Pindah Agama?

“Mas, artis ANU jadi Islam karena mau kawin dengan aktor ITU”, kata si Yayang beberapa waktu yang lalu.

“Terus , aku harus bilang WOW gitu ….?”, jawab saya sambil nyengir dan tetap memandang layar komputer.

“Ya, gitu ajah sekedar ngasih tahu berita yang lagi seru”, jawab si Yayang sambil meneruskan membaca berita di ponselnya.

Singkat sekali percakapannya dan tanpa kelanjutan, tetapi bukan karena topiknya tidak menarik. Bukan karena topiknya tentang artis sehingga menjadi tidak menarik, tetapi karena topiknya justru sangat berkaitan dengan kehidupan kami, sebagai keluarga sebagai orangtua.

Kami memiliki seorang putra, semata wayang. Kesayangan kami dan telah melengkapi keluarga kecil kami.

Sebuah pertanyaan pernah hadir beberapa tahun sebelumnya. Percakapan yang sama pernah terjadi di masa lalu. Bermula dari berita tentang figur terkenal yang berpindah agama dengan berbagai alasan. Topik itu pernah kami bahas secara mendalam.

Bagaimana kalau sekiranya si Kribo, putra kesayangan kami suatu saat memilih berpindah agama karena “cinta”nya pada seorang gadis? Sebuah alasan yang sangat umum dipergunakan seseorang untuk mengganti label agama di KTP-nya.

Hal itu sangat mungkin terjadi mengingat pada akhirnya, ia harus menjalani hidupnya sendiri.

Apa yang harus kami lakukan? Haruskah kami melarangnya? Haruskah kami marah? Perlukah kami memaksanya untuk bertahan dengan agama yang selama ini kami ajarkan kepadanya? Bagaimana kami harus meresponnya?

Yang mana jalan yang harus kami pilih.

Pertanyaan yang sulit sekali ditemukan jawabannya. Bagaimanapun, hal itu akan berpengaruh sekali pada kehidupan kami dan si Kribo sendiri. Pandangan masyarakat, kecaman, hujatan, pujian, sudah pasti akan hadir kalau itu terjadi.

Lumayan panjang juga pembahasan antara saya dan si Yayang tentang hal ini. Tidak sampai berdebat atau bertengkar, tetapi kami berusaha melihat opsi terbaik yang ada sebagai orangtua.

Sampai pada akhirnya, kami menemukan sebuah jawaban yang menurut kami berdua sebagai terbaik jika masalah itu hadir.

Jawabannya, “Terserah kamu saja”.

Pasrah? Bukan. Kami sudah sepakat bahwa si Kribo adalah sebuah titipan saja. Bukan milik kami. Kami tidak bisa memperlakukannya sebagai sebuah barang yang bisa diperlakukan sesuai kehendak kami berdua.

Betapapun saya dan si Yayang menyayanginya, tetap tidak terbantah bahwa ia adalah titipan dari Yang Maha Kuasa. Selama ini memang kami yang membesarkannya dan mengurusnya, tetapi hal itu tidak berarti kami memiliki hidupnya.

Hidup si Kribo adalah milik si Kribo dan Penciptanya. Bukan milik kami.

Ia merupakan berkah tak ternilai dalam perjalan hidup kami berdua. Sudah tidak terhitung kebahagiaan yang diberikan olehnya dengan hadir di antara kami. Dan, sudah seharusnya kami berdua bersyukur tentang hal itu semua dan tidak menjadi serakah dengan merampas kehidupan milik si Kribo.

Ia harus memutuskannya sendiri. Kami hanya bisa memberikan pandangan saja. Tidak lebih dan tidak bisa lebih tanpa harus merampas hak miliknya.

Itulah makna “Terserah kamu”. Bukan karena tidak peduli, tapi sama seperti kami menyerahkan keputusan tentang sekolah dan lainnya, kami juga menghormati hak yang dimilikinya sebagai individu, sebagai manusia.

Tidak akan kami coba merampasnya dengan memaksakan kehendak kami kepadanya. Kami akan berusaha ia mendapatkan semua yang memang haknya. Kami hanya mendapat tanggungjawab untuk memegangnya sejenak saja.

Masalah pandangan masyarakat, kecaman, hujatan, atau mungkin pujian, sangat mungkin harus dihadapi kalau hal ini terjadi. Meskipun demikian, tidak ada yang lebih penting bagi kami dari kebahagiaan putra semata wayang kami.

Kami akan mendampinginya, seperti ia sudah mendampingi kami selama ini. Kebahagiaan yang sudah diberikannya bagi kehidupan kami lebih berharga dibandingkan sekedar kecaman, hujatan orang lain.

Ia tetap anak kesayangan kami karena agama tidak bisa menafikan kenyataan ia lahir dari rahim si Yayang.

Itulah mengapa percakapan beberapa waktu yang lalu tidak pernah panjang. Kami pernah membahasnya dan sudah mengetahui jawaban apa yang akan diberikan.

Ia akan tetap si Kribo cilik dan tidak pernah berubah.

(Bogor, 13 Desember 2020. Kalau ada yang menduga agama yang kami anut ada kaitan dengan foto di atas, berarti ia melakukan kesalahan. Foto di atas hanya merupakan hasil jepretan saya di tahun 2015 saja dan merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Kota Bogor. Foto ini dipajang karena adanya kata “agama” dalam tulisan ini)

8 thoughts on “Pindah Agama?”

  1. Meskipun ‘terserah’, tapi semoga apa yang menjadi pandangan pak Anton dan yayangnya sebagai orangtua dari si Kribo diamini juga oleh anaknya sehingga tidak perlu adanya pembahasan lebih lanjut seperti ini.

    hehe.. maaf pak, jangan didebat, aku hanya berkomentar saja

    haha… pisss

    First time commenting,
    btw pak, biasanya paling sering upate ke blog yg mana?

    Reply
    • Aaaminn.. makasih doanya mas Ady.. hahaha kok sampai mampir ke sini sih.. wakakakak.. tumben…

      Hahahahahaha… tenang saja, sudah janji dan di sini, biasanya memang bukan dipakai tempat debat. Blog ini mah untuk senang-senang dan ketawa bareng…

      Sejauh ini masih blog MM yang paling rutin diupdate, blog ini dijatah seminggu sekali saja (atau dua kali juga kalau sempet). Mungkin di tahun depan agak berubah karena saya sedang merencanakan untuk mengembangkan blog yang lain Dy..

      Makasih Dy sudah mampir di sini…

      Reply
  2. Pindah agama, apalagi demi cinta, menurut saya tidak apa-apa selama tidak menjerumuskan mereka ke dalam jurang anu.. Kembali pada fakta bahwa kita tidak rela kan kalau orang yang kita sayangi disakiti/tersakiti. Kalau pilihannya ternyata membuat dia bahagia, yah mau bagaimana…

    Reply
    • Pada akhirnya memang begitu ya Bang.. Apa mau dikata karena itu adalah jalan hidup yang dipilihnya. Benar kata abang, kalau itu membuatnya bahagia, ya berarti kita harus mendukungnya.

      Makasih bang sudah mampir kemari

      Reply
  3. Kak Anton, betapa bijak keputusan yang Kakak dan Kak Hes ambil. Rasa-rasanya, ini adalah hal yang sulit diputuskan dan diikhlaskan mengingat banyaknya orangtua yang sampai menutup jalan silaturahmi ketika ada seorang anak yang pindah keyakinan karena pasangan hidup. Pasti sangat nggak mudah bagi Kakak dan Kak Hes untuk bisa mencapai titik pemikiran tsb. Aku sungguh bahagia dan salut dengan Kakak ketika membaca tulisan ini karena aku jadi tahu bahwa masih ada orang yang berpikiran terbuka seperti Kakak dalam hal ini 😀
    Semoga yang terbaik selalu untuk keluarga Kak Kampret 😆

    Happy holiday ya, Kak Anton, Kak Hes dan Arya 😁

    Reply
    • Yah, pasti berat tetapi kan kita harus kembali segala sesuatu pada porsinya. Kehidupan si Kribo bukan punya saya, itu punya dia. Dia yang menjalani, jadi saya harus percayakan pada pilihannya…

      Makasih Peri Kecil.. Happy holidays for you and your family too.. for si Prikitiw juga deh 😀

      Reply
  4. Ini daleeemmm, tapi saya kok ya jadi ngakak bacanya, karena kalimat terakhir.
    Etapi ngomongin agama ini menarik loh Pak, bukan masalah SARAnya sih, tapi saya jadi pengen ngerumpiin pengalaman saya, dulu tuh saya berjilbab, saking bosannya saya diajak ke gereja ama dosen non muslim di kampus kami, udah lah dijawab saya muslim sejak lahir kagak percaya dia!

    Terus pas ke rumah si pacar, ibunya si pacar nanyaaaaa mulu.
    Kalau saya beneran muslim? ada keluarga yang muslim nggak?

    lama-lama sebel juga deh, maka saya ikutan kakak saya yang udah berjilbab sebelumnya.

    Dan setelah saya berjilbab, ganti lagi deh gosipnya.
    “Waduh si Rey. mualaf karena pacarnya muslim”

    Setelah itu, udah malas deh saya nanggapinnya, whateverrrrr, kagak rugi juga diri saya dikira ini itu 😀

    Dan kalau ngomongin anak, sejujurnya tentu saja saya berharap dan berdoa semoga anak-anak saya bisa dikuatkan imannya sampai kapanpun.

    Namun kembali lagi, lucky me saya dibesarkan oleh ortu yang super membebaskan anak-anaknya.
    Jadinya, hal itu kebawa sampai dewasa.

    Dan tentu saja, jika anak-anak besar nanti, bukan wewenang saya lagi memaksanya menentukan keimanannya.
    Tugas saya cuman mengisi modal imannya, hasilnya, serahkan ke anaknya sendiri dan tentunya Allah 🙂

    Reply
    • Jadi, Rey itu mualaf yah.. baru tahu saya #bengongsambilngilerkarenakaget.. hahahaha

      Nah kan, sama ujungnya. Tugas kita sebagai orangtua kan cuma bisa sampai “menanamkan”. Tidak bisa memaksakan karena ujungnya bukan wewenang kita.

      Lucu cerita soal mualafnya Rey.. wakakakakak.. kali kalau saya menyaksikan, saya bakalan ngakak terpingka pingkal

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply