua. Saya sendiri tetap saja merasa kurang dan rasa yang sama dengan yang Eno rasakan. Betul sekali juga kalau pada akhirnya, yang bisa kita lakukan adalah menjalani kehidupan kita sebaik mungkin karena bukankah itu yang diinginkan orangtua kita?

      Terima kasih juga untuk datang kesini yah.. appreciate it a lot..dan maaf kali ini bacaannya hal yang membuat sedih.

      Reply
  3. Al Fatihah untuk ibunya mas Anton. Ikut berduka cita.

    Tulisan yang tentunya cukup berat dikeluarkan..

    Momen puncak berduka tiap org beda2. Ada yg sesaat setelah kejadian ada yang enam bulan, ada yg bertahun2 setelahnya. Enggak apa2 yg penting kita lepaskan saja pada waktunya, nggak perlu ditahan…

    Reply
    • Aaamiin.. makasih doanya ya Pheb.

      Berat euy Pheb.. hahahaha…

      Betul sekali, mungkin blog adalah ruang untuk melepaskan banyak hal, termasuk duka yang selama ini tidak dikeluarkan dan dipendam saja.

      Terima kasih untuk Al fatihahnya Pheb.. appreciate banget dah.

      Reply
  4. Bapaaaakkkk, maaf yaaa…
    Saya datang ke tulisan ini dari MM, jadi switch dari tulisan ciri khas MM ke sini, malah menimbulkan rasa geli sesaat.

    Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bisa punya ciri khas beda dalam menulis.

    Lalu selanjutnya, saya mewek, huhuhu
    Jadi kangen ortu, jadi ingat saat adik saya pergi dulu.

    semoga ibunya mendapatkan tempat terindah dan lapang di sisi-Nya ya Pak.
    Insha Allah beliau beruntung punya anak-anak seperti pak Anton dan saudara-saudaranya.

    Btw, kalau saya, dan lainnya, nulis kek gini kayaknya udah biasa ya.
    Nah ini, seorang bapak Anton.
    Bisa nulis tulisan mengandung bawang gini, meskipun sejujurnya saya ngerti, orang seperti pak Anton itu sesungguhnya hatinya lembut kayak marsmellow 😀
    Meski kepalanya keras qiqiqiqiqi.

    Jadi bisa saja menulis tulisan kayak gini, dan memasukan emosi di dalamnya.
    Hiks..
    Sukses mewek

    Reply
    • Hahahaha .. santuy Rey.. Pastilah kan masuk dunia yang berbeda.. ahahah antara MM dan disini mah.

      Memang beda banget yah Rey?

      O ya.. Semoga adik Rey diberi tempat terbaik di sisi-NYA yah… jangan mewek atuhhh…

      Reply
  5. tak terasa mata ini ikutan membasah saat membacanya mas anton, semoga alm ibunda mas anton sudah mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya amiiin

    selalu mbesesek hati kalau baca cerita tentang ibu…

    oh aku jadi kangen ibu deh hohoho

    tapi…ketika dalam keadaan sedih malah ga bisa menitikkan air mata, menurutku itu malah jauh lebih sedih sih mas #pengalaman, mungkin seperti bingung mengekspresikan karena saking sedihnya akan suatu peristiwa aku pernah sih dalam keadaan gini hehe

    btw…aku pun paling takut kalau udah ada dering telepon malam hari, soalnya pasti ada ‘sesuatu’ yang ga enak…manalah ortu dan mertua jauh di kampung halaman sana, jadilah selalu was was dan senantiasa mendoakan semoga mereka yang telah beranjak sepuh ini pinaringan sehat huhu #jadi kangen ibu n bapak mumpung sekarang masih ada….makanya kadang ngerasa aku kok sok sibuk banget ya hiks…

    oiya aku kok pas bayangin kondisi tangan mas yang kena cakar kucing deket nadi berujung infeksi berasa senud senud banget, manalah dibawa menyetir dan untungnya tethindar dari kecelakaan…eh emangnya yang mobil masuk trotoar itu ada deketan tebing mas, inj bogor sebelah mana ada tebingnya huhu..

    btw lagi abis baca ini jadi tau nama mas kribo hehe

    Reply
    • Aaamiiin.. Makasih doanya ya Mbul..

      Pasti Mbul. Kalau memang ibu dan bapak (dari kedua belah pihak) masih ada, jangan sampai dilewatkan untuk menyapa, kirim foto cucu-cucunya yah.. Kebahagiaan orangtua itu kalau mereka melihat anak cucunya hidup bahagia. Jangan lupa telpon yah.. biar cuma sebentar karena saya yakin itu akan membahagiakan mereka mendengar suara anak cucunya.

      Jangan sampai menyesal di kemudian hari Mbul… apalagi kalau punya uang, sempetin deh kesana buat nengok…

      Kalau sudah kayak saya, nanti malah tidak bisa ngapa-ngapain selain mengenang mereka.. hikkss…

      Aaamiin semoga mereka diberi kesehatan ya Mbul biar bisa sering bertemu orang-orang kesayangan mereka, kamu, paksu dan anak-anakmu.

      Bukan cenud cenud lagi waktu itu mah Mbull.. rasane aammmpuun…

      Soal tebing, ntar kukirim fotonya yah ke email.. hahahaha.. ga tinggi cuma di Lapangan sempur itu ada tebingnya.

      Hahahaha.. iya kuputuskan nama-nama tokoh dibuka.. wakakakakaka…

      Reply
  6. Saya ingat tahun itu, update di blog MM agak terganggu, karena tangan Pak Anton dicakar kucing. Tapi setelahnya, ada peristiwa yang lebih penting, hingga tak ada artikel terbaru.

    Dua tahun sudah berlalu, tentu ada rasa sedih saat mengenang peristiwa tersebut. Tapi selesainya tulisan ini, menunjukkan hati Pak Anton yang lebih tegar. Sebuah penerimaan akan takdir yang sudah ditentukan.

    Saya tak bisa berkata banyak. Karena saya bahkan belum mampu untuk menulis saat-saat terakhir ayah saya 5 tahun yang lalu.

    Reply
    • Iyah.. Nisa pasti inget karena waktu itu benar-benar nggak bisa ngapa-ngapain…

      Alhamdulillah diberi kekuatan Nisa untuk bisa iklas…

      Tap apa Nisa, masing-masing pada saatnya akan bisa “melepas” itu dengan caranya masing-masing..

      Reply
  7. Turut berduka cita pak Anton, semoga Ibundanya di tempatkan di sebaik-baik tempat disisi-Nya.

    Kehilangan memang nggak selalu mudah ya, kenapa tulisan yang aku baca banyak sedihnya semua.

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply