Salah Cetak

Saya lulusan Sastra Jepang, Universitas Indonesia.

Bukan pamer. Jauh dari niatan itu. Tidak ada yang perlu dibanggakan menjadi lulusan UI. Hanya mengatakan sebuah fakta dan kenyataan saja.

Terlebih saya menyadari bahwa saya justru bisa membuat UI ditertawakan dan dipandang tidak bisa mendidik mahasiswanya dengan baik.

Bagaimana tidak, saya tidak mahir berbahasa Jepang. Itu juga fakta. Lucu kan? Pandangan umum adalah kalau seseorang lulus kuliah, seharusnya dia menguasai ilmu yang diajarkan oleh para dosennya. Lulusan sastra Jepang, seharusnya memiliki kemahiran berbahasa Jepang.

Kenyataannya saya tidak.

Bukan drop out loh, saya lulus dengan nilai lumayan bagus dan punya ijasah dari universitas tersebut.

Selama lebih dari 25 tahun setelah lulus, saya lebih mengandalkan kemampuan berbahasa Inggris saja dibandingkan menerapkan apa yang dipelajari selama lebih dari 5 tahun kuliah disana. 

Jika ada seorang yang mengajak saya berbincang dalam bahasa Jepang, saya akan pilih kabur saja. Maklum, selain malas buka kamus, juga malas belajar tata bahasanya lagi. Beberapa gelintir sisa memang masih ada di kepala, tetapi jauh sekali dari kata “mahir”, “bisa”, atau “mampu”

Jadi, jauhlah dari niat membanggakan diri. Justru, lebih banyak rasa malu ketika mengatakan yang seperti ini.

Fakta di atas diungkapkan karena sebuah kisah kecil di belakangnya. Kisah kecil yang mungkin mengarahkan kehidupan saya hingga sampai ke titik yang sekarang ini.

Kisah kecil terkait SALAH CETAK.

—– 1989 – UMPTN —–

Prolog :

Sekarang namanya ada dua SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan SBMTPN  (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). 

Saya nggak merhatiin terlalu jauh kedua istilah itu karena si Kribo Cilik sudah memutuskan tidak akan mengikuti keduanya. Ia memilih jalannya sendiri dan tidak mau masuk universitas negeri.

Cuma, yang saya tahu, keduanya merupakan cicit dari sistem penerimaan mahasiswa baru sejak zaman dulu, tahun 1980-1990-an. Awal tahun 1980-an disebut Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru). Kemudian berganti nama menjadi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) sekitar tahun 1987-an.

Tanpa bubur merah putih, seperti kebiasaan pemerintah, nama proses penerimaan mahasiswa baru berganti terus. Ganti menteri, ganti nama, meski sebenarnya pola dan sistemnya sama saja.

Lulusan SMA dites dan bersaing dengan ratusan ribu lainnya secara serentak di seluruh Indonesia.

Saya termasuk salah satu diantaranya. Sebagai lulusan tahun 1989, maka untuk meneruskan pendidikan, saya mengikuti UMPTN.

Universitas mana? Jurusan apa yang dipilih?

Jujur saja, saya tidak tahu.

Bahkan, satu bulan sejak lulus SMA, saya belum punya pilihan mau meneruskan pendidikan kemana. Tidak ada gambaran sama sekali saya hendak menjadi apa.

Harap maklum, meski katanya lulusan SMA Negeri 1 Bogor, yang saat itu merupakan sekolah favorit di Kota Hujan, saya sebenarnya minder.

Lah gimana tidak. Saking bengalnya, ranking selama SMA tidak ada yang bisa menembus ranking 20. Kebanyakan angkanya dimulai dengan 2,3,4. Kelas satu SMA ditutup dengan nilai rapot yang berantakan karena saya banyak ngaburnya.

Badung. Ngeyel. Bengal. Malas.

Cuma saat ujian akhir saja, wali kelas merasa heran karena nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni) menempati peringkat ke-7 di kelas.

Selebihnya ambrol dah.

Saya tidak tahu. Tidak yakin dengan diri sendiri.

Padahal, saya tahu bapak punya impian. 

Sebagai anak kereta alias penumpang rutin KRL Jabodetabek, ia sering melewati Kampus UI Depok, kampusnya para anak muda pengguna Jaket Kuning. Saat itu kampus tersebut baru saja diresmikan dan kegiatan perkuliahan mulai berpindah kesana.

Bapak pernah berkata, bukan memaksa, bahwa ia ingin salah satu anaknya bisa kuliah di kampus itu. 

Sayangnya, kakak, saat itu tidak diterima di UI dan akhirnya memilih kuliah di Akademi Bahasa Asing di Cikini. 

Bisa kebayang kan situasinya? Boro-boro yakin bahwa saya bisa menembus saringan kompetisi yang luar biasa ketat. Maklum saja, berjaket kuning itu sejak dulu, dan sampai sekarang juga masih menjadi impian banyak lulusan SMA di Indonesia.

Sekarang, seorang lulusan SMA dengan nilai banyakan angka 6, itupun dikatrol, mana beranilah saya bermimpi untuk berjaket kuning.

Ampun. Boro-boro dah.

Cuma, bagaimanapun, saat itu saya hanya bisa berkata kepada diri sendiri, “Setidaknya kamu mencoba, Ton!”.

Gagal atau berhasil, urusan belakang.

Coba dulu.

Dan, saya pun memutuskan mencoba. 

Menentukan Pilihan

Berbeda dengan seleksi di masa sekarang, pada masa UMPTN, seseorang yang hendak mengikuti ujian harus sudah menetapkan jurusan dan universitas mana yang diminati.

Setelah membayar biaya ujian di bank BNI, saya menebusnya dengan “Panduan UMPTN”. Isinya sebenarnya hanya penjelasan cara mengisi lembar ujian yang akan diperiksa komputer dan semacam “buku panduan” yang sebenarnya hanya kumpulan kertas berwarna kuning yang distaples saja.

Buku panduan ini berisi daftar nama Universitas, Jurusan/Program Studi, beserta data “kuota mahasiswa” yang tersedia serta jumlah peminat tahun sebelumnya. Semua universitas negeri di Indonesia tercantum di dalamnya.

Dari sanalah bisa terlihat persaingan. Misalkan, jurusan Ekonomi UI dari kapasitas 120 orang peminatnya mencapai 22 ribu orang (hampir 1 : 200) . Maklum, jurusan itu termasuk yang menjadi favorit. 

Dari sanalah calon peserta ujian menentukan jurusan dan universitas mana yang dituju.

Jadi, sudah biasa, banyak lulusan SMA saat itu yang memilih terkdang bukan karena minat, tetapi karena melihat peluang. Semakin sedikit peminat sebuah jurusan, maka peluang diterima semakin besar.

Saya pun, biar lumayan bloon, menggunakan trik yang sama.

Saya menelusuri setiap detail untuk menemukan jurusan yang peminatnya sedikit, tetapi saya batasi sekitar Jabodetabek saja, terutama UI. Keinginan untuk bisa memenuhi impian bapak tertanam di otak.

Pada saat menelusuri itulah, saya menemukan bahwa Sastra Jepang Universitas Indonesia memiliki rasio kapasitas dan peminat yang sangat bagus.

30  :  130

Mata saya melotot. Hati berbunga-bunga, meski saat itu sedang galau karena kecengan mau ke universitas lain.

Biar bego-bego gini, masa sih tidak berani bersaing untuk satu kursi disana.

Peluang neh!

Pulanglah saya ke rumah dan dengan percaya diri menjelaskan strategi ke bapak dan ibu, bahwa Sastra Jepang adalah pilihan terbaik.

Pokoknya penjelasannya panjang.

Bapak dan ibu cuma menjawab, “Terserah kami. Lha wong kamu yang mau sekolah”.

Mantap jiwa pokoknya . Saya melangkah dengan kepercayaan diri dan langsung formulir diisi dengan pilihan Sastra Jepang UI pilihan pertama dan IPB, pilihan kedua.

(Jangan bayangkan kayak komik saya belajar giat yah, tetap saja saya mah baca novel dan majalah saja. Belajar mah kumaha engke gimana nanti)

Salah Cetak

Tidak berapa lama kemudian, saya ujian. Lokasinya di Fakultas Kedokteran Hewan IPB di Jalan Pajajaran.

Selesai.

Pede kalau ingat peminat jurusan yang saya pilih cuma sedikit. Rasanya tidak mungkin mereka yang ikut ujian seruangan dengan saya (lebih dari 100) akan memilih jurusan tersebut. 

Selesai ujian, saya keluar dan menemui teman-teman yang kebetulan ujian di lokasi yang sama. Biasalah berbagi cerita.

Saat itu ternyata seorang kawan juga membawa “Buku Panduan”. Saya pinjam buku itu. Kemudian, halaman dimana jurusan Sastra Jepang tercantum, saya buka lagi dengan penuh senyum dan “agak yakin”.

Sesampainya di halaman itu, sepertinya muka saya “pucat”, kaget, nggak percaya dengan yang saya lihat.

Rasio perbandigan di Jurusan Sastra Jepang UI tidak seperti yang saya ingat. Disana tertulis

30 : 3130

Kapasitas 30 kursi dan peminat 3130, persaingannya 1 kursi diperebutkan lebih dari 100 orang. Berbeda dengan yang saya ingat.

Saya sempatkan meminjam buku panduan dari teman yang lain dan isinya ternyata SAMA. Tiga ribu orang yang meminati belajar Sastra Jepang.

Gusrak.

Masih tidak percaya, dengan lemas, saya pulang ke rumah, dan membuka buku panduan yang saya punya, isinya seperti yang saya ingat 30 : 130.

Rupanya ada salah cetak sehingga angka 3 di depan terhapus. Tiga ribu seratus tiga puluh tercetak hanya seratus tigapuluhnya saja.

Lemes.

Nggak berani ngomong sama bapak dan ibu.

Semua PD yang tadi ada hilang ditelan angin, dibawa entah kemana.

Saya cuma bisa bengong dengan mulut menganga. Untung saja tidak ada lalat hijau yang lagi nyari angin.

Beberapa usaha lain untuk mencari sekolah tinggi swasta, termasuk D3 Sastra Jepang UI, saya lakukan. Hasil terbagus adalah menjadi cadangan saja.

Puyeng banget dah saat itu.

Pengumuman

Penantian itu menyebalkan. 

Bukan cuma menunggu jawaban cewek saja.

Menunggu hasil pengumuman UMPTN itu bisa dan bahkan lebih menyebalkan. Maklum saja, kalau harus masuk sekolah swasta, kebayang saja si bapak harus mengeluarkan duit lebih banyak. Padahal, kalau lulus UMPTN bayarannya lumayan murah.

UI waktu itu hanya 120-150 ribuan aja, sementara universitas swasta mah, berat pastinya.

Tapi, saat itu sudah terbayang kalau si bapak akan terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak supaya saya bisa kuliah.

Tiga ribu orang saingan, dan pastinya orang pinter semua, rasanya seperti hal yang mustahil bisa berjaket kuning.

Tahu saingan segitu banyak, saya pilih Sastra Jawa kali.

Lemes banget.

Sampai saat pengumuman, hampir nggak ada semangat untuk mencari nomor peserta.

Barulah setelah ibu membelikan koran (pengumuman UMPTN diumumkan lewat media cetak saat itu), saya memberanikan diri dan “terpaksa” membuka koran. Ibu sangat ingin tahu hasil perjuangan sang pangeran keluarga.

Jadilah, saya dengan hati yang berat dan pasrah, mata saya menelusuri nomor demi nomor pada daftar peserta yang lulus UMPTN.

Hasilnya?

Bengong.

Saya terpana.

Tidak percaya sama sekali.

Nomor peserta saya tercantum disana. Berulang-ulang, saya membaca nomor itu memastikan bahwa saya sedang tidak bermimpi atau salah baca.

Setelah 5 kali mengulang, barulah saya melonjak dan kemudian, memeluk ibu, yang sedang menanti jawaban.

        “Diterima Ton?”, tanya ibu yang wajahnya masih tegang dan agak bingung.

        “Iya, bu”, jawab saya sambil setengah berteriak. Nggak bisa ngomong banyak.

Saya mahasiswa UI.

Saya akan berjaket kuning.

Saya bisa memenuhi impian bapak melihat salah satu anaknya kuliah di universitas yang dilihatnya setiap hari.


Yah.

Salah cetak.

Mungkin, itulah yang membuat saya menjadi mahasiswa UI.

Bukan karena saya super pandai, tetapi karena kesalahan itu, saya memilih Sastra Jepang UI. Kalau tahu pesaing segitu banyak, sangat bisa jadi, saya akan kabur memilih yang lain.

Jalan hidup saya tidak akan seperti ini.

Meskipun sekedar berandai-andai saja,  saya pikir kesalahan cetak kecil dalam buku panduan itulah yang mendasari keputusan dan menentukan arah jalan hidup saya. 

Mungkin karena ini jugalah, saya merasa biasa saja kuliah di UI. Toh, mungkin hanya keberuntungan saja orang sebloon saya bisa kuliah disana. Buktinya, pelajaran yang diajarkan disana nggak bisa dipraktekkan dan diamalkan dengan baik oleh saya. Meski memang saya memilih untuk menekankan studi saya dalam bidang sejarah Jepang, tetapi seharusnya bahasa Jepang saya tidak seburuk sekarang.

Walau, saya tidak menyesali sedikitpun keputusan untuk tidak menekuni bahasa Jepang dan bahkan seperti membuangnya. Saya bisa sampai ke titik ini dalam kehidupan adalah karena keputusan itu juga.

Saya memiliki kehidupan yang bahagia sekarang, bertemu si Yayang dan punya si Kribo.

Jadi, saya merasa bahwa saya harus berterima kasih kepada siapapun yang tidak teliti memeriksa buku panduan. Ia mengarahkan saya ke kehidupan saya saat ini.

Bisa dikata semua karena SALAH CETAK.

(Catatan : Nggak ada foto saat mahasiswa, jadi dipajang foto mantan teman sekantor saja yang sudah resign awal tahun 2020 ini. Beberapa foto yang menggunakannya sebagai model saya kategorikan sebagai yang “terbaik” yang bisa saya hasilkan selama menekuni fotografi. Seseorang yang tidak akan saya temui kalau tidak terjadi kasus salah cetak)

Bogor, 2 Juli 2020

29 thoughts on “Salah Cetak”

  1. Fotonya keren sih kak! Awalnya ku kira foto artis siapa ini dipajang, eh ternyata temen kakak. Apa temen kakak beneran artis jangan-jangan?

    Aku bisa bayangin lemes-nya kakak pas tahu kalau angkanya ada yang salah cetak wkwkw. Lemes banget pasti asli, mungkin kayak abis patah hati juga karena udah ngarep lumayan tinggi pada saat itu.

    Tapi ternyata emang kehendak Tuhan ya bisa kuliah di sana. Walaupun pelajarannya udah lupa semua tapi setidaknya bapaknya Kak Anton udah merasakan bangganya punya anak yang bersekolah di sana 😀

    Konichiwa!!

    Reply
  2. Asyiikkk ada yang muji euy… wakakakaka… Bukan, dia sekarang ibu rumah tangga saja menemani dua anaknya sekolah di Aussie.

    Emang lemes banget dah.. hahaha.. sempet ga bisa tidur. Ngerasa bego banget saat itu dah.

    Iyah, ternyata setidaknya saya bisa menjadi yang pertama dalam keluarga yang bisa kuliah disana. Dua adik belakangan menyusul berjaket kuning…

    Konnichiwa ("n" nya dua kalau pakai huruf latin)

    Reply
  3. Seribu kak! Nggak gratis tuh pujiannya #lho
    Awww, jauh sekali tinggalnya sekarang. Tapi lumayan, jadi ada alasan buat Kak Anton untuk ke Aussie huahaha.

    Huahaha kocak kalau sekarang mah kalau diinget ya. Ternyata memang udah jalan Tuhan, Kak Anton sebagai pembuka jalan untuk kedua adik kakak.

    Ih, aku mah cuma ngetest aja, ternyata masih bisa tuh bahasa Jepangnya *ngeles WKWK

    Reply
  4. Atuh mah pak anton sukanya merendah aja, berkali-kali nyebut diri sendiri bloon, itu mah kuyakin cuma majas sarkasme aja,

    Aslinya kutaksir (kuperkirakan) bapak ini termasuk salah satu murid yang terjenius di kelas.

    Biasalah pak, murid laki klo di kelas emang banyakan dari luar kelihatan bengal, nyleneh, bolosan, nilainya ga separfait murid cewe yang bagus karena mostly rajin belajar.

    Tapi kegeniusan emang ga tercermin dari raport thok kan ya. Karena kalau kulihat-lihat pak anton ini kayaknya masuk yang genius bawaan, udah dari sononya, alias uda bakat alam. Makanya biar kata tiap rapotan rangking selalu rata-rata air, tapi pas nem-neman kok malah masuknya peringkat 7. Sesekolahan pula ahhahha, itu apa namanya kalau bukan jenius pak.

    Kalau rapotan kan biasanya karena rajin belajar aja, dan tingkat kesulitan soalnya ga semumet pas ujian akhir lebih2 ujian masuk perguruan tinggi wakakka.. ini si bapak mah belajar kumaha engke dan disambi baca majalah atau novel aja tapi tetep tembus ptn favorit sejuta umat dengan kombinasi peluang masuk 30 : tiga rebuuuuh

    Ngebaca kisah pendidikan pak anton semasa mahasiswa dulu aku jadi senyam-senyum sendiri. Semuanya gegara angka 3 itu ya pak. Angka 3 yang ketutupan ! Gimana ga jadi cerita di keesokan harinya, soalnya pas dikenang ya pasti terasa lucu juga hahhahah

    Tapi ngomongin kemampuan bahasa, jangankan bahasq jepang pak (terlebih sastra jepang), wong bahasa inggris aja aku masih belepotan … terus aku akan belajar bahasa inggris pada siapa (sepertinya dari film aja kalau sekarang mah hahaha), padahal dulu cita-citaku pengen bisa lancar bahasa inggris sejak dari SD bahkan ngebayangin pula bisa jadi guru bahasa inggris, sayangnya cita-cita itu kandas di tengah jalan karena nda diterima pas njajal peruntungan umptn unes dengan ambil pendidikan bahasa inggris or sastra inggris

    Kalau ui….

    Jaket kuning oh jaket kuning 😢

    Kenapa ku tiba2 pend mewek di pojokan ya kalau ingat impian tuk memakainya nda kesampaian…jadilah ku bisanya mengenakan jaket biru dongker aja, itupun lewat jalur usmi alias nilai rapot, coba kalau untung2an lewat umptn, ga yakin lolos deh aku, saking kalau masuknya lewat tes suka kurang hoki akutuh…

    Btw aku baru engeh ternyata sistem masuk universitas ini aslinya produk turunannya masa orba ya pak…..dan yes, tiap tahun ganti nama aja walaupun modelnya podo ae alias sami mawon, tanpa tumpengan ataupun dibuburin merah putih xixiixi..

    Reply
  5. Plot twist banget masss…. tapi beneran ya bisa masuk. Mungkin rasa pede itu yang bikin Allah mengabulkan. Katanya kan kalau pikiran sudah diset, InsyaAllah usaha dan semesta akan mengizinkan. Emang udah jalannya :))

    Ngomong-ngomong, mas Anton sama kayak adik saya, lulusan sastra Jepang hehe. Sekarang dia kerjaannya lebih banyak pakai bahasa Inggris juga, tapi dia diterima karena bisa bahasa Jepang. Lumayan lah yaaa (apasih). Tapi dia bukan jaket kuning, melainkan universitas negeri lain di Bandung. 🙂

    Karena jurusan saya dulu nggak buka UMPTN (harus jalur mandiri kalau seni rupa), saya nggak mengalami deg-degannya ikut UMPTN dan melihat pengumumannya di koran. Jaman saya masih pengumuman lewat koran. Saya dulu fokus ke seni rupa aja sampai nggak liat peluang di jurusan yang lain.

    Makanya, mas Anton, kalau mas Anton yang lolos UMPTN aja masih bilang ngga pinter-pinter amat, di sini ada saya yang bengong pas liat contoh soal UMPTN, karena baca soalnya aja nggak bisa. Hahahahahaaaa…..

    Baca cerita ini, jadinya bukan bayangin diri sendiri, tapi si adik ketika berjuang masuk lewat jalur SNMPTN. Dia juga sama kayak mas Anton, mengatur strategi dari daya tampung dan deg-degan liat pengumuman. Ikut bangga rasanya waktu dia berhasil masuk 😀

    Reply
  6. Murah amirr seribu doang.. padahal si amir tidak murahan loh.. hahahaha

    Yah, begitulah rencananya. Cuma ongkosnya itu yang berat euy…

    Iyah. Pas ngalaminnya, hadeuuh…. nggak lagi deh…

    Gimana hasil tesnya.. Lulus nggak sayah.. hahahaha

    Reply
  7. Boro-boro majas sarkasme. Itu mah memang pikiran saya waktu itu Nita. Sungguh banget. Pas SMA mah saya bener-bener ngerasa bego dan bloon.

    Sumpeh. Rangking kelas satu 44 dan seterusnya ga bagus banget. Jadi, perasaan saya memang saya teh bloon waktu itu. Bukan merendahkan diri meninggikan mutu.

    Emang , sekarang saya sudah ga merasa "bloon" lagi. Cuma nggak merasa pinter apalagi jenius. Boro-boro dah. Saya cuma sampe "ga sebloon" masa SMA saja.

    Bener Nit… tulisan ini pan dibuat sambil mengingat perasaan saya waktu itu, dan memang begitulah adanya.

    Soal NEM dan bisa lulus UMPTN mah, mungkin rejeki dan keberuntungan saya begitu besar, jadi bisa lolos semua.

    Musuhhhhhh!!! Saya musuh ma jaket biru dongker… wkwkwkwkw…

    Buat saya sih, dulu dan apalagi sekarang, nggak pernah mikir kalau almamater itu penting. Yang terpenting mah karakter masing-masing yang menentukan jalan hidup seseorang.

    Bukankah Mbul sekarang bahagia kan? Itu yang terpenting, bukan kita lulusan mana.

    Iyalah, memang gonta ganti nama doang sebenarnya. Sama sistem diutak atik dikit ajah. Polanya ya tetap sama saja..

    Udah Mbul jangan mewek inget masa lalu, ceritakan dengan rasa bersyukur karena kita bisa bahagia sekarang

    Reply
  8. Iya Meg.. Saya waktu itu emang bener-bener bengong pisan dah. Nggak nyangka bisa nemu nama saya tertulis di lembar pengumuman.

    Hahaha.. nah ada yang sama juga. Buat saya yang penting sih, karakter dan kemauan kok.

    Kalau di Bandung, cuma ada satu Universitas Negeri yang ada Sastra Jepangnya.. hahah saya tahu kok karena dulu rombongan mahasiswa universitas itu pernah saling bertemu.

    Woww.. Mega menekuni seni rupa? Bidang apanya nih.. Keren loh…Waktu ujian UMPTN hahahah saya juga ada yang nggak tahu jawabannya pake sistem cap cip cup.. Mungkin nasibnya lagi mujur.. hahahah

    Wajar kalau dikau bangga kepada adikmu, karena saya pikir bapak juga "bangga" kepada saya waktu itu.

    Reply
  9. Waaahhhh ada anak Jaket kuning nih kiw kiw 🤣 hebat lho mas Anton yang belajarnya angot-angotan saja bisa dapat nilai NEM 10 besar, apalagi kalau belajarnya giat, jangan-jangan fakultas kedokteran pun lewat 😍

    Lucu juga kalau dipikir-pikir, semua karena salah cetak 🙈 memang yang namanya 'fate' itu nggak ke mana, yah. Mungkin sudah jalannya ke arah sana (sastra Jepang) hingga akhirnya sekarang mas Anton ended up di perusahaan Indo-Jepang 😄

    By the way, dulu jaman sekolah juga saya ingin banget bisa bahasa Jepang lho, mas 🤣 sampai ikut semacam kelas bahasa Jepang. Tapi 6 bulan saja bertahannya karena pusingggg ternyatah (bisa jadi karena sayanya yang kurang pintar jadi nggak bisa menangkap) dan lalu bertekad untuk nggak lagi-lagi berurusan sama huruf meliuk-liuk yang bukan abjad 😂 eh ternyata bertahun-tahun berselang, ketemu lagi huruf meliuk-liuk dari Koriya. Mau pingsan 🤣

    Ps: modelnya cantiiiiik bingits. Suka sama foto yang ke dua 😍 hehehe.

    Reply
  10. Gusrak…. kebetulan saja lagi jalan terus lewat di bawah tukang cat yang lagi kerja, tangganya saya tabrak, dan hasilnya jaket saya ketumpahan cat kuning. Jadilah saya berjaket kuning.. Gitu ceritanya.

    Memang, saya pikir nggak nyangka saja kalau jalan hidup ditentukan sama salah cetak itu. Makanya sampai sekarang nggak bisa lupa kejadiannya. Membekas banget.

    O yah.. nah itu namanya takdir juga. Nggak mau lihat tulisan kayak cacing, malah seumur-umur kudu bergaul sama yang melingkar-lingkar kayak gitu… wkwkwkwkwk

    Ps. Dia sebenarnya tidak cantik Mbak Eno, biasa saja. Cuma terus terang sebagai model gesturenya bagus banget dan kepribadiannya keluar. Makanya hasil foto kalau dia ada, biasanya bagus-bagus.. Enak dilihat.

    Reply
  11. Saya sampai senyum-senyum sendiri baca postingan mas Anton. Sama kok mas, saya lulusan teknik sipil sampai sekarang belum pernah benar-benar mengaplikasikan ilmu saya karena karir saya ditakdirkan di bidang lain hehehe.

    Pengalaman mas Anton namanya, salah cetak membawa berkah. Coba kalau buku panduan yang dipegang mas Anton cetakannya benar, mungkin urung masuk UI kan?

    Reply
  12. woooo cuma satu ya yang ada sasjepnya di bandung? malah baru tahu saya.

    Kalau kata adik saya mah, fakultas bahasa dan sastra tuh suka ajaib sendiri di antara fakultas lain, yaaa semacam fakultas seni tempat saya bernaung dengan fakultas-fakultas teknik di sekitarnya. (hahaha ketebak banget ini saya kuliahnya di mana). Suka seneng makanya denger ceritaan adik di fakultasnya, banyak keabsurdan dalam kehidupan sehari-hari.

    jelas bangga banget mas, lolos lewat UMPTN mah. secara yaaa, saingannya sama seluruh indonesia, dan emang sesusah itu masuknya. selain hasil belajar, bisa dibilang masuk UMPTN itu juga sangat terpengaruh dengan faktor tekad, doa, dan keberuntungan 😆

    Reply
  13. Cuma ada dua universitas negeri di Bandung dan cuma satu yang punya jurusan Sastra Jepang.

    Emang. Punya ciri khas sendiri. Hahahaha… banyak cerita menarik dan suatu waktu saya akan ceritakan sebagian disini.

    Iyah juga.. hahahaha.. kalau dipikir-pikir saya itu memang jadinya agak absurd dan aneh juga.

    Selamat buat adiknya ya Mega.. sukses selalu

    Reply
  14. Sudah baca 4 hari yang lalu…Tapi baru sempat komen.😊😊

    Naah..Nah2….Benarkan kata gw udah Engkong2 Ente. Eheeeheee!!..🤣 🤣

    Sebelumnya saya ingin bergaya dulu seperti artikel pertama yang Engkong tulis.

    Saya lulusan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Namun jika ditanya soal hukum perdata, Pidana dan sejenisnya saya akan jawab tidak tahu, Bahkan buta sama sekali……Kok Bisa, Bisa lah, Yang nyuruh orang tua kok, Bahkan memaksa anaknya agar menjadi seorang Pengacara.😳😳 Dan apa yang terjadi..?? Benar sianak jadi Pengacara ( Pengangguran banyak acara ) 🤣 🤣

    Membaca kisah Engkong diatas, Eeh salah Suhu Engkong lebih tepatnya karena Bos saya yang lulusan Fakultas Hukum UI kalah tua sama Suhu Engkong Anton ini.🤣 🤣

    Salah Cetak….Menurut saya tidak ada yang salah dengan apa yang Suhu Engkong lakukan, Berati tidak bisa dikatakan Salah Cetak. Akan lebih bagus Salah Posisi mungkin. Karena dasarnya saja sudah bagus lulusan SMA Negri 1 Bogor, Sekolah yang pernah jadi incaran saya dulu jika nilai saya bagus ternyata tidak. Akhirnya saya memilih masuk STM Negri 5 Jakarta pusat ( Boedoet 5 ) Yaa terusnya jadi bego deh sampai sekarang.🤣 🤣 🤣

    Dan yang bikin menariknya dari Engkong Suhu disini adalah kedua orang tuamu Kong. Membebaskan pilihan kepada sang anak, Seolah santun bah air mengalir. Meski Engkong sendiri pada waktu itu merasa tak tahu harus masuk Fakultas apa?….Ditambah perbandingan angka pada tulisan diatas memang salah cetak. Tetapi setiap orang saya yakin bisa merubah posisinya. Meski Engkong sendiri bimbang tetapi karena perbandingan angka pula yang membuat Engkong memilih Sastra Jepang. Padahal Satra Inggris bersebelahan sama Sastra Jepang gedungnya Kong. 😊😊

    Akhirnya ngalamin juga Engkong kerja juga di perusahaan Jepang, Meski Engkong lebih dominan ke Bahasa Inggris, Setidaknya, Sekarung dua karung mah mudeng casciscus pake bahasa Jepang yang tulisannya berkesan kaku menurut saya.

    Reply
  15. Yang Kedua

    Dan uniknya kisah yang Engkong Tulis ini selama menjadi mahasiswa Sastra Jepang enak tidak enaknya tetap Engkong jalani….Tanpa ada perubahan yang berarti dari Engkong sendiri….. Tapi entahlah kalau dari dilubuk hati Engkong yang paling dalam seperti apa saya juga tidak tahu.😊😊

    Seandainya saya yang seperti Engkong mungkin saya akan bahagia, Karena apa, kedua orang tua membiarkan anaknya menentukan sendiri masuk perguruan tinggi.😊

    Beda sama ortu gw Kong, Yang mengharuskan anaknya jago Matematika, Dan harus Jadi Pengacara, Padahal nilai Matematika gw dari SD sampai STM lumayan meski angka 7 tetapi dimata orang tua saya kurang memuaskan. Bahkan dibilang bodoh. Aneh memang dari Matematika lari ke Hukum. Ortu kolot.🤣 🤣 🤣

    Eehh malah gw curhat nih Kong.🤣 🤣 🤣 Eeheeehee!..

    Tapi meski begitu saya tetap bersyukur kong. Terlebih dengan kehidupan yang sekarang ini. Bahkan dulu lulus kuliah dapat kerjaan yang boleh dikatakan cukup saya milih berhenti. Alesannya sederhana kurang suka diperintah. Bahkan bos saya dulu.., Yang katanya orang paling sukses di Fakultas Hukum UI. Mengamuk dengar saya akan berhenti bekerja dikantornya Bahkan saya bakalan miskin kalau berhenti darinya.😊

    Dan saya jawab sederhana itu urusan gw…..Yaa itulah kehidupan mungkin kali yee Kong, Karena kita tidak pernah tahu seperti apa kelak nantinya….Coba ente pikir Kong…Si Kribo anakmu akan seperti apa nantinya. Apa harus ikut seperti gayamu Kong…Tidak jugakan..😊😊

    Terakhir nih Kong…Itu photo Janda ape bukan Kong….Kong2…Ingat Warna Almamater Kong Nyebut koongg!!..🤣 🤣

    Ilustrasi gambar atau logo UI kek….Ini mah gambar anu…Error juga kadang2 Ente..Heeeheee! ,, Ntar di Kemplang Bini baru rasa luh..Haahaaaaa..🤣 🤣 🤣

    Reply
  16. WHisss… rupanya banyak yang nyasar juga yah…Tong, gue jangan dihukum yah, saya tidak melakukan apapun neh… hahahaha

    Salah cetaknya sih tetep, tapi memang saya tidak memandang kehidupan saya sebagai sebuah kesalahan. Memang betul ortu tidak memaksa, saya yang harus menentukan jalan hidup sendiri. Bukan mereka.

    Unsur kebetulan memang ada dan bukan sesuatu yang perlu disesali. Buktinya saya menikmatinya dengan cara seperti apapun tong.

    Yah.. masih adalah sedikit sisa-sisa pelajaran yang nempel mah. Dikit dikit mah bisa, dan si Entong gue pikir juga masih mudeng lah soal hukum, setidaknya tahu bikin salah kena hukum atau tidak.. iya ga tong?

    Reply
  17. Waktu itu mah ga mikirin apa-apa Tong. Gue nikmati saja menjadi mahasiswa UI.. wakakaka.. jaket kuning gitu loh biar jaketnya sendiri cuma dipake dua kali selama masa kuliah (saat penerimaan mahasiswa baru, wajib pake) dan satu kali pas harus ketemu sama Kolega dari Unpad.. Selebihnya boro-boro dah.. hahahahah

    Beenr banget Tong. Hidup itu urusan kita. Kalau memang sudah tidak nyaman bekerja disana, ya kenapa tidak. Resiko ada, tapi pan urusan kita tong..egp sama pandangan orang lain.

    Emang elu dulu nyasar ke Bogor ngapain neh.. wkwkwkw kok bisa pengen masuk SMAN 1.

    Gue pikir si entong nih orang pinter, cuma bengal dan suka berontak.. mirip juga dah ama gue, cuma gue agak bloonan dikit. 😛

    Si Kribo mah jangan ngikut gaya gue.. dia mah sadar itu dan udah punya gaya sendiri. Ada sih keliatan ciri-ciri gue di dirinya, seperti keras kepala dan tukang ngeyel. Untungnya, ya ga bengal. Ga lah, gue ga mau ngatur gaya dan hidupnya. Sejak awal gua dah bilang, pilih jalan lu sendiri Bo! Ga usah ikut gaya dan kehidupan gua…

    Soal gambar.. namanya orang bengal Tong. Ngapain juga masang foto UI.. Mending majang foto yang kayak gini kan.. minimal elu jadi komentar… Keren kan? Bini gue mah tau da gue udah tunjukin ni foto.. wkwkwkwk…

    Bukan jande.. ade suami dan buntut dua Tong.. wkwkwkw

    Reply
  18. Kesimpulannya setiap pendidikan dari dasar hingga perguruan tinggi akan selalu ada drama unik dan menarik yang setiap orang pastinya punya perbedaan tersendiri….Dan mungkin bisa jadi sedikit bekal contoh dimasa mendatang pada regenerasi pengganti kita mungkin yee Kong.

    Penyebab gw pengen masuk SMA 1 Bogor. Sederhana saja biar bebas dari polusi kota Jakarta, Selain itu bila kesekolah yang letaknya di Kota Bogor tak perlu desak-desak dikereta….Hal hasil gw bisa Jadi ANKER ( Anak Kereta ) Yang tenang dan damai.😊😊 Ditambah dari Depok Ke Bogor tidak terlalu jauh bagi gw.😊😊

    Ternyata untuk kesana perlu nilai yang cukup besar kala itu, Dan baru sadar ternyata nilai yang gw punya jauh dari harapan.😊😊

    Reply
  19. Saya tidak eprnah merasakan serunya persiapan dan ujian masuk PTN. Saya masuk kuliah karena nilai rapot yang sebenarnya tak istimewa.

    Tapi apapun alasan kita untuk tidak percaya diri, tak akan terjadi kalau perkenan Tuhan memutuskan sebaliknya. Waktu itu saya malah tidak lolos di PTN lokal kota asal saya, tapi malah tembus di PTN mahapatih di Jogja.

    Reply
  20. Kerennnn.. bisa masuk lewat jalur raport. Saya mah boro-boro…

    Wisss.. sempet mampir disana ya mas.. top bgt tuh…

    Betul sekali mas, tanpa adanya uluran tangan Tuhan, jalan hidup kita tidak akan seperti sekarang.

    Reply
  21. Setiap orang pasti punya "drama" versi masing-masing Tong. Saya yakin itu.

    Cuma, kadang mereka menyimpannya sendiri. Saya memutuskan untuk membaginya di blog ini karena saya pikir banyak hal yang menarik untuk diceritakan.

    Untung saya jadi blogger

    Reply
  22. Ya Allah pak……

    Memang semesta milik Allah ini bisa saja ya menuntun jalan hidup seseorang sedemikian rupa.

    Sebelumnya saya ucapkan terimakasih atas komentar di blog saya. Membuat saya kembali semangat menulis. Pun dengan tawa bapak karena pernyataan saya kurang bisa berbahasa Arab meski lulusan jurusan Sastra Arab.

    Eeeh bapak lulusan bahasa Jepang juga mengalami hal serupa.

    Satu sisi, saya ada kisah cinta menyedihkan dengan bahasa Jepang 🙁

    Saat SMA saya cinat mati dengan hal yang berkaitan dengan Jepang, termasuk bahasa (tapi tidak dengan entertainment nya). Saya sering ikut kompetisi bhs Jepang dan banyak menang juga. Bahkan digadang-gadang guru bhs Jepang untuk jadi 'penerus' beliau, dgn ambil jurusan bhs Jepang saat kuliah.

    Lah nyatanya malah masuk sastra Arab. Panjang cerita awal mulanya. Yang jelas saat kuliah, saya masih sering ikutan bunkasai di beberapa univ. Sepanjang hari menikmati dengan hati teriris, karena merasa harusnya saya berkecimpung dengan katakana hiragana daripada sastrawan Arab kuno dan segala nahwu sharf nya, huhu.

    Anyway, insyaaAllaah tidak ada yang sia-sia. Semuanya sdh diatur apik oleh Allaah. Bersyukur!

    Omong-omong, salam kenal juga dari saya ya pak. Ini kunjungan pertama saya, dan tulisannya enak sekali untuk dinikmati.

    Saya buka profil bapak, konsisten menulis. Semoga saya bisa tertular semangatnya hehehe.

    Omong-omong lagi, saya juga tinggal di Bogor, pak. Salam sesama Bogor hehehe.

    Reply
  23. Waahh… Blogger Bogor juga.. horee… makin banyak teman euy…

    Semangat atuh Dik. Hayuk kita sama-sama sharing tentang apapun ke semuanya. Cerita adik itu menarik dan mendalam sebenarnya.

    Patah hati sama bahasa Jepangnya udahan dong.. hahahaha percayalah, ada yang lebih baik sebagai gantinya.

    Reply
  24. Siaap… mungkin sementara ini belum bisa karena sedang dalam rencana dipindahkan hostingnya tidak di Blogger lagi. Tapi, kalau sudah jadi, akan dipasang widgetnya. Templatenya kurang enak juga sih soalnya, makanya mau diperbaiki dulu

    Reply
    • Baca ini kok saya jadi pengen ngetawain diri sendiri ya Mas 😂

      Kalo diingat ingat lagi, dulu saya pernah kuliah jurusan sastra inggris, tapi karena terkendala sesuatu akhirnya pindah jurusan, dan di jurusan yang baru sama persis kayak Mas Anton, kalo ada yang ngajakin saya ngomong inggris saya memilih menjauh 😂 pura pura gak denger lalu memilih kabur 🤣

      Saya dulu memilih jurusan itu juga karena banting setir karena dulu belum ada jurusan design grafis disini, jadi kuliah pun setengah hati, lebih konsen ke kerjaan 😂😁

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply