![]() |
Kintan Restaurant, Grand Indonesia 2019 |
Traktiran. Sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengakrabkan diri dan menjalin hubungan yang lebih baik antar mereka yang merasa “teman”. Biasanya dilakukan oleh mereka yang sedang mendapat rejeki atau ada acara spesial yang memerlukan sebuah “perayaan” untuk berbagi rasa senang dan bahagia.
Tahu juga apakah definisi ala saya itu benar atau tidak, tetapi kira-kira begitulah penjelasan traktir menraktir dalam kamus Blog si Anton.
Tradisi yang sebenarnya bagus dan menyenangkan sih. Bagaimanapun menjalin hubungan dengan teman atau sejawat itu perlu dilakukan dan dibuktikan dengan tindakan-tindakan kecil. Menraktir seseorang untuk makan bersama atau apapun bisa menjadi sebuah wujud apresiasi dan pernyataan bahwa “seseorang dianggap teman dan kawan”.
Cuma, ya ada cumanya.
Segala sesuatu itu mirip sekali dengan sebuah koin. Selalu ada dua sisi. Ada baik, ya ada buruk
Dalam hal yang satu ini juga sama, ada baik dan buruknya.
Beberapa waktu yang lalu, salah seorang rekan yunior di kantor, kebetulan berulangtahun kebingungan sendiri. Ia yang belum lama bekerja di perusahaan tempat saya bekerja, berulangtahun dan ingin menraktir (atau mentraktir yah?) rekan-rekan sekantor (6-7 orang) untuk makan sesuatu yang spesial.
Masalahnya, dananya terbatas.
Ia bingung menentukan dimana harus mentraktir rekan-rekan yang lain yang “seimbang” dengan apa yang ia beberapa kali terima dari yang lain. Rupanya ia berusaha memaksakan diri agar apa yang selama ini sudah ia terima “dikembalikan” dengan sesuatu yang “sama”, setidaknya dalam sisi harga.
![]() |
Kintan Restaurant, Jakarta 2019 |
Padahal, sebagai anak baru gajinya tidak besar. Apalagi dia anak rantau dan harus membayar kost dan biaya hidup lainnya.
Cuma, dia merasa tidak enak kalau asal-asalan mengingat selama ini rekan-rekan yang lain mengajaknya makan di tempat-tempat yang lumayan merobek kocek, seperti di restoran ternama, hotel.
Dan, semua itu pada akhirnya menghadirkan masalah bagi di snak baru.
I berpandangan kalau ia tidak bisa menraktir “sama levelnya”, berarti dia tidak menghargai teman yang lain.
Dan, ia bertanya kepada saya bagaimana harus menanganinya. Maklum saja, sebagai cowok, ehh orang yang paling tua di kantor, saya kerap menjadi tempat bertanya (sayangnya tanpa biaya konsultasi..hiks)
![]() |
Kintan Restaurant, Grand INdonesia 2019 |
Alih-alih menjawab, saya balik bertanya kepada si anak baru. Dua pertanyaan saja, yaitu :
“Apakah ada yang minta kamu mentraktir mereka karena kamu ulang tahun?”
Jawabannya, bisa diduga, yaitu “TIDAK”.
Lanjutannya, masih berupa pertanyaan juga.
“Lalu, apakah ada yang minta kamu mengembalikan traktiran merek?”
Gelengan kepala yang disampaikan kepada saya. Maksudnya, pasti TIDAK (kecuali di salah satu suku bangsa di Afrika yang gelengan kepala berarti YA).
Kenyataannya, memang demikian. Tidak ada satu rekanpun yang meminta ditraktir dan tidak ada yang minta yang lain menraktir balik saat salah satu menraktir. Apalagi harus seimbang.
Mayoritas rekan sekerja adalah orang dewasa – eufimisme untuk kata TUA – dan paham sekali bahwa kemampuan dan kebutuhan sesama rekan sekantor. Apalagi, kantor dimana kami bekerja adalah kantor perwakilan saja dengan staf yang tidak banyak (6 di kantor Jakarta). Jadi, bisa dikata, masing-masing sudah tahu kondisi masing-masing.
Sebagian dari kami memang mapan, kaya lah begitu. Penghasilan rumahtangganya besar karena suami dan istri bekerja. Ada yang malah suaminya pengusaha. Jadi, mereka kalau menraktir akan mengajak ke tempat-tempat yang “mahal”.dan bukan sekedar nasi goreng atau makan siang biasa.
Hanya saya, setelah bekerja bersama mereka selama lebih dari 10 tahun, saya cukup paham sekali bahwa mereka memahami kondisi keuangan rekan kerja mereka. Cuma, mereka tidak mengucapkan dalam kata-kata.
Mungkin, kalau si anak baru lebih jeli lagi, hal itu sudah bisa ditangkap dari tindak tanduk dan ucapan rekan-rekan yang lain. Tidak sedikitpun ada indikasi bahwa traktiran mereka adalah bentuk jual beli yang harus dikembalikan.
Semuanya enjoy saja.
Mereka yang menraktir hanya ingin berbagi kegembiraan saja, dan kebetulan mereka mampu.
Cukup bisa dipahami bahwa sebuah traktiran terkadang menimbulkan “beban” tersendiri di hati yang ditraktir. Pasti ada keinginan untuk membalas kebaikan yang sudah diterima. Manusiawi sekali. Cuma orang egois saja yang tidak memiliki keinginan itu.
Tetapi…
Hal itu bukan berarti memaksakan diri. Apalagi harus melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuannya.
Sistem traktiran itu bukan “seimbang” dalam harga, tetapi dalam kesempatan. Cara membalasnya bukan harus diukur dari berapa uang yang dusah dikeluarkan dan diganti dengan yang senilai. Itu namanya jual beli dan bukan menraktir.
Memang sih ada juga orang yang seperti itu, tetapi tidak semua. Umumnya urusan traktir mentraktir bukan jual beli, melainkan berbagi kebahagiaan. Tidak dipaksakan.
Nah, kalau memang hendak “membalas”, sebagai bentuk timbal balik pernyataan rasa “perkawanan”, tidak perlu berpikir tentang harga yang sudah dikeluarkan. Yang harus dilakukan adalah “melakukan yang terbaik”, sesuai dengan kondisi dan kemampuan.
Kalau ditraktir 1 juta per piring dan kita hanya mampu yang 20 ribu per-piring, ya lakukan saja. Tidak perlu memaksakan diri harus mengeluarkan 1 juta per piring juga.
Bagian terpenting dalam sebuah traktiran ada pada kata “perhatian”, bukan berapa nol yang dikeluarkan dari dompet. Traktiran adalah perhatian dan apresiasi, bukan tekanan atau paksaan yang menyiksa.
Untungnya, setelah dijelaskan, sang anak baru akhirnya bisa mengerti dan akhirnya membatalkan untuk memaksa diri. Ia akhirnya membelikan kue dan jajanan untuk dimakan bersama di kantor.
Dan, rekan-rekan pun tetap berterima kasih serta menghargai apa yang dilakukannya.
Persis yang saya jelaskan kepadanya.
(Edisi bersiap mau ditraktir lagi, entah dimana, saya tidak peduli, yang penting makan siang gratis dan hemat, 11 Juli 2019)