Tawaran

Bandung.

Kota Kembang. Paris Van Java.

Nama kota yang kalau disebutkan di depan saya selalu menghadirkan banyak kenangan. Selama 11 tahun lebih saya bekerja pada sebuah perusahaan tekstil yang kantor pemasarannya di Jakarta, sedangkan pabriknya berada di Banjaran, Bandung coret.

Wilayan yang kerap dilanda banjir dan saya sempat mengalami situasi dimana untuk mencapai pabrik, saya harus berputar-putar tak menentu karena wilayah sekitarnya terendam air.

Selama sebelas tahun bekerja, kota ini merupakan kota ketiga yang paling sering saya singgahi, selain Bogor, dan Jakarta. Setiap bulan rata-rata 3 sampai 4 kali saya harus mengunjungi kota ini dengan berbagai alasan.

Banyak kenangan menarik, tetapi ada juga memori “buruk” yang terasa mengenaskan dan menyayat hati.

Yang terakhir inilah yang ingin saya catatkan dalam bentuk tulisan.

♠♠♠

Saya lupa tepatnya tahun berapa, tetapi yang jelas pengalaman ini terjadi antara tahun 1997. Saat itu saya baru bekerja sekitar 1 tahun di perusahaan yang lowongan kerjanya didapat secara tidak sengaja.

Pada saat itu, seperti biasa saya harus pergi mengunjungi pabrik untuk bertemu dengan seorang klien dari Inggris. Ia hendak bernegosiasi untuk melakukan pembelian dalam jumlah besar dan ingin melihat fasilitas produksi di sana.

Mau tidak mau, saya harus berangkat sehari sebelumnya agar tidak perlu terburu-buru keesokan harinya. Saya berangkat menggunakan mobil kantor sepulang kerja dan ditemani supir, yang kebetulan hampir bersamaan dengan saya bergabung dengan perusahaan ini.

Pak Jaya namanya. Orangnya pendek, gemuk, tapi penuh tawadan senang bercanda.

Perjalanan itu adalah tugas luarnya ke Bandung untuk pertama kali, sedangkan saya sudah beberapa kali, meski biasanya saya menggunakan bis atau kereta. Bisa dikata ia tidak begitu tahu Bandung dan sekitarnya.

Saya sendiri, walau hapal jalan ke pabrik, juga masih belum menguasai jalur kota Bandung yang ribet bin rudet. Saya tahu sebagian kecil saja.

Jeleknya lagi, karena terlalu sibuk di kantor, saya lupa minta kantor Bandung untuk memesankan penginapan.

Parah memang.

♠♠♠

Kami tiba di Bandung sekitar pukul 09.00. Belum makan malam, perut keruyukan, tetapi kami sepakat untuk mencari tempat menginap dulu malam itu.

Tidak mudah karena pengetahuan yang masih minim soal Kota Kembang, kami kebingungan sendiri. Kalau saja zaman sudah seperti sekarang dengan aplikasi Traveloka ada di ponsel, pasti saya tidak akan kesulitan.

Masalahnya, saat itu ponsel itu belum sesuatu yang umum. Kalaupun ada, hanya bisa untuk SMS dan menelpon saja. Dan, jeleknya, saya belum punya juga saat itu.

Hasilnya lumayan lama juga kami berputar di wilayah Tegal Lega dan sekitar Jalan Astana Anyar mencoba mencari plang penginapan di sana.

Sampai, kami akhirnya menyerah. Pengetahuan kami benar-benar terbatas. Yang kami tahu dari wilayah itu tidak begitu sulit mencapai pabrik. Selebihnya nol, kosong melompong pengetahuan saya tentang Bandung.

Kami memutuskan untuk menanyakan kepada para tukang becak yang sedang mangkal di satu sudut. Sebenarnya hanya ingin tahu lokasi penginapan yang terdekat dari posisi kami.

Punten Kang, kalau penginapan yang dekat sini dimana ya?“, tanya saya kepada salah satu tukang becak lewat jendela.

Wah, tebih Kang (jauh Kang)”, sahut salah seorang tukang becak.

Tiasa jelaskeun kudu kamana Kang (bisa jelasin saya harus kemana Kang)?”, tanya saya lebih lanjut. Tidak masalah jauh sih, yang penting jelas arahnya.

Kiyeu we Kang (gini aja Kang), saya ikut mobil akang, nanti saya tunjukin penginapannya“, jawab seorang tukang becak yang berumur sekitar 35-an.

Merasa tidak punya pilihan dan waktu sudah semakin larut, perut keroncongan karena belum makan, kami berdua sepakat, itu pilihan yang terbaik. Punya penunjuk jalan orang lokal akan membantu sekali.

Meskipun bukan hal yang baik memasukkan orang asing ke dalam mobil, tetapi karena tidak banyak opsi, mau tidak mau harus dilakukan. Sambil saya ingin mengemplang kepala sendiri karena sampai bisa lupa memesan penginapan.

Toh juga, kami berdua dan dia sendiri. Kalaupun dia berbuat macam-macam, kami masih bisa mengatasi.

Akhirnya, saya menganggukkan kepala untuk menerima tawaran dari si tukang becak. Yang jelas saya tahu, jasanya itu pasti tidak gratis. Pasti harus keluar duit juga.

Mana ada sih yang gratis?

Saya tidak menyangka kalau keputusan itu membawa saya pada sesuatu yang akan terus teringat, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Tempat bekerja saya itu sudah tutup saat ini.

Kadang kalau teringat itu, saya tertawa, tetapi tertawa getir. Agak pahit. Walau, bagi banyak orang mungkin terdengar lucu.

♠♠♠

Sang tukang becak naik ke dalam mobil. Saya tetap berada di sebelah pak Jaya.

Ia mulai memandu pak Jaya untuk menuju penginapan. Jelas dia tahu pasti arah yang ditujunya kemana.

Seperti biasa, dan juga karena merasa sudah ditolong, kami pun mengajak bercakap-capak. Seperti biasa, dari mana dia tinggal, atau sampai jam berapa dia mangkal nunggu penumpang di sana.

Percakapan biasa. Tidak ada yang aneh.

Sampai tiba-tiba, ia membuka sebuah pertanyaan yang kami berdua sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengarnya.

Cep, bade ABG teu (Cep-panggilan orang Sunda pada yang lebih muda, mau ABG nggak)?“, tanya si tukang becak bersungguh-sungguh.

Kami berdua bengong. Pikiran kami sempat terhenti sejenak. Beberapa detik kami terdiam dalam kebengongan kami. Mungkin mulut saya sampai menganga saking kagetnya.

Kami berdua ditawari ABG. Jelas bukan tawaran yang “baik”.

Melihat kami berdua terdiam, si tukang becak, seperti salesman melanjutkan layaknya seorang salesman menjajakan barang dagangannya.

Bersih kok Cep. Bukan mungut dari jalan. Dijamin“, celotehnya lagi berusaha meyakinkan saya.

Cuma 500 ribu saja, tetapi tidak termasuk biaya penginapan. Pulangnya didrop saja di tempat tadi“, sambungnya dengan bersemangat seperti salesman yang melihat peluang menjual dagangannya.

Saya cuma bisa diam seribu bahasa. Keinginan berbasa-basi sudah menguap entah kemana. Tidak ada lagi keinginan untuk melanjutkan pembicaraan dan ingin agar mobil segera tiba.

Lahir sebagai anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga dan punya 1 kakak dan 2 adik yang semuanya perempuan, ada sisi diri saya yang kesal. Apalagi, ibu selalu menanamkan saya agar menghormati dan memperlakukan wanita sebaik mungkin.

Saya dididik untuk menjadi pengawal adik dan kakak saya. Bukan mendagangkannya dan memanfaatkan mereka untuk uang.

Tawaran itu benar-benar terasa mengganggu saya saat itu.

Memang, saya banyak membaca bahwa “perdagangan” wanita seperti itu banyak terjadi dimana-mana, bukan hal yang aneh. Namun, mengalaminya secara langsung ternyata melahirkan sebuah perasaan jengkel yang luar biasa.

Rasanya luar biasa menyebalkan. Kalau saja tidak ingat kami butuh bantuannya dan kami yang mengajak masuk, ingin rasanya menyuruhnya turun.

Saya benar-benar diam dan membiarkan pak Jaya yang meladeni.

Jengkel. Marah.

♠♠♠

Untungnya, kami tidak berapa lama kemudian tiba di penginapan yang dituju. Sebuah losmen di lokasi Bojong Loa, agak terpencil dan di kawasan yang agak gelap.

Setelah memberi imbalan atas bantuannya, si tukang becak pergi.

Kami berdua memesan kamar.

Penginapan yang “lumayan” sebenarnya. Tidak seperti hotel yang biasa saya pergunakan saat dinas, tetapi saya tidak begitu peduli karena sudah terlalu lelah dan ingin segera mencari makan.

Bagi kami berdua, yang penting ada tempat untuk tidur malam itu. Lebih baik daripada tidur dalam mobil.

Setelah keluar sebentar mencari makan di warung tenda terdekat, kami berdua pun masuk ke kamar masing-masing. Ingin istirahat. Ingin segera tidur.

Kenyataannya, malam itu saya susah tidur.

Tawaran yang kami terima di mobil mempengaruhi saya sekali.

Saya menduga, saat itu saya tidur dimana tempat dimana para ABG dan para pembeli melakukan jual beli kalau negosiasi tadi terjadi. Karena itulah si tukang becak mengarahkan saya ke sini.

Saya hanya geleng-geleng kepala saja dan meski sudah memaksakan untuk tidur, tetapi mata tetap sulit terpejam.

Saya tidak pernah menyangka bahwa manusia bisa ditawarkan, dan diperjual belikan seperti komoditi kepada manusia lainnya. Tidak pernah menduga bahwa akan menemukan pengalaman seperti itu.

Butuh waktu lama, sebelum saya kembali tenang dan akhirnya merasa mengantuk. Ketika jarum jam menunjuk pukul 02.00 barulah saya bisa tertidur.

♠♠♠

Sampai perusahaan tempat kami bekerja tutup, Pak Jaya kadang bercanda mengingatkan kejadian itu kalau bertemu dengan saya. Ia tertawa.

Saya juga tertawa, tetapi getir. Meski ada sisi lucu dari pengalaman kami berdua, tetap saja hati saya tidak bisa melihat adanya kelucuan dari manusia diperjualbelikan seperti itu.

Mungkin, karena saya terlalu naif berpikiran kalau semua manusia adalah manusia yang tidak akan memperdagangkan manusia lainnya seperti itu. Tetapi, saya pikir itulah bedanya manusia dengan binatang.

Meskipun demikian, saya dari sana juga belajar, bahwa dunia sepeti itu memang ada. Apa yang ada di berita-berita sangat mungkin benar adanya. Bukan dibuat-buat. Toh saya pernah mengalaminya sendiri.

Pelajaran terakhir yang saya dapatkan dari pengalaman itu adalah, sejak saat itu, saya tidak pernah lupa lagi meminta dipesankan penginapan/hotel kepada kantor Bandung. Juga saya belajar banyak rute dan nama-nama hotel di Bandung, supaya saya tidak pelu lagi meminta bantuan orang lain untuk mencari akomodasi untuk menginap.

Saya tidak mau lagi kejadian ditawari ABG terulang. Sekali sudah cukup.

Bagaimanapun, didikan yang saya terima membentuk moralitas yang jelas menentang hal yang seperti itu. Manusia bukan untuk diperdagangkan seperti itu. Saya juga tidak mau harus membayangkan perasaan orangtua si ABG anaknya “memperjualbelikan” dirinya seperti itu.

Saya tidak mau.

Itulah mengapa kalau nama Bandung diucapkan, salah satu hal yang paling saya ingat, bukanlah kuliner atau tempat wisatanya saja.

Nama itu selalu membawa saya kembali ke masa lalu. Kembali ke masa ketika saya mendapatkan sebuah indecent offer (tawaran yang tidak pantas).

(Bogor 2 Maret 2021, selewat tengah malam dan mata masih belum mengantuk)

2 thoughts on “Tawaran”

  1. Hadeehh ada2 saja kisahmu itu kong..🤣 🤣 🤣

    Yang salah juga dirimu dan sopirmu yang memasukan orang asing dan menyuruhnya menjadi Navigator jalan, Sambil mencarikan penginapan… Biasanya disetiap didaerah jika kita ingin mencari penginapan sudah pasti pemikiran orang yang ada disekitar kita, Mereka akan menganggap kita ini ingin mencari hiburan dan bersenang2..

    Bahkan bukan dibandung saja daerah lain pastinya juga akan seperti itu…Karena biasanya persepsi orang daerah jika ada tamu yang cari penginapan mereka juga ingin cari perempuan..😁😁 Padahal tidak juga yee kong.

    Saya sempat ngalamin didaerah Malang jawa timur…Bingung cari2 penginapan dan alamat teman, Yang ada malah disuguhin Abg..🤣 🤣 Dijalur lintas sumatra sewaktu ingin ke Aceh juga pernah niat ingin menginap karena kelelahan eeh malah ditawarin Abg..🤣 🤣 🤣

    Gw bilang sama tuh calo urusan cewek gw lebih pinter dari luh.🤣 🤣 🤣

    Sejak itu jika saya kesasar atau ingin mencari sesuatu diluar kota atau daerah kalau siang hari saya harus cari dulu pemungkiman warga atau kampung…Yang repot kalau malam hari, Jadi untung-untungan.🤣 🤣

    Reply

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply