Saya Tidak Punya Rekening Bank

Jalan Sudirman, Bogor, Maret 2017

“Bener nih. Jangan bercanda!”

“Beneran. Nggak main-main. Saya memang tidak punya rekening bank”

Bukan sekali dua kali percakapan singkat seperti itu harus saya alami, paling tidak selama periode 11 tahun terakhir. Yang bertanya bervariasi dan dari berbagai kalangan, mulai dari teman, bagian pembayaran gaji, sampai tetangga.

Biasanya pula, percakapan itu diakhiri dengan cetusan “Ohh..” (panjang) sambil diringi tatapan masih tidak percaya dan bingung.

Sangat bisa dimaklumi keheranan yang muncul mendengar hal seperti itu. Di zaman seperti sekarang ini, terutama di kota, lebih sulit menemukan orang yang tidak punya rekening bank dibandingkan yang memiliki. Bahkan, anak-anak saja sudah terbiasa memegang kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri), pertanda paling tidak satu rekening bank ada atas nama mereka.

Tidak punya rekening bank adalah sebuah keanehan. Kerap juga diasosiasikan sebagai orang yang “terlalu miskin”, yang tidak punya uang dan pekerjaan (karena di masa sekarang gaji biasanya ditransfer).

Terus terang, saya sudah tidak heran lagi dengan semua keheranan itu. Sudah terbiasa dengan semua tatapan curiga, heran, atau kasihan.

Tetapi, itulah fakta dan kenyataannya.

Saya memang tidak mempunyai rekening di bank manapun, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.

Bukan karena saya tidak percaya kepada sistem perbankan di Indonesia. Sebelum 11 tahun yang lalupun, saya memiliki beberapa rekening di Bank BCA dan Bank Permata. Mau tidak mau karena saat itu pembayaran gaji harus disetorkan ke rekening atas nama saya sendiri, jadi setiap karyawan pasti punya satu no rekening di bank yang telah ditentukan.

Barulah kemudian, ketika saya pindah kerja di sebuah perusahaan trading di Jakarta, dimana saya masih bekerja sampai saat ini, saya tidak menutup semua rekening bank atas nama saya.

Tindakan itu dilakukan karena di perusahaan itu, pembayaran gaji bisa dikirimkan ke rekening atas nama orang lain. Jadi, saya memakai rekening istri saya saja dan menutup rekening-rekening atas nama saya.

Tidak banyak gunanya punya banyak rekening, sementara gaji yang saya dapat untuk menghidupi keluarga ya segitu-segitu saja. Prinsipnya lebih baik satu rekening isinya banyak daripada banyak rekening isinya sedikit (memang idealnya nomor rekening banyak dan semua banyak isinya).

Satu hal yang menyebabkan hadirnya tindakan itu adalah prinsip dasar dari rumah tangga kami, saya dan yayang tercinta, bahwa pengelolaan uang dilakukan bersama-sama. Tidak ada istilahnya “uangmu uangku, uangku adalah uangku” atau “uang laki” dan “uang perempuan”.

Uang yang ada akan dikelola bersama.

O ya, istri sejak melahirkan anak sudah menjadi ibu rumah tangga dan tidak mendapatkan penghasilan selain yang didapat oleh saya.

Bukan karena pandangan agama yang membuat tindakan ini hadir. Kalau dalam ajaran agama yang saya anut, istri harus menerima seberapapun penghasilan yang diberikan suami untuk dikelola. Dalam hal ini, sebagai laki-laki saya diuntungkan, dimana saya bisa memberi berapapun dan istri harus mencukup-cukupkannya.

Sayangnya, dan sekaligus memanfaatkan pandangan itu, saya, sebagai kepala keluarga, membuat kebijakan sendiri, yaitu :

“Saya ambil jatah ongkos, makan siang, cadangan untuk jajan dan bersosialisasi. Sisanya terserah kamu saja deh mau dipakai apa”

Bukan apa-apa, selain saya orang yang tidak mau pusing bin ribet, saya punya seseorang yang sangat saya percaya (dan sayangi tentunya), istri saya sendiri. Bisa dikatakan, dia adalah menteri keuangan dan perdana menteri dalam kerajaan kecil saya.

Dia yang akan mengatur pengeluaran uang untuk membayar uang sekolah, makan setiap hari, bayar listrik, dan segala hal lainnya. Dan, bagi saya tidak perlu ada laporan apapun. Dia orang kepercayaan saya.

Lagipula, saya berpandangan bahwa memang untuk itulah saya rela menjadi anggota BP7 (Berangkat Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan). Tujuannya cuma satu mencari uang untuk istri dan anak.

Jadi, uang yang dihasilkan adalah miliknya juga.

Dan, dia berhak mengelola penghasilan yang bisa didapatkan, baik dari gaji atau penghasilan tambahan, seperti dari ngeblog, seperti yang sekarang sudah rutin didapat.

Jika memang ia merasa membutuhkan baju, kosmetik, dan kebutuhannya lainnya, ia bisa langsung saja membelinya. Tidak jarang ia harus mentraktir temannya sebagai salah satu bentuk sosialisasi dan ia bebas melakukannya.

Barulah ketika ada “sesuatu” yang dirasanya perlu pertimbangan saya, seperti untuk membayar cicilan rumah, atau mobil, atau study tour, ia akan bertanya kepada saya. Mayoritas jawaban saya adalah “Terserah kamu. Baiknya menurut kamu gimana?”

Tidak jarang iapun ingin memberikan jajan kepada adik atau saudaranya, dan saya cuma bilang, “Monggo Neng”

Saya sudah memberikannya wewenang penuh untuk mengatur keuangan di rumah. Meskipun demikian, ia tetap sering berdiskusi dan berkonsultasi saat mengambil langkah atau keputusan. Ia juga tidak berkeberatan, jika pada akhirnya saya yang mengambil keputusan.

Keuangan keluarga kami ditangani dengan “kerjasama” dari kami berdua.

Saya Tidak Punya Rekening Bank
Kebun Raya Bogor, 2017


Loh, bukannya kata pak Ustadz, gaji laki-laki adalah milik ibunya? Itu ada dalil dalam Al-Qur’an dan hadits-nya.

Disanalah juga, saya merasa bersyukur dan beruntung karena mendiang ibu adalah orang yang bijaksana. Ia berkata kepada saya, :”Bahagiakan istrimu ya Ton! Jangan kamu selingkuh dari dia”

Perkataannya itulah yang membuat saya yakin bahwa apa yang dilakukan sebagai benar. Ibu ingin anaknya bahagia bersama wanita pilihannya dan tidak ingin memberatkan beban anak dengan memakai dalil-dalil serta ceramah orang lain yang tidak mengerti kondisi.

Ibu tidak pernah meminta.

Bahkan, tidak jarang ia menanyakan apakah saya punya uang atau tidak. Ia sangat memperhatikan keluarga kecil anaknya.

Di sisi lain, saya merasa sebagai manusia paling beruntung di dunia. Wanita pilihan saya ternyata juga seorang yang bijaksana dan pengertian juga. Ia sering bertanya, “Mas, apa sudah kirim buat ibu?”

Hasilnya, keiklasan dua wanita tercinta itulah yang membuat hal yang terlihat berat menjadi sepele.

Tidak heran mendiang ibu sangat sayang kepada menantunya. Keduanya lebih mirip ibu dan anak. Ibu selalu mengatakan kepada semua orang yang dikenalnya bahwa “istri” dari anak laki-lakinya adalah anaknya, bukan menantunya.

Sebegitu dekat hubungan keduanya dan si yayang juga yang ikut menemani ibu saat sakit hingga berpulang.

Sebuah kondisi yang sangat ideal dalam bentuk hubungan ibu dan menantu. Banyak keluarga mengatakan sebagai sebuah hubungan yang rumit. Alhamdulillah, bagi kami hubungan itu, semua itu ternyata mulus. Tentu saja pasti ada riaknya, tetapi intinya tidak berubah sama sekali.

Itulah mengapa sampai hari ini, saya tetap memilih tidak membuka rekening lagi. Tidak perlu ada pemisahan antara “uangmu” dan “uangku”. Uang itu adalah uang kami bersama dan bisa dipergunakan demi kesejahteraan bersama.

Terserah deh orang lain atau pak Ustadz mau ngomong apa (eh pak ustadz kan orang lain juga yah). Kami bahagia dengan cara kami dan tidak ada yang tersakiti karena keiklasan dari masing-masing pihak. Tidak ada keberatan.

Lalu, mengapa saya harus sekedar mengikuti pandangan orang lain yang mungkin justru bisa menyebabkan salah satu dari kedua wanita yang saya sayangi itu terluka?

Kecuali nanti ada kebijakan baru lagi dari perusahaan tempat saya bekerja, atau hal-hal lain. Saya sepertinya merasa lebih nyaman tidak punya rekening bank. Tidak repot.

Maklum, saya orang yang malas direpotin dalam hal ini.