stasiun Gondangdia

Manusia

Cerita kemarin.

“Ada yang hamil?”. Suara seorang perempuan ketika pintu kendaraan kesayangan Commuter Line berada di stasiun Tebet. Berarti baru satu stasiun alias sekitar 3 menit saya merasakan enaknya duduk sejak penumpang di depan saya transit di Manggarai.

Tanpa banyak bicara, saya langsung mengangkat tangan. Bukan karena saya sedang hamil, tetapi karena saya sangat tahu bahwa pertanyaan itu pasti diajukan oleh seorang penumpang wanita yang sedang mengandung. Saya memberi tanda bahwa ada kursi yang bisa ia duduki.

Tidak peduli ia sebenarnya berada cukup jauh dari tempat saya duduk. Tidak peduli juga sebenarnya ada 3 laki-laki yang lebih muda yang duduk di antara saya dengan sang ibu hamil. Saya mempersilakan sang ibu hamil untuk mengambil tempat saya.

Baru mendekati stasiun Depok, saya bisa kembali sedikit melepas kepenatan di kaki karena sang ibu hamil turun di stasiun tersebut.

Saya menyenderkan punggung ke dinding kereta sambil berselonjorkan kaki dengan hati penuh rasa syukur.

Bukan karena ucapan terima kasih dari sang bumil.

Saya bersyukur, saya masih manusia yang sama meski sudah 33 tahun menjadi anker. Hanya fisik dan penampilan saja yang menua, tetapi dalam hal ini, saya tetap sama, masih memiliki empati kepada orang lain.

Semoga saja di tahun tahun berikutnya, saya masih diberikan kemampuan untuk terus bertindak sebagaimana seharusnya manusia dalam bermasyarakat.

(Bogor, 05 Oktober 2022. Rabu)

emak emak

Emak-Emak di Jalanan

Kalau mendengar kata emak-emak di jalanan, saya yakin pasti banyak yang langsung nyengir. Imajinasi langsung nyasar ke tindakan-tindakan tak terduga yang bisa mereka lakukan.

Namun, untungnya, saya, hampir setiap hari ketika menyusuri Jalan Wahid Hasyim, Jakarta kala menuju ke kantor disuguhi pemandangan yang berbeda.

Sama-sama emak-emak di jalanan, tetapi memperlihatkan kepada saya sisi lain dari emak-emak. Perjuangan mereka demi keluarga yang kerap tidak mendapatkan apresiasi karena dalam masyarakat Indonesia, mereka terbiasa tersembunyi di balik peran bapak.

Pemandangan seperti foto ini yang saya lihat pagi antara jam 7.00 – 8.00 dan sepulang kerja sekitar jam 5.00 sore.

Pemandangan yang selalu mengingatkan saya kepada seorang emak-emak yang menunggu di rumah dan membuat saya tenang berkeliaran mencari nafkah. Yang terpampang di depan mata ini membawa memori saya kembali ke masa lalu, dimana seorang emak-emak yang dengan segala keterbatasannya berhasil membuat saya seperti sekarang.

Itu emak-emak versi saya dan untuk itu saya akan membungkukkan badan karena hormat dan sayang.

(Bogor, 03 Oktober 2022)

tukang angkut keranjang

Tukang Angkut Keranjang

Tidak banyak yang dikerjakan hari Minggu ini. Hanya membuat tulisan untuk beberapa blog dan berpikir sedikit apa yang akan dilakukan berikutnya. Kemudian, menonton TV sambil selonjoran agar si kaki bisa siap untuk besok, Senin.

Dan, menjadi tukang angkut keranjang. Kerjaan sesekali yang dulu agak sering dilakukan, tetapi sekarang sejak si Kribo ngekos hanya sesekali.

Si Yayang memang sudah jarang mengajak belanja bulanan dan hanya mengandalkan warung Mang Nding di dekat rumah saja. Yang harus dibelanjakan memang tidak lagi banyak karena hanya ada seorang calon kakek dan calon nenek saja, yang kebetulan makannya juga sedikit.

Hari ini saja wanita kesayangan saya itu tiba-tiba mengajak pergi ke Yogya Dept Store yang tidak jauh dari rumah. Dan, saya kembali menjadi tukang angkut keranjang (belum sampai tukang dorong keranjang karena belanjaan tetap tidak banyak).

Kok mau? Ya mau lah. Saya tidak pernah suka melihat wanita mengangkut barang berat, apalagi si kriwil kesayangan ini. Kalau saya ada, maka memang itu jatah saya untuk mengerjakannya.

Tidak malu? Untuk apa? Si Yayang sudah mengurus saya selama hampir 22 tahun. Bangun pagi, mencuci pakaian, menjemur, memastikan saya tidak lapar. Setiap hari selama hampir seperempat abad. Lalu, mengapa harus merasa malu meringankan sedikit bebannya.

Iya kan?

Lagi pula, saya dan dia adalah satu tim, sedangkan orang lain bukan. Jadi, mengapa saya harus memikirkan pandangan orang. Yang terpenting adalah si Yayang senang, saya bahagia, dan semua itu sudah lebih dari cukup.

(Bogor, Minggu 2 Oktober 2022)

Ngejob Bareng

Ngejob Bareng

It’s a beautiful and happy day.

Ngejob itu bekerja, bukan sesuatu yang diimpikan banyak orang pada akhir pekan. Namun, meski hari ini saya mau tidak mau harus turun lagi menangani sebuah job pemotretan, tidak ada rasa malas di hati.

Yang ada rasa senang dan gembira.

Karena, pada sesi pemotretan yang berlangsung di Kebun Raya Bogor untuk keluarga wisudawan Universitas Tarumanegara, saya ngejob bareng.

Kok, ngejob bareng saja senang, tetap capek kan? Iya, memang lelah itu ada. Belum lagi pemotretannya dimulai sudah lumayan siang. Namun, kali ini spesial.

Saya ngejob “bareng” si Yayang. Ia menemani saya melakukan pemotretan dan bahkan terlibat di dalamnya.

Mungkin ada yang tidak senang kalau istri ikut serta dalam pekerjaan, tetapi bukan saya. Situasi seperti ini memang saya idamkan dan impikan untuk bisa dilakukan setelah pensiun nanti.

Kami berharap, setelah purna tugas sebagai karyawan, saya masih akan bisa tetap mencari penghasilan, sambil tetap memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berdua. Keduanya akan sama pentingnya di masa itu.

Jepretan si Yayang ketika saya dan tim sedang melakukan pemotretan

(Bogor, Sabtu, 1 Oktober 2022 – sambil selonjor mencoba menghilangkan penat di kaki karena harus terus bergerak dan berjalan)

Ndableg

Sudah tahu tidak bakalan bagus hasil jepretannya karena kamera OPPO A3s di tangan banyak sekali kekurangannya apalagi saat memotret dalam ruangan yang kurang cahaya.

Cuma, yang namanya orang ndableg, ya tetap saja iseng mencoba menghasilkan sesuatu yang menarik saat bersama kawan sekantor makan bareng di Hotel Indonesia (Kempinski).

Biar tidak bagus hasilnya, bahkan menurut saya sendiri, tapi lumayanlah buat sedikit catatan untuk hari ini.yang penuh dengan tawa dan canda. Memori yang suatu hari nanti, setelah pensiun akan saya kenang sambil tersenyum.

(Jakarta, 29 September 2022, Hari Kamis)