Tukang Pijit

Sudah hampir satu tahun pandemi Covid-19 melanda dunia, selama itu pula ada satu kegiatan si Yayang yang tidak bisa dijalankan.

Dipijit.

Biasanya, setidaknya satu bulan sekali ia akan memanggil seorang wanita “hampir buta” tua dari kampung belakang untuk datang. Si Mbah, begitu kami memanggilnya, memang merupakan tukang pijit langganan kami sejak bertahun-tahun lalu.

Matanya memang sudah mendekati kebutaan karena katarak berat. Bahkan, untuk datang ke rumah kami pun, ia akan selalu membutuhkan bantuan anak tetangga untuk mengantar.

Tetapi, setelah berulangkali mencoba tukang pijit yang lain, ia lebih suka dipijit oleh si Mbah. Katanya habis dipijit tidak sakit dan dia tahu menelusuri urat-urat di badan.

Sayangnya, sejak si Corona mampir dan tidak mau pergi-pergi, wanita kesayangan saya itu tidak bisa lagi memintanya datang ke rumah. Yah, mau bagaimana lagi karena ia sendiri tidak bisa merasa nyaman harus bersentuhan dengan orang lain, terutama dari kampung yang kadang masyarakatnya kurang mengindahkan protokol kesehatan.

Jadilah, si Yayang tidak bisa mendapatkan pijitan.

Padahal, ia sudah sering bilang bahwa badannya pegal-pegal. Sesuatu yang saya sendiri sangat maklum mengingat “beban” pekerjaannya di rumah yang, meski sudah coba dibantu, tetap saja banyak.

Sudah pasti ada saat dimana badan terasa pegal karena otot-otot yang mengeras dipaksa terus bekerja.

Beberapa kali di masa pandemi, ia mengeluhkan kondisinya tersebut.

Bukan sesuatu yang menyenangkan melihat orang kesayangan “tidak enak badan” seperti itu. Ada rasa “sesal” juga karena saya tidak bisa membantu banyak dan mengurangi beban kerjanya.

Ia jarang mau meminta saya melakukannya. Selain ia merasa saya sendiri sudah cukup lelah bekerja, dan ia tidak mau menambah beban, ada satu alasan lain.

Pijitan saya “tidak enak”. Sakit, katanya.

Ya iyalah. Namanya juga bukan tukang pijit profesional dan cuma tahu pencet sana pencet sini doang hasil lihat lihat. Tidak tahu urat mana yang harus diurut dan “disusuri” kalau kata si Mbah mah.

Belum lagi tenaga berlebihan yang justru menimbulkan rasa sakit.

Jadi, saya hampir tidak pernah memijitnya. Itu “wilayah” si Mbah, yang saya tidak bisa bantu.

β™₯

Satu hari setelah pandemi melanda, ia tiba-tiba mendatangi saya yang sedang sibuk di depan notebook HP tua.

Mas, bisa tolong pijitin kaki, nggak? Sebentar saja. Kakiku rasanya nggak tau kayak gimana. Nggak enak banget“, pintanya sambil sedikit meringis.

Boleh say“, sahut saya dengan bingung. Di sisi lain saya mengerti sekali permintaannya karena saya pun pasti akan merasa demikian kalau harus pergi ke warung naik motor, mencuci baju, menjemur, menyetrika, dan berdiri di depan kompor.

Multi-tasking banget deh. Meskipun urusan beberes rumah sudah saya ambil alih karena saya banyak WFH saat itu, tetap saja pekerjaan yang dilakukannya mash banyak sekali. Tidak heran kalau kakinya pegal-pegal.

Nonton & Baskom

Meski tidak yakin saya bisa membantu banyak, tetapi saya tahu ia tidak punya pilihan lain. Memanggil si Mbah sangat beresiko di masa pandemi.

Pakai apa cinsay?“, tanya saya karena tahu biasanya si Mbah mengurutnya memakai pelumas untuk mempermudah saat memijit.

Apa aja deh mas. Pake Minyak zaitun juga boeh”, sahutnya sambil beranjak ke tempat tidur untuk melonjorkan kaki.

Setelah mengambil botol minyak zaitun yang biasa dipergunakannya, saya pun segera duduk di dekat kakinya. Mengoleskan minyak tersebut ke seluruh kakinya, mulai dari betis.

Pelan-pelan, ya mas. Jangan terlalu keras, sakit”, ia mengingatkan. Dan memang sudah saya niatkan untuk mengurangi penggunaan tenaga supaya tidak menyebabkannya merasa sakit.

Pertama kali sih memang kagok. Pengetahuan saya soal pijit memijit jauh lebih minim daripada memasak. Saya hanya bisa meniru apa yang dilakukan si Mbah dengan selembut mungkin.

Setelah memulai beberapa lama, ternyata tidak ada reaksi kesakitan dari si Yayang. Ia hanya terkadang meringis saja.

“:Sakit say”, tanya saya khawatir.

Nggak mas. Nggak seperti dulu“, sahutnya.

Ooh. OK“, jawab saya senang. Setidaknya dia tidak kesakitan.

Setelah 20-30 menit, sesi pijitan kaki selesai. Dia membalikkan badan dan kemudian berkata riang.

Enak mas. Nggak sakit kayak dulu. Pegelnya berkurang“, katanya dengan muka senang.

Besok lagi yah“, pintanya manja.

Dengan senang hati, Say“, jawab saya dengan hati yang tidak kalah senang. Di pikiran saya terbersit, “Oh, gitu yah tenaga yang harus dipakai

Sejak saat itu, cukup sering saya menjadi tukang pijit wanita yang sudah menemani selama 20 tahun itu. Tidak saat WFH atau WFO, ada ritual baru, yang pendek saja antara 15-20 menit dimana saya menjadi pengganti si Mbah tukang pijit.

Kadang ia menolak tawaran saya. Ia tahu saya juga lelah, tetapi kerap saya tanpa banyak bicara langsung membawa botol minyak zaitun, sehingga ia tidak bisa menolak.

Biasanya, sambil memijit, kami berdua akan membahas cerita-cerita kecil atau gosip-gosip di rumah. Membahas tentang kelakuan si Kribo. Perbincangan kecil yang sering diisi ngakak bareng atau ledek-ledekan.

Sering juga sesi memijit dilakukan di depan TV karena ia tidak mau melewatkan beberapa acara kesayangannya menonton Take Me Out atau Suara Hati Istri. Belakangan ditambah dengan Masterchef Indonesia.

Ujungnya, sering akhirnya kami membahas tentang siapa “single lady” yang terpilih d Take Me Out. Kadang mencoba menebak siapa peserta Masterchef yang harus pulang.

Kegiatan yang sampai saat tulisan ini dibuat dan sepertinya sudah menjadi bagian dari keseharian dalam kehidupan kami.

Sasaran pijitan bukan hanya kaki saja, tetapi punggung, tangan, atau leher.

Yang menyenangkan dan membuat saya berbahagia dan bangga adalah ketika ia sekarang berulangkali mengatakan, “Mas, pijitan kamu enak banget. Nggak seperti dulu. Kok bisa sih kamu sekarang mijitnya jadi kayak si Mbah“.

Entah kenapa ada rasa senang sekali dalam hati ketika saya disamakan dengan seorang tukang pijit beneran.

β™₯β™₯

Mungkin, banyak orang akan bertanya, “Kok mau sih mijitin istri, bukankah seharusnya sebaliknya, istr yang mijitin suami (seperti yang dilakukan tetangga tetangga kami)?

Jawaban saya terhadap pertanyaan itu (kalau ada yang bertanya) akan sangat sederhana, “Kenapa tidak? Memang masalah?

Si Yayang adalah Tuan Putri saya. Orang yang saya sayangi sejak puluhan tahun yang lalu. Itulah alasan mengapa saya ingin bersamanya menjalani kehidupan ini.

Saya tidak pernah menggombal akan memberikan kepadanya “dunia”. Saya tidak mampu untuk itu. Saya juga tidak bisa menjanjikannya “kekayaan” karena saat menikah dulu, rumah saja saya belum punya dan tabungan hanya sedikit.

Saya hanya bisa mengatakan apa yang memang ingin saya lakukan, dan itu adalah ingin ia “berbahagia” hidup bersama saya.

Ia percaya itu dan mau menjadi pasangan hidup saya, yang bisa dikata masih kere dan tidak punya apa-apa.

Dan, saya ingin menepati janji saya kepadanya.

Memijit memang tidak sama dengan mobil mewah atau rumah besar, tetapi setidaknya ia tahu bahwa saya akan melakukan apa saja untuknya.

Saya akan menentang pandangan masyarakat umum kalau suami haruslah diistimewakan. Saya memilih berbeda dari kebiasaan umum suami lah yang harus dipijit oleh istri dan bukan sebaliknya. Istri saya adalah Tuan Putri, bukan pembantu yang harus melayani saya.

Saya menunjukkan kepadanya, dia adalah wanita paling istimewa dalam hidup saya. Tuan Putri saya.

Kalau orang lain masih belum mau meninggalkan pikiran kolot bahwa suami karena sudah mencari nafkah harus diistimewakan, itu urusan mereka. Saya sih tidak peduli.

Tetapi, saya akan melakukan semua yang saya bisa lakukan untuk menyenangkan Tuan Putri saya. Karena senyumnya, muka senangnya setelah dipijit, dan kemudian ucapan, “Makasih banget ya mas“, tidak pernah gagal mendatangkan kehangatan dan kebahagiaan di dalam hati.

Hal yang memang saya cari.

Juga, setidaknya, saya sudah memperlihatkan kepadanya, bahwa meski hampir 20 tahun sudah berlalu, rasa sayang di hati saya masih sama seperti dulu. Bahkan, sebenarnya sudah berkali lipat dari yang sebelumnya.

Saya ingin tahu bahwa ia tetap disayang dan akan terus begitu oleh suaminya.

Tidak menjadi masalah kalau ada orang lain memandang saya merendahkan diri dengan cara begitu. Who cares? Toh, bukankah memang itu yang saya lakukan 20 tahun yang lalu, “berlutut” memohon agar ia mau menjalani kehidupan bersama dengan saya?

Dengan sesi memijit 15-30 menit, saya ingin menyampaikan kepada Tuan Putri saya, si Yayang, bahwa saya masih akan terus memohon kepadanya untuk bersedia terus bersama sampai nanti maut memisahkan kami.

Semoga saja, semua itu tersampaikan dengan baik lewat sedikit pijatan ala kadarnya.

Itu saja.

(Bogor, 6 Februari 2021, beberapa hari menjelang hari jadian kami 24 tahun yang lalu)

6 thoughts on “Tukang Pijit”

  1. Mas Antoooon, hihihi baca tulisan ini jadi ingatkan saya akan si kesayangan yang hampir setiap hari memijit saya. Alasannya karena sejak di Korea, saya nggak bisa pakai jasa mba pijit langganan saya, jadi si kesayangan pun merelakan tangannya dan tenaganya untuk pijit pijit especially bagian kaki dan kepala hahahahaha πŸ˜‚

    Dia bahkan sempat ambil kelas accupressure beberapa tahun lalu, agar tau bagaimana cara memijat yang benar. Dan saya setuju sama mas Anton, si kesayangan bilang, dia nggak masalah harus pijat setiap hari, itu salah satu cara dia menunjukkan dia care dan sayang sama saya. Kalau cara orang lain beda, nggak masalah. Tapi jangan sampai merendahkan orang hanya karena orang itu menunjukkan rasa kasihnya dengan cara beda 😁

    Semoga mas Anton dan mba Hes bisa langgeng sampai mau memisahkan yaaa, kompak selalu, dan bahagia selamanya 😍 Terima kasih untuk cerita hangatnya pada pagi yang cerah.

    Reply
    • Aaamiiin… Makasih doanya Eno, doa yang sama untuk Eno dan kesayangan.

      Hihihi.. rupanya saya punya teman sejawat yah dalam hal ini. Saya juga sempat baca baca tentang bagaimana memijit wakakakak..

      Memang yang paling menyebalkan itu kalau ada orang yang “merendahkan” orang lain karena berbeda dengan dirinya. Dan, sayangnya, dalam hal yang sederhana seperti ini saja, rupanya ada.. hadeeuuuhh..

      Makasih ya Eno dan salam untuk si Kesayangan

      Reply
  2. gemes banget T_T selamat berulangjadian, mas Anton T_T (eh bener gak sih namanya, berulangjadian kan yaaa… wkwkwk)

    Saya sama suami malah doyan pijit-pijitan. Itu termasuk quality time kalau sesama pulang kerja karena sesama otot keras–saya karena di depan komputer terus dan Abang karena sering nyetir bolak-balik ke luar kota. Entah kenapa kami berdua sering banget punya masalah otot.

    Awalnya emang sesama bodoh sih ya maklum saya juga dulu ngandelin tukang pijit keluarga (sekarang sudah meninggal) dan Abang selalu dipijit mamaknya (yang memang jago banget). Tapi lumayan lah, meskipun nggak pro, bisa melemaskan otot-otot yang kaku.

    Saya seneng banget quality time yang gini-gini. Murah, bikin enak, hati senang. Mantap mas Anton, jangan-jangan ntar jadi bisa thai massage πŸ˜‚

    Reply
    • Bener ajah saya mah, yang penting pan tertangkap intinya.. wakakakakak

      Betul Meg memang terlihat sederhana, tapi kayak mur di mesin, yang kayak gini justru jadi pengikat antara kita. Sama seperti Mega maen Lego yang saya pikir akan sangat membantu merawat apa yang sudah ada..

      Palagi, yah lumayan lah badan jadi ga terlalu pegal.. wakakaka irit lagee.. wkwkwk

      Makasih Meg…

      Reply
  3. Bentar, bentar, mataku kelilipan nih jadi keluar air mata πŸ˜‚ *kucek mata dulu*

    Kak Anton, aku nggak bisa berkata apa-apa selain aku salut dan kagum dengan Kak Anton πŸ‘πŸ», ternyata Kakak punya talenta terpendam yaitu menjadi tukang pijit πŸ€ͺ. Bukan, bukan, aku salut dengan pemikiran Kak Anton yang terbuka. Ku pikir kebanyakan pria generasi orangtuaku lebih seringnya menjunjung tinggi pride, dalam artian lebih banyak ingin dilayani istri tapi tidak dengan sebaliknya karena hakekatnya demikian. Namun, lewat membaca cerita ini membuatku sadar bahwa masih ada orang seperti Kak Anton 😭. Kak Hes, sangat beruntung πŸ₯Ί tolong Kak Antonnya dimuseum-kan saja, Kak Hes, soalnya makhluk seperti ini sangat langka keberadaannya 🀣

    Reply
    • Kelilipan batu yah..hahahahaha…Dan saya juga baru tahu adanya bakat itu.. Tidak nyangka juga sih.. πŸ˜›

      Nggak akan diperkenankan saya untuk dimuseumkan Lia, nanti siapa yang mijitin dia.. repot dia nantinya.. hahaha Tapi, jujur saja, pemikiran soal hirarki dan pride yang kayak gitu buat saya sudah usang banget dan saya sendiri sudah membuangnya sejak dulu.

      Jadi bayangin saya dijadikan Mummy.. hahaha ntar ada film the Mummy versi tukang pijit kalau saya dimuseumkan

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply