Sikap : Butuh Vs Ingin

Berita : Seseorang terinfeksi Covid-19 saat menggunakan transportasi umum saat berangkat kerja.

Respon : Kasihan, semoga ia cepat sembuh seperti sedia kala dan keluarganya diberikan ketabahan

Berita : Seseorang terinfeksi Covid-19 setelah ia pulang dari berlibur ke Puncak untuk menghilangkan kebosanan akibat kebanyakan WFH (Work From Home)

Respon : Syukurin luh. Bikin susah orang saja. Diem di rumah aja kenapa sih! Bego banget sih lu!

Berita : Seorang ibu terindikasi positif Covid-19 setelah ia sempat pergi ke warung untuk membeli sayur dan bahan makanan.

Respon : Aduh kasihan banget ya. Semoga ibu cepat sembuh dan kalau ada yang bisa saya bantu, katakan saja ya bu.

Berita : Seorang ibu terindikasi positif Covid-19 setelah diketahui ia bersama kawan-kawannya nongkrong di sebuah cafe karena sudah bosan di rumah saja

Respon : Bego lu! Cari penyakit. Kepalanya nggak dipake yah? Bebel dasar!

Yah, saya memang memiliki standar ganda saat menerima informasi terkait pasien Corona. Kebetulan, belakangan ini informasi seperti ini banyak diterima dari lingkungan terdekat, tetangga, teman, sanak saudara.

Reaksi yang saya keluarkan berbeda untuk setiap berita. Percakapan imajinatif di atas adalah dua standar yang saya pergunakan untuk merespon berita-berita yang masuk.

Kok bisa? Bukankah mereka sama-sama menderita?

Yah, memang penderitaan akibat Covid-19 itu sudah diketahui bersama sangat menyakitkan.

Tetapi, sulit untuk mengasihani mereka yang terpapar akibat ulah sendiri. Saya tidak punya simpati dan empati untuk kebodohan berbahaya yang mereka lakukan.

Tidak ada orang yang mati karena tidak berwisata. Tidak ada orang yang meninggal karena tidak kongkow dan nongkrong di kafe. Tanpa melakukan itu pun, orang bisa tetap hidup. Bepergian untuk melakukan hal ini adalah sebuah kebodohan dalam situasi pandemi seperti sekarang dan hampir sama dengan menyeberangi jalan tol.

Yang melakukannya, saya kategorikan sebagai tidak perlu dikasihani. Mereka mencari penyakit sendiri.

Berbeda halnya dengan yang pergi ke kantor karena ia melakukannya untuk keluarganya. Tanpa bekerja ia tidak bisa mendapatkan gaji dan kalau tidak ada gaji, keluarganya bisa tidak makan. Mereka bisa mati.

Mereka yang terinfeksi dengan cara ini perlu dikasihani dan dibantu.

Tidak bedanya kalau seorang ibu terkena virus saat berbelanja ke warung. Kalau ia tidak membeli, maka tidak ada yang bisa dimasak untuk keluarganya.

Ia pun harus dikasihani.

Tidak semua kasus postif Covid-19 perlu direspon sama. Ada yang perlu diberi simpati dan ada yang perlu dimaki. Yang berdasarkan kata “butuh”, sudah sewajarnya dikasihani, tetapi tidak untuk yang sekedar memuaskan keinginan saja. Kebodohan mereka tidak perlu dikasihani.

Itulah alasan mengapa semalam saya menolak ajakan tetangga untuk pergi ngopi ke kafe. Saya tidak mau menjadi bodoh dan tidak ingin memaki kebodohan diri sendiri.

Rasanya pasti akan sangat menyakitkan ketika tahu kita melakukan kebodohan karena saya tahu pasti tidak ngopi di kafe tidak akan membuat saya sakit dan mati. Apalagi ada banyak sachetan Luwak White Coffee dan Torabika Capuccino di rumah.

Itu sudah lebih dari cukup.

4 thoughts on “Sikap : Butuh Vs Ingin”

  1. Wakakakakakakakak… pasukan kopi sachet muncuullll hahahahaha.
    Biarin deh dikatain, kopi itu diseduh, bukan disobek, wakakakak.

    Etapi, kalau masalah ini saya punya satu sikap yang dipelihara, yaitu diaaaammm aja dan doain dalam hati 😀

    Mau yang minggu lalu story IGnya penuh dengan keseruan liburan, lalu minggu ini, story IGnya penuh dengan sudutnya tempat karantina, biarin ajaaahh hahaha.

    Saya lebih memilih sikap yang penting saya enggak, saya harus jaga diri.
    Biarpun di dalam hati mungkin juga sama kesalnya.

    Terus yang liburan itu pada bilang, yaelaaahh… cuman liburan dijadiin alasan, giliran pilkada tetep dipaksain nggak ada yang permasalahin, wakakakaka

    Reply
    • Hhaha.. silakan sobek sendiri kopinya.. wakakakak

      Baek Rey mah.. Dasarnya saya juga ga akan ngusilin orang lain soal pilihan hidupnya, tetapi saya juga ga akan ragu untuk mengatakan yang seperti di atas kalau situasi memungkinkan. Bahkan pada adik ipar sekalipun karena dia masih suka keluyuran, saya mengambil sikap tegas.. Makanya kalau ada yang nyampein berita soal itu ke saya, biaanya saya nanya, kenanya karena apa.. hahaha kalau kenanya karena hal yang ga perlu, respon saya bisa nyelekit banget dah.. wakakaka

      Satu kesalahan tambah satu kesalahan bukan satu kebenaran tapi dua kesalahan. Orang bego yang ngomong kayak gitu Rey.. mudah-mudahan ajah ga ada yang ngomong di depan saya.. hahaha

      Reply
  2. Hadir… intermezzo dlu…
    Pak Anton sebenrnya saya tuh bingung buat nemuin blognya pak anton. Heheh soalnya yg di profil google adanya blog yg isinya nggak ada. Hehe

    Saya setuju banget… saya pun demikian.. kadang masih mengumpat kalau dengar orang yg terinfeksi covid karena bebal.. *ehh nggk nyadar kalau saya sndiri juga sering bebal karena masih sering pergi ke pantai sndirian kalau lagi suwung… tapi pantainya sepi kok pak.. hehe *pembelaan..

    Di tempat saya kerja terutama yg dipabrik juga lagi banyak yg terinfeksi.. skrang ada 17 orang dan terus bertambah… kebanyakan juga divisi saya sama divisi tetangga yg bersebelahan sama saya.. jadi saya agak parno karena saya masih tinggal sama orang tua..

    Tapi yg saya keselin kalau saya boleh curhat.. Manajemen kayanya nggk mau ambil pusing dan cenderung acuh walaupun kami kekurangan orang.. malah jam kerja masih aja ditambah alias ‘lembur’ dengan embel2 kesannya wajib yg tiap bilang “nggak bisa” pasti langsung dideru dengan pertanyaan “kenapa”….. aduhh maaf pak saya malah curhat dimari.. *kebiasaan*

    Reply
    • Kadang saya pakai akun Google yang memang isinya blog zyang tidak ada isinya Bayu.. hahahaha…Kadang lupa logout dari yang itu.

      Kalau memang pantainya kosong malah sebenarnya bagus, bisa berjemur tanpa harus berdekatan dengan orang lain. Yang nyebelin itu kalau yang umpel-umpelan dan ga mau jaga jarak.

      Boleh-boleh curhat kok dengan senang hati mendengarnya. Banyak juga teman saya di pabrik yang begitu kok mas Bayu. Bahkan ada yang nyeletuk perusahaan juga ga peduli kalau mereka mati karena Covid. Jadi saya bisa paham sekali apa yang mas Bayu katakan. Itu fakta yang memang ada di lapangan..

      Yang saya harap, mas Bayu jaga kesehatan yah. Jangan terlalu capek dan kehujanan. Stay safe mas Bayu….

      Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply