Apa kaitannya antara nonton di bioskop dengan pacar dan baskom? Tidak ada memang. Hampir pasti orang tidak akan membawa baskom, yang seharusnya ada di dapur, ke bioskop. Malu-maluin saja. Apalagi kalau dengan pacar, bisa mokal banget dah.
Dilan mungkin akan pilih pulang kalau tahu Milea membawa-bawa baskom saat diajak ngedate.
Tapi, beda dengan saya dan si Yayang. Baskom pernah menemani kami saat berkencan dan menonton film di sebuah bioskop.
Sebuah cerita yang hampir selalu kami ulang sampai sekarang, meski sudah lewat lebih dari 20 tahun yang lalu.
♥♥♥
Tahun 1998
Tahun ini, merupakan memasuki tahun ke-dua hubungan kami. Sudah sering saya main ke rumah gadis yang saat itu bekerja sebagai sekretaris dari istri alm. Sjahrir, sang pengamat ekonomi jebolan UI.
Saya pun sudah mengenal keluarganya. Bukan hanya orangtuanya saja, tetapi juga ke-6 orang adiknya. Maklum, kan PDKT juga harus dilakukan pada keluarga supaya jalannya mulus. Repot kalau ada yang menentang. Apalagi si Yayang adalah anak sulung.
Adik terkecilnya berselisih 15 tahun darinya. Jarak usia yang lumayan jauh dan membuat hubungannya mirip sekali dengan hubungan ibu-anak. Bukan sekedar kakak adik.
Pada satu hari di tahun ini, setelah menerima gaji, seperti biasa saya mengajak si Yayang untuk ngedate. Kencan.
Di Bogor pada tahun tersebut, fasilitas hiburan belum lah seperti sekarang di mana kafe dan berbagai tempat nongkrong bertebaran. Yang ada hanyalah beberapa tempat jajan dan bioskop. Tidak mewah.
Lewat telpon, akhirnya kami sepakat kencan kali itu adalah “nonton” di bioskop. Tidak ada kesepakatan soal film apa yang akan ditonton . Internet juga belum seperti sekarang bisa diakses kapanpun, jadi sulit untuk mendapatkan review.
Nonton apa aja deh. Yang penting bagi kami adalah pergi dan bertemu. Paling setelah itu makan bareng. Yang utama supaya kangen hilang. Itu saja.
Karena rumah kami berjarak lumayan jauh dan saya masih kere (meski sekarang tetap kere tapi tidak terlalu kere), daripada membuang waktu, janjian ditetapkan bertemu di bioskop saja. Saya belum punya kendaraan untuk menjemputnya.
Bioskop yang dipilih pun bukan yang paling bagus, tetapi yang mudah dijangkau oleh kami berdua. Ada sih bioskop yang lebih bagus, cuma jauh jaraknya dari rumah kami.
Repot bagi kami berdua karena ketiadaan kendaraan pribadi. Harus naik turun angkot 2 kali.
Nama bioskopnya Dewi Sartika “21” karena berada di Dewi Sartika Plaza, salah satu mal pertama di Kota Bogor.
Lokasinya berada di samping Pasar Anyar. Iya betul, pasar. Malah banyak pedagang kaki lima di depan mal-nya
Itulah tempat kami akan “berkencan”, membawa baskom.
—
Setelah janjian ditetapkan, saya pun “berdandan”. Tidak habis-habisan sih karena istilah berdandan bagi saya adalah sekedar memakai baju yang lebih rapi dikit dari yang sehari-hari. Menyisir rambut masuk di dalamnya meski tidak pakai minyak rambut.
Dan, sebagai pembeda, pakai sepatu. Padahal biasanya kemana-mana pakai sandal jepit.
Tas ransel sih tetap di pundak. Perlengkapan standar yang pergi kemanapun, sampai sekarang, tetap saya bawa.
Kemudian, setelah pamit “main” ke bapak dan ibu, saya menyetop angkot dekat rumah. Cukup sekali naik kalau ke Pasar Anyar dan membayar 2000 perak.
Sesampainya di 21, saya seperti biasa menunggu. Tidak mainan hape karena belum punya saat itu. Mondar mandir melihat brosur-brosur film untuk menentukan film apa yang mau ditonton nantinya dan kebetulan ada flm yang menarik, selain film kartun animasi untuk anak-anak.
Hampir 1/2 jam saya menunggu. Kepala sudah celingak celinguk melihat pintu masuk 21, menanti kedatangan si pujaan hati.
Tidak sabar bisa berduaan dan bercanda lagi dengan si Kriwil itu.
♥♥♥
Tidak lama kemudian, saat mata melihat ke arah dinding kaca di 21 yang gelap, saya melihat satu sosok (muka tidak terlihat) wanita menggandeng tangan seorang anak kecil di ujung elevator. Di tangannya ada 2 kantung belanjaan.
Bukan hal yang aneh karena lokasinya dekat pasar, banyak ibu-ibu akan mampir di Pujasera (Pusat Jajanan Serba Ada) di lantai yang sama. Saya pun kemudian kembali mengalihkan perhatian ke loket yang satu persatu mulai melayani penjualan tiket.
Beberapa saat kemudian, suara si Yayang yang sudah saya hapal terdengar.
“Mas. Sudah lama nunggu yah?”, tanya si Gadis Keras Kepala itu ceria.
Saya menengok. Bengong.
Gadis pujaan hati saya itu menenteng dua kantung plastik besar berisi belanjaan dan satu baskom berukuran sedang berwarna pink. Di tangan lainnya, ia menggandeng seorang anak laki-laki berbadan gendut.
Adik terkecilnya yang masih duduk di bangku SD.
“Belum kok. Baru sebentar“, sahut saya agak berbohong. (Yah, 1/2 jam itu tidak bisa dipandang lama, iya kan, walau sebenarnya saya merasa sudah lama sekali menunggu). Mata saya masih lekat melihat belanjaannya, termasuk si baskom yang warnanya lumayan mencolok.
“Maaf ya Mas agak telat. Tadi si Mamah bilang mau pergi dan di rumah nggak ada siapa-siapa. Jadilah, si Udith (adik terkecilnya) terpaksa dibawa. Juga Mamah titip buat stok di rumah“, jelasnya panjang lebar.
Saya hanya tersenyum. Agak nyengir karena buyar sudah khayalan romantis nonton berdua bersama pacar. Kepikiran juga, di mana belanjaan dan si baskom itu ditaruh nanti saat menonton.
“Yawda, kita mau nonton apa sekarang?“, tanya saya.
“Bagusnya apa mas?”, tanya si Yayang sambil menengok anak kecil di sampingnya.
“Kita nonton film kartun saja deh“, jawab saya. Tidak mungkin juga menonton film dewasa karena si Udith belum cukup umur.
Setelah mendapat persetujuan, saya kemudian mengantri di loket. Setelah mendapat tiket, saya langsung mengajak adik si Yayang ke konter penjual Pop Corn dan membeli beberapa kantung beserta minuman untuk teman menonton nanti.
Kemudian, kami pun beranjak ke dalam ruang pemutaran filmnya. Diringi beberapa pandangan calon penonton lain karena si baskom memang susah tidak menarik perhatian.
Ternyata benar sekali bahwa dua kantung belanjaan dan si baskom sulit diatur.
Jarak antar kursi tidak lega. Padahal, ada tiga benda yang harus diatur dan tidak mungkin dipangku selama menonton. Ribet ternyata.
Kalau kantung belanjaan terinjak, isinya bisa rusak. Tapi, kalau dibuat aman, kaki saya tidak punya tempat. Belum ditambah dengan baskom yang tidak fleksibel.
Setelah utak atik tempat beberapa saat, akhirnya belanjaan itu ditaruh di bawah kursi dan saya menonton dengan kaki bersila di atas kursi. Yang penting si Yayang dan adiknya nyaman. Maklum lagi caper, bahaya kalau ada komen negatif ke ortunya.
Si Yayang merasa tidak enak dan beberapa kali minta maaf. Namun, saya dengan pedenya bilang, “No Problem kok“. Meski lama kelamaan agak pegel juga.
Hampir dua jam akhirnya saya dan si Yayang menonton film, yang sebenarnya tidak kami mengerti juga jalan ceritanya. Tapi, beberapa kali juga kami berdua ketawa dan nyengir melihat situasi kami berdua saat itu.
Kami tidak seperti orang yang sedang berpacaran. Tidak ada pegangan tangan karena si kecil berada di tengah. Tidak ada bisik-bisik seperti sepasang sejoli.
Sampai akhirnya, saya nyeletuk, “Kayaknya, ini latihan buat kita. Sepertinya beginilah nasib kita nanti kalau sudah punya anak nanti”. Ucapan yang disambut senyum malu-malu si Yayang.
Yang membuat situasi tambah menggelikan, ternyata si Udith juga tidak menikmati filmnya. Ia sempat tertidur selama penayangan film.
Lengkap sudah “kencan” kali itu.
♥♥♥
Selepas film usai, saya mengantarnya pulang. Masih naik angkot.
Sepanjang perjalanan, saya melihat adik terkecil si Yayang, tertidur di paha kakaknya selama perjalanan pulang. Si Yayang kadang mengelus kepalanya sambil ketawa membahas pengalaman nonton tadi.
Dan, kami berdua masih nyengir sesampai di rumahnya. Meskipun si Yayang meminta maaf sekali lagi karena merasa menyusakan.
Tetapi, saya bilang tetap tidak apa-apa.
Saya memang tidak merasa terbebani. Sejak mengenal ia dan keluarganya, saya tahu bahwa sebagai anak sulung, ia bisa dikata memiliki peran “pengganti” ibu bagi adik-adiknya juga.
Bukan sebuah masalah.
Lagi pula, bagi saya pun berpacaran bukan selalu harus berduaan terus. Selalu ada saat di mana saya harus berusaha berbaur dengan keluarganya, melebur, dan berusaha diterima sebagai bagian darinya.
Momen menonton bersama adik kecil dan baskom ini merupakan salah satu bagian dari hal seperti ini.
Toh juga, sebagai pengganti, 2 minggu kemudian, si Yayang mengajak saya menonton. Kali ini hanya berdua saja. Tanpa si kecil dan tanpa si baskom.
♥♥♥
Sekarang (2021)
Dua puluh tahun lebih kemudian, Dewi Sartika 21 sudah tidak ada lagi. Si adik kecil yang dulu masih SD sekarang sudah berputra dua.
Saya lah yang mewakii “melamar” calon istrinya untuk dia tahun 2014. Kedua mertua saya sudah tiada tahun tersebut. Saya adalah pengganti orangtuanya menemani untuk meminang gadis pujaannya.
Si adik terkecil itu mempercayakan tugas penting itu kepada saya. Ia meminta saya menggantikan orangtuanya melakukan sesuatu yang sangat penting bagi dirinya. Saya dipandangnya sebagai “kakak” dan bukan lagi sekedar “kakak ipar”.
Ia pun rupanya masih teringat tentang “nobar” bersama baskom juga. Ia selalu tergelak kalau kita membahas itu. Ia sering meledek dengan mengatakan ia merasa bangga berhasil mengganggu kencan kakaknya. Ia juga bilang filmnya memang jelek banget saat itu, sama seperti pandangan kami.
Kami pun sampai sekarang masih sering ketawa sendiri kalau mengingat masa itu.
Dan, mungkin, kalau dipikir ulang, landasan hubungan kakak beradik kami yang begitu dekat dibangun salah satunya dengan event nonton bareng baskom 20 tahun yang lalu.
Sesuatu yang memang tidak pernah saya sesali.