Pilih Jalanmu Sendiri

Maaf ya Pak, Mah?” , cetus si Kribo cilik yang sudah tidak kecil lagi, pada suatu hari bulan November saat ia masih duduk di kelas XII SMA.

Emang kamu bikin salah apa, Ya?“, tanya ibunya, wanita kesayangan yang sudah menjadi teman hidup saya selama hampir 20 tahun. Sebuah kebiasaan di keluarga kecil kami, meski tidak ketahuan, tetapi, jika salah seorang dari kami merasa melakukan kesalahan, kami akan meminta maaf secara terbuka.

Nggak sih, cuma Arya nggak bisa “ngikutin” Bapak, masuk SMP 4, terus SMA 1, dan kayaknya juga bakalan tidak masuk UI“, jawabannya sambil menggaruk rambut kribonya yang kelihatan ruwet karena jarang disisir.

Saya beralih posisi, dari berbaring di kursi ke posisi duduk. Pembicaraan “serius” sepertinya perlu dimulai.

—–

Si Kribo, Arya Fatin Krisnansyah, putra semata wayang kami, memang tidak pernah bersekolah di sekolah yang sama dengan saya, bapaknya.

Bapaknya dulu “katanya” termasuk orang pintar karena bisa bersekolah di SMP Negeri 4 Bogor, yang untuk bisa diterima saja susah. Pada tingkat berikutnya, saya pun diterima di SMA Negeri 1 Bogor tempat dulu beberapa nama terkenal bersekolah dan dimana walikota Bogor saat ini, Bima Arya juga bersekolah.

Kedua sekolah ini memang dipandang tempat orang “keren” dan pandai.

Mayoritas warga Bogor menilainya seperti itu dan hingga sekarang masih terasa sekali pandangan itu. Banyak orangtua, termasuk kawan lama, yang mengupdate statusnya di Facebook, sekedar untuk memberitahu dunia, “Woiii anak saya sekolah di SMA 1 lohh!“.

Jangan ragukan juga nama UI, Universitas Indonesia dimana pada antara tahun 1989-1995 menjadi tempat saya “udar-ider” (bolak balik, berkeliling) belajar tulisan yang kayak cacing, bahasa Jepang.

Kampus para Jaket Kuning.

Jalan hidup saya sepertinya “mulus” sekali. Jika dilihat, saya akan selalu dianggap sebagai orang “pintar/pandai” karena bisa mengenyam pendidikan di tiga sekolah favorit yang untuk bisa lolos seleksinya saja tidak mudah.

Jalan hidup yang rupanya memberi “beban” kepada si Kribo Cilik.

Mungkin, dia melihat beberapa status orangtua temannya di Facebook atau sumber lainnya, betapa bangganya para orangtua tersebut karena anaknya bisa mengikuti jejak orangtuanya menjadi bagian di sekolah TOP.

Sedangkan dirinya, selulus SD hanya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke sekolah swasta, SMP Borcess (Bogor Center School) yang dianggap sebagai sekolah buangan.

Banyak tetangga yang “mengkritik” keputusan saya menyekolahkannya disana dan merasa saya tidak “memperhatikan” masa depan putra satu-satunya. Yang tentunya saya abaikan karena banyak hal.

Dan, saya memahami, bahwa ada rasa minder di hati si Kribo, termasuk kepada bapaknya sendiri.

Dia merasa “berbeda”.

—–

Emang kenapa Ya? Memang bapak ibumu mengharuskan kamu masuk sekolah-sekolah yang sama dengan bapakmu?“, tanya saya sambil menatap mukanya.

Nggak sih pak? Cuma…?“, sahut si bocah yang dulu senang dipanggil “brekele” sambil mengacak-ngacak rambutnya sendiri, tanda bahwa dia bingung menemukan jawaban.

Kamu inget kan? Waktu SD kamu yang mutusin mau sekolah di SD Julang. Padahal bapak sudah mengambil formulir untuk ke SD Polisi. Ngantrinya saja jam 4 pagi?“, tanya saya karena memang pada saat memilih SD pun, ia yang menentukan. Bukan bapak ibunya.

Iyah, inget“, sahutnya.

Nah, kalau pas SMP, itukan kesalahan kamu sendiri belajar nggak bener. Jadi, kamu terpaksa masuk Borcess , nggak sesuai keinginan kamu masuk negeri“, timpal saya.

Bukan karena bapak nggak bisa mindahin kamu ke SMP 4 . Kalau mau, bapak ada kok uangnya untuk bisa memindahkan kamu kesana. Cuma, berarti bapak tidak ngajarin kamu konsekuen terhadap kesalahan kamu“, lanjut saya panjang lebar.

Saya menghela nafas sejenak, sebelum melanjutkan.

Kamu jangan pernah berpikir untuk mengikuti jejak atau jalan hidup bapakmu. Itu hidupmu, jadi tentukan sendiri. Nggak usah mikir kamu harus seperti bapakmu. Emang kamu mau jadi kembaran bapakmu“, tambah saya.

Ngerti?“, tanya saya kepada si Kribo, yang masih uwel-uwel rambutnya sambil nyengir.

Iye, Pak ngerti“, jawabnya sambil nyengir lebih lebar lagi.

Ia bangkit dari duduknya, kemudian masuk kamarnya lagi, “cangkang” kecil yang tidak lebar tetapi sangat disukainya. Dunianya sendiri.

Saya kembali berbaring, sambil menoleh dan tersenyum pada si Yayang, yang ikutan tersenyum juga. Satu tugas lagi sebagai orangtua selesai hari ini.

Dan, saya kembali bergosip ria dengan si Yayang.

—-

Sekarang, si Kribo sudah kuliah.

Bukan di UI.

Dia memilih masuk Telkom University jurusan Ilmu Komunikasi.

Pilihan yang sudah ditetapkannya jauh hari bahkan sebelum ujian akhir semester 5 dilakukan. Ia memilih untuk tidak mengikuti segala proses ujian masuk universitas negeri, seperti SMPTN, SBMPTN, dan sebagainya.

Satu hari setelah acara Cap Go Meh Bogor 2020, ia mengikuti ujian masuk dan diterima sebagai mahasiswa Telkom University.

Sejak itu ia tidak menoleh lagi ke belakang.

Ia tidak peduli terhadap ocehan teman-temannya yang meledeknya “tidak mau menggunakan otak dan mencoba dulu”.

EGP katanya.

Si Kribo berpandangan dengan masuk jurusan itu ia akan memiliki ilmu tambahan untuk membantu menjadi seorang fotografer. Pilihan profesi yang juga diragukan oleh banyak teman-teman ibunya.

Dan, saya bangga melihatnya.

Bukan pada Telkom University-nya, tetapi pada keputusannya.

Ia sudah menentukan “jalan” yang mau ditempuhnya. Ia juga bisa mengatasi rintangan awal untuk menuju kesana, yaitu ocehan teman-temannya. Ia fokus pada tujuan dan passionnya.

Ia sudah memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda dengan bapaknya.

Sesuatu yang memang sangat saya harapkan.

Karena bagaimanapun, saya dan si Kribo adalah dua orang yang berbeda. Dua orang yang masing-masing memiliki kehidupan yang berbeda, dunia yang berbeda.

Tidak sama.

Oleh karena itu, saya sangat tidak berharap kalau ia menempuh jalan yang sama, menjadi duplikat dari diri saya. Hal itu akan berbahaya bagi dirinya di masa depan karena ia tidak akan pernah menjadi dirinya sendiri.

Ia tidak akan pernah mandiri nantinya.

Saya ingin ia menjalani kehidupannya dengan rasa bahagia, senang, dan menikmati jatuh bangunnya, sesuai dengan caranya. Bukan cara saya dan ibunya.

Sebagai orangtua, tugas saya dan si Yayang bukan menghasilkan sebuah karya jiplakan diri sendiri. Tugas kami adalah membimbing si Kribo untuk menemukan jalannya sendiri dan mendukungnya semaksimal mungkin mencapai apa yang diimpikannya.

Jika ia ingin menjadi fotografer, maka itulah impian yang harus dikejarnya. Bukan memaksakan diri menjadi karyawan seperti bapaknya.

Jalan hidup kami berbeda. Seperti juga jalan setiap orang di dunia ini.

Dan, itulah yang saya akan selalu coba ingatkan kepadanya.

“Jangan tempuh jalan yang sama dengan bapakmu. Bukan karena jalan itu jelek, tetapi karena setiap manusia punya jalan yang berbeda”

“Pilih dan tempuh jalanmu sendiri. Jalani dengan caramu.”

Karena kami pikir itulah inti menjadi manusia.

8 thoughts on “Pilih Jalanmu Sendiri”

  1. Ini yang selalu aku suka dari blog Si Anton. Aku jadi bisa melihat sisi lain kehidupan dari pandangan seorang ayah 😀
    Kalau baca blog Si Anton, harus menyiapkan waktu luang khusus karena aku ingin agar bacanya bisa lebih meresap. Hihihi.

    Arya beruntung sekali mempunyai Ayah seperti Kak Anton 🙂
    Kak Anton sepertinya sosok Ayah yang bijaksana, impian banyak anak-anak. Hahaha.
    Semoga jalan apapun yang Arya tempuh, kelak Arya bisa menjadi yang terbaik di bidang pilihannya 😀
    Semoga Kak Anton juga bisa menjadi orangtua yang semakin bijaksana.

    Reply
  2. Wow.., masuk SD sudah nentuin pilihannya sendiri…
    Nek saya kok belum berani ya, kemaren anak saya masuk SD nggak saya minta pertimbangan masukin saja.., mungkin nanti kalo mau masuk SMP diskusi lebih panjang soal sekolah mana yang kau mau perlu dilakukan 😀

    Reply
    • Iyah… saya memang sudah sejak awal memberikan pilihan kepada si Kribo untuk memilih jalannya sendiri.

      Saya memberikannya opsi dan dia yang memilih. Saya pikir seawal mungkin saya kasih kebebasan mas Grub

      Reply
  3. Kadang suka kepikiran aja gitu, kalau semisal gak ngikutin jalan yang orang tua pernah lakukan. Apalagi kalau misal dari orang tua suka ngomong terkait kisahnya yang keren banget, masuk sini bagus masuk sana bagus. Kita sebagai anak yang sudah terlanjur masuk ke tempat lain jadi kayak gak bisa kasih yang terbaik gitu dah.

    Tapi seiring berjalannya waktu, menentukan jalan hidup sendiri memang harus diputuskan. Karena hidup & jalan itu kita yang lakukann, bukan orang tua.. Jadi kalau salah pilih atau tidak sesuai dengan apa yang kita mau atau malah jadi kesan-nya terpaksa. Jadi cuma ingin membuat orang tua bahagia dan bangga, malah nanti jadi tidak maksimal.

    Reply
    • Iya mas.. bener banget. Sebenarnyanya jalan yang manapun mengandung resiko masing-masing. Nurut orangtua juga belum tentu jelek hasilnya.

      Saya hanya berpandangan bahwa, hidup si Kribo itu miliknya, bukan saya. Tuhan memberikannya kepada dia, bukan kepada saya dan ibunya. Jadi, sebisa mungkin saya sesegera menyerahkan kepadanya dan hanya menjadi pembimbing.

      Bagaimanapun, ia sudah memberikan kebahagiaan kepada saya dan ibunya, sesuatu yang seharusnya sudah lebih dari cukup.

      Reply
  4. Wah saya malah kagum Kribo cilik bisa memilih SD pilihannya sendiri ya. Tapi saya malah lebih kagum dengan cara Mas Anton dan pasangan dalam mendidik anak, termasuk membiarkan Kribo menanggung konsekuensi karena kesalahan yang ia buat sendiri.

    Saya dan pasangan pun inginnya bisa membebaskan anak dalam menentukan jalannya sendiri. Karena kami berdua sadar, pola didik kami di masa lalu sepertinya nggak bisa lagi dilakukan ke anak-anak zaman sekarang. Dulu, saya sering terpaksa melakukan segala sesuatu yang ditentukan orangtua (walau ke sininya nggak rugi juga sih). Jadi saya mau kelak anak-anak kami bisa punya pilihannya sendiri.

    Sukses terus untuk Kribo dan selamat yaa kamu bisa menentukan jalanmu sendiri dengan mengabaikan apa kata orang 😀 Keren nih orangtuanya memang hahahaha

    Reply
    • Betul sekali Jane, pola didik masa kini berbeda dari masa kita. Jadi, tidak selayaknya pemikiran lama diterapkan pada anak masa kini. Orangtua juga harus belajar berubah.

      Hahaha.. habis mau bagaimana lagi. Kalau ia tidak belajar sejak dini konsekuensi dalam segala sesuatu, ia akan menjadi cengeng dan memanfaatkan orangtuanya sebagai tempat berlindung. Iya kalau kami masih ada, pastinya suatu waktu kami akan pergi juga dan dia harus berdiri sendiri.

      Sukses juga buat Jane, Andreas dan Josy (dan adiknya Josh tentunya). Saya yakin, Josh dan adiknya akan menjadi anak yang membanggakan orangtunya.

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply