Untung Kamu Tidak Senakal Bapakmu, Nak !

Untung Kamu Tidak Senakal Bapakmu, Nak !
Si Kribo Cilik – SMA Negeri 10 Bogor 2017

Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya “lebih” dari mereka. Dalam hal ini, lebih itu berarti lebih pandai, lebih baik, lebih kaya, dan semua hal yang baik baik. Tidak ada orangtua yang berharap anak-anaknya menjadi lebih dalam sisi yang jelek, seperti lebih nakal.

Sangat bisa dimaklum karena kalau lebih nakal, yang repot ya orangtuanya sendiri.

Judul di atas merupakan ungkapan dari “orangtua” yang merupakan bentuk rasa syukur bahwa anaknya ternyata tidak mengikuti jejak kenakalan bapaknya. Sebuah cetusan kelegaan bahwa apa yang mereka lakukan membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Anaknya tidak nakal.

Dalam hidup saya, yang sudah mendekati 50 tahun ini, paling tidak ada 3 orang yang pernah mengatakan itu. Mungkin, dan rasanya ada banyak orangtua yang berkata hal yang sama, tetapi tidak di depan saya.

Ketiga orang itu adalah :


1. Ibu (alm.)

Ucapan seperti itu terlontar berulangkali dalam jumlah yang saya tidak tahu persis berapa kali. Bukan saja ketika saya masih kecil, tetapi juga di saat remaja, dan bahkan ketika sudah dewasa. Pernyataan yang sama sering masih disampaikannya.

Bahkan, di hadapan bapak (alm.) sekalipun, ibu kerap mengatakannya, yang membuat bapak nyengir (tidak marah)

2. Bapak (alm)

Ndilalahnya, ternyata bapak pun beberapa kali mengatakan hal yang sama kepada saya. Pernah di depan ibu, tetapi juga pernah saat berdua. Tidak sesering ibu, tetapi bukan sekali juga dia menyampaikannya.

Dan, kali ini saya yang nyengir.

Kedua orang yang membesarkan saya itu memang sepertinya merasa lega, anak laki-laki satu-satunya itu ternyata tidak mewarisi kenakalan bapaknya.

Berdasarkan cerita mereka sendiri dan adik-adik bapak, ternyata bapak itu badung banget di masa kecil dan remaja.

Berbagai kenakalan dilakukannya, mulai dari berkelahi, nyolong kelapa, bolos, dan masih banyak lagi hal yang dilakukannya. Sempat ia tidak naik kelas karena terlalu banyak bolos, padahal dia orang yang pintar.

Kakek dan nenek sering memukulnya. Ketika remaja juga ternyata begitu, kenekatannya dan juga kenakalannya juga sudah terkenal di kalangan saudara. Bersama dengan adik-adiknya pun ia kerap berkelahi.

Barulah, setelah menikah dan punya keluarga ia berubah jauh. Tidak lagi nakal. Meskipun, saya sendiri masih sering melihat kenekatannya juga di jalan di kala mengendarai sepeda motor.

Oleh karena itulah, keduanya sepertinya sangat bersyukur, bahwa saya tidak mengikuti jalan sang bapak. Saya lebih kalem dan tenang kata ibu.

Memang saya tidak suka berkelahi (meski pernah juga). Hobinya membaca buku dan sering menjadi anak yang baik membantu pekerjaan rumah, mulai dari menyapu sampai membantu masak.

Sejak SMP, SMA, dan Universitas pun, saya masuk ke sekolah negeri di, SMP Negeri IV Bogor, SMA Negeri I Bogor, dan Universitas Indonesia. SMP dan SMA yang disebutkan di atas adalah sekolah favorit dan sering dijuluki sekolahnya orang pinter, meski jujur saja saya nggak pernah merasa demikian. Universitas Indonesia sampai sekarangpun masih menjadi salah satu sekolah favorit di Indonesia.

Saat kuliah pun, nilai-nilai lumayan, tidak masuk Nasakom (Anak-Anak Satu Koma). Indeks Prestasi Kumulatif saat kuliah di Sastra Jepang, Universitas Indonesia, masih di atas 3 lebih.
 
Jadi, I was a good boy.

Kondisi yang rupanya melegakan kedua orangtua saya.

Dan, sekali lagi, pernyataan keduanya yang bernada memuji itu membuat saya nyengir lebar, selebar-lebarnya.

Orang ketiga dan mungkin sepertinya bukan yang terakhir dalam keluarga yang mengeluarkan pernyataan itu adalah……………..

SAYA SENDIRI.

Ucapan itu keluar dari mulut saya sendiri di hadapan sang mantan pacar tersayang, dan juga di hadapan putra semata wayang kami, si kribo cilik yang sudah beranjak remaja.

Bukan sekali juga. Seingat saya sudah beberapa kali.

Mungkin akan banyak yang heran, seorang kutu buku, dianggap pandai, tidak neko-neko (macam-macam), kok masih menyebut dirinya nakal? Apakah berarti si kribo cilik sudah menjadi malaikat karena tidak melakukan kenakalan sama sekali?

Yah, jawabannya terletak pada kata “NYENGIR” yang selalu muncul di wajah saya (meski kadang saya sembunyikan) saat ibu atau bapak berkata “Untung, kamu tidak senakal bapakmu, Ton!”.

Bukan karena saya terlalu senang dipuji. Bukan juga karena saya senang orangtua memandang saya sebagai orang baik.

Bukan.

Justru, kebalikannya, ada terselip rasa malu di hati.

I am not that good. I’m not an angel. (Saya tidak sebaik itu, dan saya bukan malaikat). Ampun pak, bu, maafkan saya.

Ada banyak hal di balik nyengir itu.

Seperti , kabur dari kelas pada mata pelajaran tertentu di saat SMA, sampai nilai raport anjlok dan berada di posisi ke 44 dari 48 siswa saat kelas 1 SMA. Naik di kepala truk antara Bogor – Sumedang saat harus berkemah ke Jatinangor dalam kegiatan Raimuna Pramuka mewakili Kota Bogor. Mencoba merokok di sekolah dasar.

Belum di masa kecil, seperti main di kali meski ibu melarang. Main rolet di pemakaman umum hampir setiap Lebaran. Menakali anak tetangga sampai menangis. Keluar masuk pemakaman umum untuk mencari batang bambu padahal sudah dilarang. Pernah hanya masuk 5 kali dalam satu semester di salah satu mata pelajaran di UI karena dosennya membosankan.

Bahkan setelah kerja pun, di tahun 1998-1999, di saat terjadi demonstrasi dimana-mana untuk menumbangkan Soeharto, saya merupakan salah satu di antara mereka yang turun ke jalan. Padahal, saya sudah bekerja dan pacaran dengan si yayang.

Dan, rasanya masih panjang daftar kenakalan lainnya yang pernah saya lakukan.

Cuma, mungkin saya menyimpannya dengan cukup baik, sehingga kedua orang terhormat itu hanya mengetahui sebagian kecil saja.

Maaf ya pak bu….

Semua itulah yang menyebabkan saya menjadi orang ketiga yang berkata, “Untung, kamu tidak senakal bapakmu, Ya (kribo cilik)

Setelah mengamati perkembangan putra semata wayang kami itu, saya bisa merasakan kelegaan yang sama seperti yang dirasakan oleh kakek neneknya. Dibandingkan saya, setidaknya dari apa yang saya lihat, dia “jauh” dari bapaknya dalam segi kenakalan.

Ia aktif di sekolah dalam berbagai kegiatan dan merupakan salah satu anggota OSIS favorit. Belum lagi hobinya, yaitu fotografi, komputer, dan mengedit film. Semuanya positif.

Bukan berarti tidak pernah nakal, tetapi frekuensi dan cara bersikapnya jauh lebih baik dibandingkan bapaknya. Bukti sederhananya saja, ya saya tidak pernah bahkan mencubitnya sejak masih kecil sampai remaja sekarang.

Cuma, berkaca dari diri sendiri di masa lalu, saya pikir, ada kemungkinan hadir orang ke-empat yang akan melontarkan kalimat yang sama, “Untung kamu tidak senakal bapakmu, nak“. Bukan saat ini, tetapi di masa depan.

Orang itu adalah si Kribo Cilik (tapi sudah tidak cilik lagi).

Belajar dari pengalaman sendiri, pasti ada banyak cerita dan rahasia yang tidak disampaikan si kribo cilik kepada orangtuanya, kami. Ia pastinya menyimpan beberapa cerita dan kenakalan. Sama persis seperti yang saya lakukan di masa lalu.

Sebuah hal yang normal dan wajar. Siapa anak yang mau cerita terus terang kenakalannya dan kemudian mendapatkan hukuman atau dimarahi? Pasti, ada banyak cerita yang tidak sampai ke telinga kami.

Dan, suatu waktu ia juga akan merasakan hal yang sama seperti yang kami rasakan sekarang ketika memandang putra/putrinya di suatu masa nanti.

Ia munkin akan mengelus dada sambil berkata….

“Untung, kamu tidak senakal bapakmu, nak”

Dan , kemudian menuliskannya lewat blog seperti yang saya lakukan sekarang ini.

(Anak bukanlah malaikat, ia tetaplah hanya manusia, seperti bapak ibunya. Jakarta, 15 Juli 2019)

2 thoughts on “Untung Kamu Tidak Senakal Bapakmu, Nak !”

Leave a Reply to Anton Ardyanto Cancel reply