Usang

Setiap tahun, menjelang Ramadhan tiba dan berakhir, selalu saja kepala saya tidak bisa berhenti mengeluarkan protes. Pertanyaannya sama.

Kenapa harus ada Sidang Isbat untuk menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal alias Idul Fitri, alias Lebaran? Kenapa harus melihat hilal untuk menentukan datangnya hari itu?

Kenapa?

O ya, saya paham teorinya dan juga penjelasannya. Melihat bulan juga menjadi patokan banyak kebudayaan di dunia untuk menentukan datangnya suatu periode tertentu. Bukan itu masalahnya.

Melihat hilal untuk menentukan datangnya 1 Ramadhan atau 1 Syawal adalah kebiasaan yang dilahirkan 15 abad yang lalu. Iya, 15 abad alias 1500 tahun yang lalu.

Apakah selama itu tidak ada teknologi pengganti yang sehingga manusia harus terus bergantung pada pandangan visual manusia saja untuk menentukan apakah bulan sudah berada di ufuk atau belum dan menandakan datangnya bulan baru? Pasti tidak. Manusia sudah sampai ke bulan, dan bahkan cuaca saja bisa diprediksi.

Rotasi dan revolusi bulan di planet Jupiter saja bisa dihitung, apalagi revolusi dan rotasi bulan terhadap bumi. Pastinya sudah bisa dikalkulasi dan diperhitungkan.

Lalu mengapa harus menunggu sampai hari ke-29 untuk melihat bulan secara visual dengan mata manusia yang suka salah? Kenapa tidak bisa ditetapkan tanggal 1 Ramadhan jatuh pada tanggal sekian bukan sekian, berarti tanggal 1 Syawal jatuhnya tanggal sekian bulan sekian.

Bisa? Pasti bisalah. Teknologi sudah tersedia. Buktinya kalangan Muhammadiyah bisa menetapkan itu tanpa harus melihat hilal. Kemajuan zaman sudah menyediakan alat yang memungkinkan itu.

Kenapa dipermasalahkan? Ya iyalah. Sudah berapa banyak kerepotan yang disebabkan karena ketidakpastian yang dihadirkan akibat menggunakan sesuatu yang usang seperti ini. Sudah tidak terhitung berapa masakan yang basi karena sudah dimasak untuk besok, tetapi ternyata lebaran datangnya lusa.

Sidang isbat dan menunggu hilal menghadirkan ketidakpastian dan ketidakpastian itu akan melahirkan kebingungan. Persis seperti kebingunan banyak orang yang tertuang dalam ribuan cuitan hari ini. Kebingungan yang sama sudah ada tahun lalu, dan puluhan tahun sebelumnya.

Bisa dipastikan, kebingungan itu akan tetap ada setiap tahunnya kalau sistem usang seperti ini dipelihara dan dilanggengkan di masa datang.

Beruntung bahwa sistem kerja komputer menggunakan sistem kalendar Gregorian. Sebuah sistem yang sederhana, tidak modern, dan sudah tua juga, tetapi sistem ini memberikan KEPASTIAN.

Tidak perlu menunggu sidang dan keputusan “orang penting” berdiskusi dan membahas tanggal berapa besok. Masyarakat di dunia bisa cukup melihat kalendar dan tahu besok tanggal berapa tanpa harus menunggu keputusan para orang penting.

Kalau saja komputer harus menunggu para ulama bersidang, berceloteh, berdebat kadang nggak jelas, baru menetapkan tanggal. Banyak komputer akan crash dan sistem keuangan dunia bisa rusak berat, karena ketidakpastian itu.

Dan, saya heran, ketidakpastian itu seperti dipelihara di negeri +62 ini. Bahkan dengan adanya teknologi canggih di masa sekarang, sistem melihat hilal masih tetap dipergunakan, padahal jelas sudah usang dan bisa digantikan dengan yang lebih baik.

Setiap tahun saya melihat adegan-adegan diskusi tidak penting hanya untuk membahas yang seperti ini. Setiap tahun “orang-orang penting” mendiskusikan pandangannya tanpa peduli ketidakpastian bin kebingungan yang dihadirkan olehnya di kalangan masyarakat luas, tetapi mereka berdalih untuk kepentingan umat.

Itulah kenapa setiap tahun juga saya selalu menggelengkan kepala melihat tradisi pemeliharaan ketidakpastian muncul dalam kehidupan saya.

Bahkan, geleng-geleng kepala itu tetap terjadi meski saya menyadari sistem “ketidakpastian” ini sepertinya memang dipelihara agar beberapa kalangan merasa diperhatikan dan dianggap berperan penting. Terlepas dari yang dibahasnya adalah sebuah hal yang sebenarnya sudah usang dan justru menghadirkan ketidakpastian bagi banyak orang lainnya.

Mungkin, ini juga cara pemerintah menggerakkan ekonomi karena pastinya lumayan besar juga dana yang disediakan untuk menunggu hilal dan melakukan sidang. Entah berapa besarnya, yang jelas lebih besar daripada gaji saya.

Untuk itulah, dalam hal ini saya akan mengatakan berada di sisi pemikiran barisan Muhammadiyah. Setidaknya, saya sepakat dengan jalan yang mereka pilih . Mereka bisa memberikan kepastian lebih cepat dan tidak membiarkan khalayak menunggu terlalu lama sampai detik terakhir.

Setidaknya mereka menyelamatkan banyak rendang atau ketupat dari basi karena banyak orang lebih bisa memperhitungkan waktu dengan tepat.

(Bogor, 11 Mei 2021. Menunggu bedug maghrib dan keputusan besok masih puasa atau sudah lebaran)

2 thoughts on “Usang”

  1. Selamat hari raya, Pak Anton. Mohon maaf kalau ada komentar atau tulisan saya yang tidak berkenan. Semoga selalu sehat dan bersuka cita bersama keluarga tercinta.

    Reply

Leave a Reply to Agung Pushandaka Cancel reply