Si kribo cilik, yang sekarang badannya sudah lebih tinggi dari bapaknya, pulang dari sekolah dan langsung misuh-misuh. Ia salah seorang anggota OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang aktif
“Anak-anak baru sekarang parah-parah. Masa ada yang datang dengan rambut dicat. Ada juga yang disuruh buka jaket, terus dibuka, tetapi pas masuk ke sekolah dipakai lagi”, begitu omelan si semata wayang kesayangan kami.
Kami tersenyum.
Dan, kami jelaskan, itulah salah satu bentuk efek dari sistem zonasi yang baru saja diterapkan dalam bentuk utuhnya.
Semua orang dari berbagai kalangan bisa masuk sekolah yang berada dekat dengan lokasi dimana mereka tinggal. Hal ini menyebabkan sistem penyaringan siswa menjadi lebih longgar. Tidak lagi dibatasi oleh nilai hasil ujian.
Sistem sebelumnya menyaring siswa yang diterima adalah yang berhasil mendapatkan nilai hasil ujian yang memenuhi passing grade. Biasanya mereka yang bisa menembusnya berasal dari kalangan “terdidik” dan “mampu” dalam eknomi. Keluarga dari lingkungan yang seperti ini biasanya lebih perhatian terhadap gaya hidup, tata krama, dan sopan santun.
Dengan dihapuskannya sistem penerimaan siswa baru seperti ini, batasan ini terhapus. Semua anak bisa bersekolah di sekolah negeri/favorit. Terlepas dari kalangan mana mereka berasal. Yang mengajarkan anaknya tata krama atau tidak, bukan menjadi masalah. Jadi, sekarang dengan sistem zonasi, semua berbaur dalam satu lingkungan sekolah yang baru.
Itulah efek pertama yang pasti dirasakan dalam sebuah sekolah.
Siswanya menjadi lebih beragam dan bervariasi.
Sesuatu yang memang akan menjadi tantangan tersendiri. Baik bagi para guru atau mereka yang berhubungan langsung dengan siswa baru ini, termasuk si kribo.
Dan, karena kami mendukung penerapan sistem zonasi ini, kami memberikan pengertian bahwa itulah tantangan si kribo cilik sebagai kakak kelas.
Ia harus bisa memberikan contoh dan mengajak adik-adik kelasnya agar bisa mengikuti jejak dan langkah yang sudah ia lakukan selama dua tahun terakhir.
Kami bilang, ia harus bisa menjadi pemimpin yang sebenarnya. Yang bukan hanya pandai bergaul dan mengajak adik-adik kelas yang pandai dan penurut, tetapi juga harus bisa membawa mereka yang berasal dari luar kalangan itu untuk bisa maju bersama.
Karena itulah sejatinya seorang pemimpin yang baik.
Dan, itulah yang kami harapkan pada diri si kribo suatu masa nanti. Oleh karena itu, kami mendorongnya untuk bersikap sebagai pemimpin dengan menemukan cara mengatasi adik-adik kelasnya dan membawa mereka ke kebaikan.
Bukan dengan misuh-misuh. Karena misuh-misuh, ngomel, ngedumel, bukanlah ciri dari seorang pemimpin.
(Bogor, Bukit Cimanggu City, 6 Juli 2019 setelah bangun tidur, dan jam komputer menunjukkan angka 14.38)