Salah Tapi Tidak Merasa Bersalah

1,241.

Hari ini, jubir pemerintah untuk penanganan Covid-19 memberikan berita, yang lagi-lagi menambah kekhawatiran banyak orang. Ia memberitahukan kepada rakyat +62 bahwa ada “pemecahan rekor” harian jumlah tambahan orang yang positif terinfeksi virus berbahaya ini.

Mengkhawatirkan.

Tidaklah, saya tidak mau menunjukkan jari ke arah pemerintah. Memang, tidak bisa disangkal, disana ada peran berbagai kebijakan para orang pintar yang memegang jabatan di pemerintahan +62 yang mendorong terjadinya situasi seperti. Tidak bisa dipungkiri kalau melihat mereka seperti mengambil resiko demi perekonomian.

Tapi…

Kejadian kecil sore ini saat pulang kerja di Commuter Line memberitahukan sesuatu yang sudah saya sadari, yaitu pelaku lain yang menyebabkan sang wabah seperti tidak mau usai di negeri ini.

Peristiwanya terjadi tidak lama setelah saya naik si ulat besi dari stasiun Gondangdia. Saat itu semua terlihat biasa saja dan normal. Penumpang yang naik sepertinya sudah paham aturan physical distancing atau jaga jarak yang harus dilakukan.

Penumpang yang duduk sudah mengambil tempat yang seharusnya. Bagian yang diberi tanda “X” dibiarkan kosong untuk memberi jarak antar penumpang. Yang berdiri sudah sesuai dimana jarak tetap terjaga dan tidak ada yang berhadapan.

Tidak lama berselang, pada stasiun berikutnya, stasiun Cikini, naik beberapa penumpang. Dua orang diantaranya, entah kenapa langsung beresemangat dan menuju “ruang kosong” bertanda X. Tanpa ba bi bu, salah seorang diantaranya, seorang pria beruban seumuran dengan saya, langsung menduduki kursi kosong itu.

Otomatis penumpang yang sudah duduk langsung mengarahkan pandangan heran bin sinis kepada pria beruban (mirip saya) yang “nekat” menduduki tanda dilarang duduk. Terlihat sekali ketidaksukaan mereka terhadap si pria itu.

Saya pun demikian.

Tanpa sadar, saya langsung menegur si bapak tadi. Saya bilang, “Pak, jangan duduk disitu. Dilarang duduk di bagian bertanda X tersebut!”. Lanjut saya, “Silakan bapak ke kursi prioritas saja dan minta diberikan tempat duduk!”

Si bapak beruban berdiri sambil menggerutu, “Kayak di mesjid saja!”. Sambil bersungut dia berjalan ke arah kursi prioritas yang saya tunjukkan. Dia ragu dan akhirnya tidak jadi menuju kursi prioritas, yang diperuntukkan untuk lansia, ibu hamil, ibu membawa balita, dan penyandang cacat. Beberapa pria yang sebenarnya tidak masuk kategori itu sudah menduduki kursi tersebut.

Ia kembali berjalan ke arah temannya, dan lagi-lagi sambil bersungut mengulangi kata-kata yang diucapkannya tadi, “Kayak di mesjid saja!”. Rupanya dia masih kesal ditegur oleh saya.

Sampai akhirnya dia berdiri di dekat temannya, begitu dekat tanpa jarak. Kemudian, mereka berbincang sesuatu. Mungkin saja membicarakan saya yang sudah berani menegurnya. Padahal, sejak 8 Juni 2020 yang lalu, pengelola Commuter Line atau KRL Jabodetabek sudah melarang penumpang untuk berbicara atau menelpon karena bisa menyebabkan virus menyebar dalam dropplet atau butiran air liur yang keluar.

Entah sampai kapan ia menggerutu kepada temannya, sampai akhirnya saya tahu ia turun di stasiun BojongGede.

Cuma, peristiwa kecil tadi memperlihatkan bahwa semakin banyaknya jumlah penderita Covid-19 bukanlah semata karena kesalahan pemerintah. Sebagian besar dari hal itu juga merupakan hasil dari kebiasaan banyak rakyat +62, Indonesia yang meski salah tapi tidak merasa salah.

Sang bapak tidak merasa bersalah. Ia merasa terzholimi dengan teguran saya. Padahal, aturannya sangat jelas sekali. Tanda yang diberikan juga jelas terlihat. Siapapun tidak diperkenankan untuk menduduki bagian kursi yang diberi tanda X tadi. 

Kalau ada yang menduduki, ya dia salah.

Tapi, dari sikap dan gerutuannya, sang bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Bukan tidak mungkin ia sebenarnya merutuki saya. 

Sikap seperti inilah yang membuat wabah sulit usai di Indonesia. 

Tiongkok bisa meredam penyebaran karena rakyatnya bisa patuh terhadap berbagai aturan yang dikeluarkan pemerintahnya. Selandia Baru, hari ini menyatakan 0 kasus positif Corona.

Sementara, Indonesia, mengumumkan rekor penambahan tertinggi selama pandemi terjadi.

Tidak heran kalau hal itu terjadi dalam suatu negara dimana rakyatnya tidak disiplin mematuhi aturan yang ada. Karakter dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan diri sendiri dan mau seenak udelnya lah yang ikut berkontribusi terhadap semua yang terjadi. 

Kebiasaan masyarakat Indonesia dimana yang salah justru menjadi lebih galak daripada yang menegakkan aturan lah yang membuat penyebaran virus terus terjadi.

Peristiwa kecil di Commuter Line hari ini hanya menunjukkan sesuatu yang sangat mendasar betapa masyarakat negeri +62 ini memang sangat tertinggal. Bukan dari segi teknologi, tetapi dari segi mentalitas.

Sesuatu yang sebenarnya merupakan inti untuk meredam sang Covid-19.

Bogor, 10 Juni 2020, setelah menyemprot diri, mandi dan keramas, dan tentunya makan.

8 thoughts on “Salah Tapi Tidak Merasa Bersalah”

  1. Setuju Mas.

    Di komunitas olahraga juga demikian, sudah banyak anjuran untuk berlari atau bersepeda nafsi nafsi dulu, tetapi sepertinya pada kebelet kongkow dan olahraga berjamaah. Jadilah dua weekend ini orang orang bersepeda berpleton pleton dan berlari bersama-sama seolah olah pelonggaran yang dilakukan sekarang tidak berbanding terbalik dengan jumlah kasus yang makin naik.

    Reply
  2. Hi kak, salam kenal! Terima kasih udah mampir ke blog aku sebelumnya πŸ™

    Rasanya miris banget baca tulisan ini. Lebih miris lagi, bahkan banyak anak muda yang nggak sadar akan bahaya virus corona ini. Nggak tahu mereka nggak sadar atau bodo amat karena ngerasa sehat-sehat aja.

    Di salah satu tenda tempat makan yang aku lihat, boro-boro pyshical distancing, 1 meja aja yang duduk bisa 5-6 orang, 1 tenda kecil isinya bisa 6-7 meja dan kalau malam selalu penuh dengan anak muda nongkrong tanpa masker. Miris sekali lihatnya minim kesadaran seperti ini, rasanya ingin ditegur satu per satu tapi nggak mungkin juga. Jadi, cuma bisa kesel di dalam hati aja.

    Reply
  3. Wah bapaknya dikasih tau kok begitu responnya πŸ™ˆ jadi ingat pernah lihat video cukup viral di mana seorang ibu di kereta diberi tau oleh petugas untuk memindahkan barangnya dari kursi sebelah yang ibu tersebut duduki agar orang lain bisa duduk. Tapi ibu tersebut marah-marah dan justru menghardik wanita yang duduk di depannya dan menyuruh wanita itu saja yang berdiri πŸ˜…

    Nggak lama kemudian, ibu semakin beringat sampai ditampar wanita yang duduk di depan ibu tersebut. Padahal wanitanya nggak salah apa-apa πŸ™ˆ besar kemungkinan ibu tersebut begitu ekstrimnya karena merasa malu telah ditegur oleh petugas di depan orang banyak πŸ€¦β€β™€οΈ

    Saya juga pernah punya pengalaman menegur pengendara motor yang naik trotoar tapi setelah saya tegur, saya hampir mau ditabrak dan dia marah-marah ke saya. Sumpah traumatis abis dan kesal rasanya πŸ™ˆ hahaha semenjak itu saya jadi pikir lima kali sampai sepuluh kali dulu untuk bicara dan menegur seseorang. So, saya salut karena mas Anton berani speak up di depan bapaknya 🀩 mantap mas!

    Reply
  4. Video yang viral itu ya Eno. Saya juga sempat menonton dan jadi pingin berada disana saat kejadian. Pingin jitakin si ibu, wakakakakak…

    Mungkin sih, cuma kalau begitu cara pelampiasan rasa malunya, ya berarti ada masalah besar dengan jiwanya. Iya nggak.

    Waduh kebayang deh. Apalagi di jalan raya. Pemotor itu merasa jalanan miliknya dan merasa paling benar. Biar salah, ya tetap benar.

    Hem, saya memutuskan untuk terus begitu Eno. Ini bukan yang pertama kali dan rasanya tidak akan jadi yang terakhir. Masyarakat pengguna kereta tidak banyak berbeda jauh meski kesadarannya, saya rasa sudah membaik dibandingkan yang lain, kedisipilinan sudah tumbuh, tapi masih butuh banyak perbaikan.

    Tidak perlu memaksakan untuk speak up Eno kalau memang takut. Takutnya nanti malah berbahaya bagi Eno.

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply