Si Hitam

(Odong-odong = mobil bekas angkot di Bogor yang sudah tua dan sebenarnya sudah tidak layak pakai, tetapi masih dipakai mengangkut penumpang di luar jalur resmi yang tidak ada trayekny. Biasanya memakai Daihatsi Hi Jet 55 atau 1000

Foto di atas bukan si Hitam karena kami tidak memiliki fotonya. Foto di atas adalah si Verna atau si Biru yang menemani kami sampai 10 tahun sebelum menjalankan tugas lain menemani keluarga adik ipar paling bungsu)

Selepas mendapatkan beberapa kali wawancara via telpon oleh Bank Mandiri, kam bernafas lega. Mereka memberikan persetujuan terhadap KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang kami ajukan untuk rumah seluas 96 Meter persegi dengan dua kamar di Bukit Cimanggu Vila, Kota Bogor. (Lihat tulisan : [Tidak Niat] Beli Rumah)

Lega.

Bahagia.

Kami akan punya rumah, meskipun harus mencicil selama 10 tahun. Biarpun kepala juga terasa penuh dengan hitung-hitungan mengingat cash flow bakalan ketat sekali, Yayang dan saya tetap merasa sebagai pasangan paling bahagia di dunia.

Kami akan punya rumah.

Gelar “kontraktor” akan segera ditanggalkan.

Sambil menunggu rumah selesai dibangun, yang pada akhirnya terlambat diserahkan oleh pihak developer, saya mulai berpikir.

Jarak dari cluster Taman Bunga dimana rumah kami berada lumayan jauh dari ujung gerbang perumahan. Saat itu, karena belum memiliki kendaraan apapun, bahkan tidak juga sepeda, saya tidak tahu persis jaraknya.

Yang pasti, JAUH. Kalau jalan kaki bakalan capek sekali dan pastinya makan waktu.

Pemikiran saat itu adalah kami butuh kendaraan.

Bukan untuk saya, karena kereta tetap akan menjadi andalan, tetapi untuk pergi, terutama ke rumah Eyangnya si Kribo atau ke rumah Nenek-nya (mertua).

Teringat perjalanan ketika berburu rumah, dimana si Kribo dan ibunya bersimbah keringat karena harus berjalan kaki membuat saya memutuskan untuk mencari kendaraan. Tidak mau lagi terulang.

Apalagi, kami memperkirakan harus sering berkunjung ke Eyangnya. Si Kribo terbiasa diasuh oleh om dan tante, serta kakak-kakak angkat saya disana. Jadi, dugaan kami, untuk beberapa lama akan ada masa peralihan, dimana si Kribo akan ingin ke rumah Eyangnya terus untuk bermain.

Dan, hal itu membutuhkan kendaraan agar bisa cepat dan juga hemat ongkos.

Kami butuh kendaraan.

Si Hitam

Sepeda motor.

Itu yang disarankan banyak orang dan tentunya keuangan kami yang amat sangat terbatas.

Hasil menabung beberapa lama tetap tidak menyisakan banyak.

Hanya saja, Bogor dikenal sebagai Kota Hujan bukanlah tanpa alasan. Frekuensi hujannya tinggi, bahkan di musim kemarau sekalipun, dimana daerah lain hujan masih malu-malu, di kota ini hujan bisa turun tiba-tiba.

Siang atau malam, air bisa turun dari langit mendadak dan tidak disangka.

Situasi yang tidak saya sukai kalau membeli sepeda motor.

Dua orang kesayangan saya bisa basah kuyup dan masuk angin. Belum lagi, si Kribo baru berusia 2 tahun lebih saat itu.

Saya tidak ingin membuatnya tiba-tiba berada dalam terpaan angin dan air saat pulang pergi ke rumah Eyangnya.

Jadi, saya ingin punya mobil. Bekas tidak mengapa asalkan tetap ada atapnya yang melindung dua orang kesayangan saya itu.

Butut bukan sebuah masalah, selama masih bisa menggelinding.

Begitulah pemikiran saya

Setidaknya dengan uang yang ada, saya bisa membeli sebuah mobil bekas dan melindungi keluarga saya.

Pengetahuan yang minim dalam hal permobilan (maklum belum pernah punya mobil seumur hidup) menyebabkan saya memasrahkan pencarian mobil kepada adik ipar, yang lebih gaul daripada saya.

Beberapa kali hasil pencarian memang menemukan ternyata ada mobil bekas murah. Tetapi, adik ipar dan temannya menyarankan untuk tidak mengambil karena bekas tabrakan dan alasan lainnya.

Pada di suatu malam pada akhir Desember 2004 , telpon dari adiknya si Yayang masuk.

Mas, ada nih mobil harganya “sekian” juta. Kondisi lumayanlah untuk mobil seharga itu“, begitu kata sang adik yang kami panggil sampai sekarang Ndu, meski namanya sebenarnya bagus, Wahyu.

Serius Ndu, harga mobil segitu?“, cetus saya 1/2 percaya bahwa ada mobil semurah itu. Padahal kalau di lihat di iklan koran, semua harganya lebih tinggi.

Benar Mas. Kebetulan lagi main ke AA Show Room penjual mobil bekas. Terus ada saudaranya datang, pakai mobil tua, dan pas iseng ditanya dijual atau tidak mobilnya, dia bilang dijual. Harganya segitu“, jelas si Ndu.

Tapi, apa adanya ya mas kondisinya kata yang punya“, sambungnya lagi.

Iya lah Ndu. Pasti itu sih. Terus gimana?“, tanya saya.

Mas, bisa kesini sekarang?“, tanya si Ndu.

Waktu menunjukkan pukul 19.00 lebih (dan saya tidak ingat tepatnya), tapi semangat naik mendengar kabar itu.

Bisa!”, jawab saya tanpa pikir panjang.

Langsung pamit kepada si Yayang, mengantungi amplop berisi uang dan pergi ke lokasi. Naik angkot tentunya.

Sesampainya disana sudah lumayan malam karena perjalanan yang lumayan jauh, tetapi saya masih ditunggu oleh pemilik mobil dan si Ndu, beserta kawannya.

Ngobrol sebentar dan kemudian kawannya sang adik ipar yang paham mobil menjelaskan kondisi mobil. Kelemahan dan kekurangannya.

Dan, saya memutuskan untuk menyelesaikan transaksi saat itu.

Saya membeli mobil tersebut.

Sebuah Honda Accord keluaran tahun 1982 , 1599 cc, dan berwarna hitam. Panjangnya melebihi mobil di masa itu yang lebih ringkas. Tanpa power steering. Transmisi manual.

Itulah si Hitam.

Si Jago Mogok

Semua senang.

Bapak dan ibu juga senang. Karena itulah mobil pertama yang keluarga kami pernah miliki. Sebelumnya keluarga kami tidak pernah memiliki mobil.

Si Kribo pun senang. Si Yayang tersenyum.

Beberapa kali kami berputar dengan si Hitam untuk mencobanya.

Bahkan, setelah itu saya membawa Yayang dan Kribo ke Bandung karena kebetulan ada tugas.

Selama perjalanan tidak ada masalah sama sekali. Si Hitam handal sekali untuk diajak berpacu dan AC-nya bagus sekali. Dingin.

Si Kribo gembira dan bahagia bisa “berkelana” dengan bapak ibunya ke tempat yang dia belum pernah pergi. Sepanjang perjalanan dia bernyanyi, tertawa, dan tidur.

Si Hitam meski sudah tua cukup nyaman dan kabinnya luas.

Kami senang.

Perjalanan ke Bandung memuaskan sekali.

Pernah juga kami bawa berwisata ke Taman Safari dan si Hitam melaju dengan gesit sepanjang perjalanan.

Hanya saja, mobil tua tetaplah mobil tua. Tetap ada masalah di dalam tubuh tuanya.

Hal itu akhirnya terasa ketika dibawa berjalan-jalan di dalam kota. Kondisi jalan yang macet ternyata tidak diimbangi oleh suplai listrik yang cukup ke aki. Alhasil, aki sering kekurangan daya dan si Hitam beberapa kali mulai mogok terutama saat berada dalam kemacetan dimana mobil tidak bisa dipacu.

Kami tidak mempermasalahkan karena sejak awal tidak berharap banyak dari mobil semurah itu.

Beberapa perbaikan, termasuk mengganti aki, karburator menyelesaikan masalah sementara. Lagipula, karena saat itu kami belum pindah ke rumah baru, si Hitam tidak banyak digunakan.

Tidak banyak kerepotan yang ditimbulkannya.

Ia lebih banyak nongkrong di lapangan karena tidak mungkin diparkir di rumah kontrakan yang berada di dalam gang.

Tapi, saya mulai menyadari kelemahannya. Bahkan, mulai mencoba mengutak atik sendiri mesinnya.

Saat itu, kami belum menyebutnya si Jago Mogok.

Terendam

Setelah rumah kami diserah terimakan, sebulan sebelum kami pindah, saya mengajak si Yayang dan si Kribo untuk mencoba menginap di rumah kami di akhir pekan.

Masih kosong sebenarnya dan belum ada perabotan sama sekali.

Hanya iseng saja karena ingin merasakan tempat yang akan kami tinggali.

Senang dan semangat.

Kami memasukkan kasur, televisi kecil, perlengkapan si Kribo yang saat itu berusia tiga tahun, serta berbagai perlengkapan lain untuk menginap semalam disana.

Tidak lupa kami membelikan martabak untuk petugas satpam yang menjaga cluster Taman Bunga.

Saat berangkat, hujan turun deras. Maklum di Bogor.

Dan, saya tenang saja karena toh si Yayang dan si Kribo terlindungi oleh si Hitam. Mereka tidak akan kehujanan dan kebasahan.

Hanya, rupanya celetukan sang kakak saat saya menyampaikan info bahwa kami sudah membeli rumah di Bukit Cimanggu Vila, bahwa kawasan BCV sering banjir, saya lupakan.

Saya cueks saja dan malam itu, kami begitu senang dan tidak menyadari kalau info tersebut benar adanya.

Perumahan tersebut dibelah oleh kali buatan kecil yang mengalir ke arah Utara dan rupanya kalau hujan besar airnya sering meluap. Hal itu disebabkan penyempitan aliran air di luar kompleks (bayangkan dari 6 meter di dalam perumahan menjadi hanya 2 meter selepas tembok perumahan).

Hujan deras malam itu membuat air meluap dan menggenangi jalanan menuju rumah kami.

Dan, kami tidak tahu itu.

Kami merasa aman di dalam si Hitam.

Tidak ada masalah berarti saat menuju kesana. Si Hitam tidak rewel. Si Kribo sedang senang dan tidak berhenti ngoceh sepanjang jalan. Ibunya ikut senang dan bernyanyi bersama putra kami.

Hanya beberapa genangan air saja dan bukan masalah bagi si Hitam. Walaupun saya menyadari bahwa listrik padam sepanjang jalan yang kami lalui.

Sampai di tikungan terakhir, sekitar 100 meter dari gerbang cluster, seorang memberikan tanda dan berteriak, “Jangan lewat situ, banjir!”. Tanda yang saya tidak pahami karena saya belum tahu karakter wilayah disana.

Saya hanya berpikir, “Ah, paling genangan air biasa

Pedal gas Si Hitam saya tetap tekan.

Beberapa meter memang terasa ban masuk genangan air. Hanya setelah beberapa saat, saya menyadari lajunya menjadi sangat lambat karena tertahan air.

“Mas, air masuk ke dalam!”, teriak si Yayang.

Saya melihat ke belakang dan memang air memasuki si Hitam. Lama kelamaan air meninggi di bagian dalam mobil.

Panik.

Saya memasukkan ke gigi satu dan terus menekan pedal gas. Si Hitam tetap melaju dan genangan air semakin tinggi. Beberapa barang yang kami bawa jatuh ke dalam genangan air.

Situasi bertambah tegang. Meski AC tetap menyala, saya merasa keringat keluar membasahi tangan dan baju.

Terlebih beberapa saat kemudian, mesin si Hitam mati. Berhenti.

Tegang.

Kami terendam.

Dan, si Hitam tidak mau jalan. (Mesinnya terendam air).

Saya mencoba memutar kunci kontak dan menekan gas dengan kaki yang terendam air. Tidak menyala.

Si Yayang sudah panik dan si Kribo cilik, mungkin tahu orangtuanya tegang, sudah berhenti ngoceh sejak tadi.

Dengan tangan gemetar dan hati deg-degan, saya coba lagi memutar kunci kontak setelah mematikan AC dan menekan pedal gas sedalam mungkin. Tentunya, sambil berdoa.

Mesin si Hitam menggerung.

Ia hidup kembali.

Tidak banyak bicara, saya terus menekan gas dan si Hitam merangkak menerobos banjir.

Untungnya, beberapa meter kemudian, air tidak sedalam tadi. Rupanya yang kami lewati jalan berbentuk cekungan. Si Hitam menggerung tetapi kami sampai di jalan yang tidak tergenang.

Lega. Masih tegang juga.

Kami langsung menuju rumah kami dan memarkir si Hitam. Gelap gulita karena listrik belum menyala.

Saya mengeluarkan semua barang. Alhamdulillah, semua barang termasuk TV tidak basah.

Sayangnya, malam itu, pak satpam tidak bisa merasakan kelezatan Martabak Air Mancur. Rupanya barang yang terjatuh adalah dua kotak martabak yang sedianya untuk para satpam disana.

Setelah membeli lilin di warung terdekat, kami tetap tinggal di rumah baru kami dan sebelum tengah malam, listrik menyala kembali.

Kami menginap di rumah baru kami setelah hampir terendam banjir.

Bersyukur punya si Hitam yang tahan banting dan bertransmisi manual. Tidak tahu apa yang terjadi kalau memakai mobil matic.

Beberapa bulan kemudian

Setelah kejadian hampir terendam itu, si Hitam masih bersama kami. Rupanya banjir tidak membuatnya rusak.

Banyak peristiwa menyenangkan dan menyebalkan bersama dengan mobil yang disebut si Kribo cilik mobil odong-odong. (Tidak salah juga sih karena catnya sudah terkelupas disana sini dan dempulannya sudah banyak).

Beberapa di antaranya adalah mengantar si adik ipar (yang menemukannya) menikah. Kendaraan tua ini bolak balik mulai dari lamaran sampai dengan acara pernikahan hadir terus dan memberikan jasa.

Bahkan, om dan tante si Yayang menggunakannya untuk hadir ke acara wisuda putrinya.

Belum ditambah beberapa barang tidak lazim yang diangkut mobil sedan, seperti batu nisan untuk almarhum neneknya si Yayang. Karena tidak ada kendaraan lain, maka benda itu ditaruh di bagasi belakang. Beratnya hampir membuat ban mobil bergesekan dengan body mobil.

Kemudian, kambing tiga ekor pada saat Idul Adha dan karena tidak ada kendaraan, maka si Hitamlah yang mengangkutnya. Di bagasi. Untungnya selama perjalanan, para kambing tersebut diam saja, rupanya merasa nyaman naik sedan dan bukan pick up.

Sayangnya, semakin sering dipergunakan, kelemahan si Hitam semakin terlihat. Kendaraan ini tidak cocok untuk perjalanan dalam kota karena sistem kelistrikannya sudah benr-benar parah.

Hasilnya, berulangkali mogok saat dibawa ke mal atau lokasi lainnya, bahkan tidak segan ngadat di tengah jalan saat macet.

Si Kribo menjulukinya si Raja Mogok, dan kerap menyanyikan lagu berjudul itu kalau sedang berada di dalam si Hitam.

Belum ditambah kemudian ditemukan bahwa bagian depannya berlubang karena karat yang sudah teramat parah. Alhasil, ketika hujan, airnya masuk ke dalam kabin dan merendam kaki kami.

Capek juga mengurus mobil setua itu.

Pada saat anak pertama dari si adik ipar (si Ndu) akan lahir, ia meminjam si Hitam untuk persiapan ke Rumah Sakit. Yang dengan senang hati saya persilakan.

Setelah kelahiran selesai, ternyata tetangga disana berminat kepada si Hitam dan hendak membelinya.

Karena saya sendiri merasa semakin berat merawatnya, meski harga penawarannya murah sekali, saya iyakan dan setujui.

Si Hitam pun berpindah tangan.

Si Kribo sempat sedih karena mobil odong-odongnya tidak ada, tetapi saya janjikan kepadanya bahwa nanti saya akan belikan yang lebih baik.

Dan, saya tepati dengan membeli Suzuki Esteem 1600 cc tahun 1993, sepuluh tahun lebih muda, lebih kecil, dan lebih baik (setidaknya menurut saya).

Kesedihan si Kribo hilang dan kembali senang.

Tapi, ia sampai sekarang tetap mengingat kebersamaan kami bersama si Hitam yang tidak terlalu lama.

Mobil yang jauh dari bagus, butut malah, tetapi disana banyak kenangan kegembiraan kami dan kebahagiaan kami lahir.

Juga, kebahagiaan saya karena bisa menghindarkan dua orang kesayangan dari kehujanan.

Sesuatu yang akan terus saya usahakan dalam kehidupan saya.

Bogor, 24 September 2020

14 thoughts on “Si Hitam”

  1. Selamat jalan si hitam, semoga engakau bahagia dengan majikan barunya walaupun sering mogok.😂

    Mobil kalo sudah tua memang suka mogok, beda dengan pemilik blog ini yang makin tua makin banyak tulisannya. Becanda pak, pak Anton masih muda kok.😂

    Beruntung si hitam biarpun sempat mogok masih mau jalan lagi ya pak. Saya pernah naik motor waktu banjir, saya gas terus dan Alhamdulillah tidak mogok di tengah banjir. Tapi setelah itu kok motornya kayaknya bermasalah, mungkin karena dipaksa nerjang banjir. Akhirnya aku jual dari pada rewel terus.

    Suzuki esteem itu sepertinya akan jadi cerita selanjutnya nih pak.😄

    Reply
    • Aaamiin..semoga si Hitam bahagia dengan pemilik barunya yah.. orang Jawa katanya..

      Wakakakaka… bener banget mas Agus. Pinggang saya juga kadang terasa banget kalau kelamaan nulis. Pertanda sudah tua mirip si Hitam

      Iya mas.. biasanya bagian mesinnya yang bermasalah karena terendam air. Beli lagi aja mas, Kasian Bang Pepet nggak ada kendaraan buat cari nafkah tuh jadinya.. atau buat anter mbak Kun

      Kayaknya nggak sih, soalnya yang berkesan banget memang si Hitam, pertama kali gitu loh

      Reply
  2. Saya membayangkan si hitam masuk ke air sampai tergenang seram juga, mas 😂 untung si hitam kuat tenaganya. Kalau itu mobil matic sudah wasalam hahahahaha. Jadi ingat kejadian mobil saya berhenti mendadak di tengah lampu merah. KZL dan maluuuuu mana banyak mobil lain klakson di belakang 🙈

    Untung setelah berkali-kali starter sampai basah baju karena keringat nervous, si mobil bisa jalan. Usut punya usut ternyata akinya soak. Haddeeehh. Semenjak itu jadi trauma. Kalau mau ke mana-mana harus makesure aki aman 😂 hehehehe.

    By the way, dulu mobil ayah saya yang pertama kali dibeli itu mobil tua, mas. Dan meski itu mobil tua, di mata saya (anaknya), ayah saya dan mobilnya tetap keren hahaha. Mungkin itu pula yang dirasakan mas Kribo bersama mas dan si Hitam 😍 bahkan sampai sekarang, mobil pertama ayah yang paling saya ingat kenangannya. Pernah diajak ke Bandung bahkan mudik ke rumah simbah 😆 hehehehe.

    Nggak heran kalau mas Kribo sangat menyukai dan mengenang si Hitam. Sebab banyak hal pertama kali mas Kribo rasakan dan alami bersama si Hitam 😍

    Reply
    • Iya Eno.. saya waktu dengan si Hitam mah lumayan sering ngalamin diklaksonin orang. Akhirnya sampe sekarang, kita kalau melihat ada mobil yang mogok begitu, selalu bilan “kasihan yah” dan pernah saya berhentikan mobil, terus turun dan bantu dulu.

      Karena kita pernah ngerasain dalam kondisi seperti itu.

      O ya ? Punya kenangan juga dong dengan kendaraan si Ayah? Iya Eno, kita sampe sekarang kadang tetap saja ingat masa itu. Si Kribo pun gitu… kita ketawa kalau inget…

      Reply
  3. Siapa yang iris bawang di sini?! Aku jadi keingat ayahku pas baca tulisan ini 😭 perjuangan seorang ayah yang nggak pernah tersingkap di publik, tapi begitu diceritakan, rasanya ingin menangis haru 😭

    Aku ikutan tegang saat adegan Si Hitam menerjang banjir 😂
    Ngeri banget, apalagi air udah sampai masuk ke dalam mobil. Tegang + panik pasti 😂 dan too bad, malah martabak manisnya kecemplung air banjir hiahaha sayang sekali.

    Banyak banget kenangan yang terukir dari mobil tua nan kuat ini ya, Kak. Sampai bawa kambing coba?! Apa itu aromanya nggak ninggal di mobil? Wkwk.

    Hangat sekali baca cerita seperti ini. Kak Anton memang ahlinya membuat cerita yang heartwarming gini 🤩 suka sekali! Bahagia selalu ya, Kak!

    Reply
    • Betul Li.. kebanyakan bapak itu menyimpan banyak cerita. Beda dengan ibu yang biasanya lebih lepas dalam bercerita, kalau bapak, kita lebih suka menyimpan dan diam. Yang penting tugas kami selesai dan orang-orang kesayangan kita terjaga dan terpenuhi.

      Sayangi bapakmu yah Lia.. soalnya pasti banyak cerita rahasia yang dia simpan.

      Hahaha.. iyah pas terendam itu memang aku juga tegang banget dah… soalnya bawa si Yayang dan si Kribo. Panik..Untungnya cuma martabak yang jatuh, kalau tidak mah pusing dah…

      Soal kambing, ya pasti bau bagasinya wakakakak.. cuma mau dikata apa.. hahahaha sampe sekarang saya, adik ipar dan si Yayang ketawa ngakak kalau inget si kambing..

      Hihi.. lagi belajar neh.. ga mau kalah sama Lia dan Eno ..

      Reply
  4. Mas inih ga pa pa, alamat perumahan dipajang di blog, 😲😲😲😲
    (((Ya mana tau kaaan aku tiba tiba muncul terus bilang surpraiiise !! :Xd )

    Ahahahaa, aku pas kuliah di bogor bulak balik lewat plang perumahannya mas

    ^___^

    Ya Alloh…
    Martabak air mancurku …eh punya pak satpam ding
    Lalu mas kribo cilik ikutan terdiam… bersamaan dengan perlahannya air mulai menggenangi lantai kabin tengah….(kebanyang panik bin tegangnya mas anton dan mba hes). Kalau aku yang ngalami mungkin aku sudah berasa kayak ada di detik detik kapal titanic mau tenggelam hiks…mungkin aku juga kayak mas kribo bakal anteng tapi bingung hihi

    Tapi so sweet aneth…kenangan si hitam odong odongnya si kribo cilik banyak ya mas, pernah ngangkut kambing (yang akhirnya keenakan daripada diangkut pake truck, bahkan gotong batu nisan mbahnya mas kribo)

    Ga kebayang memang kalau uda jadi kesayangan dan akhirnya suatu saat harus direlakan pergi pasti ada aja bagian nyesnya dalam hati

    Tapi selamaaat datang buat esteemnya yang setia menemani hingga mas kribo uda jadi bujang ganteng huehehe

    Reply
    • Nggap papa Mbul.. Saya terbuka kok kalau urusan yang ini. Hahahahaha.. Siapa tahu jadi terkenal beneran.

      Pasti lah Mbul kamu akan sering lewat dan nggak asing. Lha ya wong di jalur perjalananmu.

      Iyah Mbul, memang jangankan si Yayang dan si Kribo, saya sendiri kerasa panik banget waktu itu. Cuma karena saya tahu dua orang kesayangan itu tergantung saya, maka saya berusaha tetap tenang. Padahal, panikk bangeet.. hahaha

      Iyah, mobil odong-odong itu memang meninggalkan kesan banyak banget bagi saya dan keluarga. Makanya susah dilupakan, sampai sekarang pun masih begitu.

      Dikau juga pasti punya banyak kenangan perjuangan bersama keluarga kan Mbul dan ada simbolnya, nah si item itu simbol bagi kami..

      Reply
  5. Kita kok senasip sih mas antoon.. Sudah harus cukup bahagia dengan mobil tua butut dengan semboyan : sing penting eyup 😀
    Ini karena cashflow kami yang miris setelah beli lahan dan membangun rumah.
    Baleno merah kami mungkin tidak keren, tapi disitu banyak kenangannya. Karena belum jadi si raja mogok, dan suami bisa utak utik sendiri, kita masih bertahan dengan itu.
    Anak anak pun juga Alhamdulillah tidak minder meski temannya banyak yg mobilnya bagus. Sejak beli kita tanamkan, sudah kita hepi, disyukuri, bapak ibuk baru mampu beli ini karena keuangan habis banyak untuk rumah.
    Jadi mereka itu sok asik aja kalo pas dijalan pakai mobil lawas itu. Kadang heboh nyanyi campur sari bareng bareng walopun ac nya tidak anyep lagi. Eh, jadi pengen ikutan nulis si mobil lawas di blog hehe
    Tapi mobil lawas kami belum pernah sih kena genangan, apalagi kebanjiran haha.. Sampe ikut deg degan lho tadi saya pas mobile kejebak banjir itu

    Reply
    • Sama dong mbak.. Seru banget tuh sekeluarga nyanyi Campur sari hahaha.. kayaknya kalau lagi gitu mah ga peduli ac kurang dingin kayaknya.

      Betul mbak kita bisa mengajarkan mereka bersyukur dengan apa yang ada..Alhamdulillah ya mbak bisa kemana-mana sekeluarga dan nggak keujanan..

      Seru tuh pastinya

      Reply
  6. Setiap kali membaca cerita Pak Anton yang selalu naik kereta untuk pergi kerja, terbersit tanya di hati saya. Pergi ke stasiunnya naik apa?

    Memiliki mobil saat ini tidak selalu berarti kemewahan. Bagi sebagian orang adalah kebutuhan. Termasuk cerita si Hitam yang sangat dibutuhkan oleh keluarga Bapak.

    Suami saya bekerja di bengkel dealer mobil. Teman saya pun berkata “enak dong kalo mau mobil”.

    “Buat apa?” jawab saya. Rupanya bagi saya mobil belum menjadi kebutuhan. Lagi pula uangnya juga memang belum ada.

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply