(Tulisan ini terbit di tahun 2020 dan diikutkan dalam lomba Paid Guest Post di blog Creameno.com. Tulisan ini diterbitkan ulang di Si Anton ini karena blog Creameno non-aktif, entah sampai kapan. Tujuannya sebagai penyimpan catatan bahwa di suatu waktu, di masa pandemi Covid-19, saya pernah memiliki pengalaman dan pemikiran seperti yang tertera pada tulisan ini
Versi yang diterbitkan di blog ini adalah versi asli yang belum mendapatkan pengeditan dan akan sedikit berbeda dibandingkan dengan yang menjadi pemenang dalam lomba)
Fifty. Lima puluh. Seket (bahasa Jawa)
Di tahun 2020 ini, saya akan melewati satu tonggak lagi dalam kehidupan. Usia saya akan mencapai 1/2 abad.
Satu dekade lagi, saya akan resmi berhak duduk di Kursi Prioritas Commuter Line (KRL Jabodetabek) atau Trans Jakarta. Jenis kursi yang memang disediakan untuk pengguna khusus, salah satunya lansia.
Sekarang saja, sebenarnya banyak penumpang yang lebih muda merasa tidak nyaman kalau saya berdiri tepat di depan mereka yang duduk. Bukan sekali dua kali juga, petugas keamanan menepuk bahu saya dan dengan nada lembut sambil tersenyum menyuruh saya menuju Kursi Prioritas.
Rambut abu-abu mendekati putih di kepala adalah biang keladinya. Walaupun saya merasa baik-baik saja, tetapi di mata orang lain, saya adalah orang yang sudah tua dan harus diperlakukan “berbeda”.
Biarpun katanya, umur hanyalah angka, tetapi bagaimanapun coba diperhalus, hal itu tidak bisa membantah kenyataan.
Saya sudah TUA.
♠♠♠♠♠
Lima puluh tahun adalah waktu yang panjang.
Bila seorang Dilan menunggu Milea selama itu, hampir pasti rindunya sudah tidak lagi berat. Rindunya sudah menghilang entah kemana karena wajah Milea sudah pasti akan digantikan wanita lain.
Kata orang, manusia berumur segitu sudah kenyang makan asam garam kehidupan yang membuatnya lebih bijak dalam memandang sesuatu, berkata, dan bertindak.
Katanya.
Katanya juga, pada umur lima puluh tahun, seorang manusia akan mulai menunjukan sindrom “pra-manula”, yaitu suka bernostalgia, mengingat masa lalu, dan kemudian menceritakan kepada siapapun yang mau mendengar.
Sindrom ini akan terus berkembang seiring dengan pertambahan angka umurnya.
Itulah alasan mengapa kata “reuni” menjadi sesuatu yang spesial bagi kalangan manusia dari kategori ini.
Reuni merupakan ajang yang sering dinantikan dan membuat bahagia manusia usia fifty ke atas. Reuni adalah event “resmi” dimana mereka bisa memutar kembali kenangan dan untuk sekilas “hidup” kembali di masa lalu.
“Katanya-katanya” yang sering membuat geli, tetapi mengandung kebenaran.
Pada kenyataannya, walau reuni bukan ajang favorit, otak di kepala saya yang menua ini kerap memutar rentetan slide masa lalu. Hal-hal kecil yang tidak sengaja terlihat saja, bisa memicu otak di kepala saya memperlihatkan kembali berbagai peristiwa yang pernah dialami puluhan tahun yang lalu.
Contohnya, demo mahasiswa dan buruh terkait Omnibus Law Cipta Kerja, yang selewat saja saya tonton, beberapa kali menggiring ingatan ke masa tahun 1998-1999, masa dua Tragedi Semanggi terjadi.
Ketika itu, meski sudah bukan mahasiswa, saya berada di barisan para mahasiswa dalam menentang rezim Orde Baru. Bahkan, sempat ber “tatap muka” di depan gedung DPR/MPR dengan para serdadu yang sampai mengokang senjata.
Semua pengalaman, baik yang pahit, getir, manis, asam, baik, buruk, menyebalkan, menyenangkan, tanpa kecuali sering tiba-tiba tayang karena ada sesuatu yang tidak jelas memicunya secara tidak sengaja.
Itulah saya, yang walau belum resmi menjadi anggota kaum seketan sudah merasakan gejala gemar bernostalgia.
Banyak sekali bagian yang getirnya sebenarnya, bahkan teramat sangat getir pada masanya, tetapi ketika diingat kembali sekarang, semuanya terasa “manis”.
Bukan karena benar-benar manis, tetapi karena semua sudah berlalu. Sekarang, semua hanya menjadi sekedar catatan perjalanan saja yang kadang menghadirkan senyum saat mengingatnya kembali.
Lagipula, berbagai pengalaman hidup yang pernah dialami itulah yang sudah menempa selama 50 tahun dan menjadikan saya seperti sekarang ini.
Seorang manusia yang ngeyelan, mau menang sendiri, keras kepala, meski, kadang bisa juga tenang dan layaknya orangtua, bisa bersikap bijak. Seorang manusia yang tidak pedulian terhadap omongan orang, mereka suka syukur, nggak ya bodo amat.
EGP, “who cares” merupakan kata-kata simbol betapa sedikit perhatian terhadap apa yang dikatakan orang tentang saya. Jika saya merasa benar, saya tidak segan untuk “bertarung”.
Tidak peduli pangkat, tidak peduli ras, jika saya merasa harus melawan, saya akan lakukan. Sesuatu yang beberapa kali saya lakukan terhadap manajer Jepang yang menyebut saya “tidak bekerja”. Saya tidak peduli kalau harus dipecat dan memilih balas meneriakinya di hadapan orang banyak.
Dalam situasi seperti ini, saya tidak peduli dengan resiko dan tidak merasa perlu menjaga image apapun.
Ndableg. Begitu kata orang Jawa.
Berkaca dalam peristiwa-peristiwa seperti ini, berandai-andai ada mesin penghitung rasio karakter, kemudian saya diukur. Hasilnya sangat mungkin, kadar “kebijaksanaan” dalam diri saya mentok 25% sedangkan kadar “ke-badass-an (keberandalan)” tidak pernah turun pada posisi 75%.
Dan, selalu terselip rasa “bangga” dengan hal itu.
Setidaknya, saya bukan orang yang cengeng.
Saya tangguh.
Pandangan yang masih mendominasi kepala saat memasuki tahun dimana saya akan menjadi manusia tua, kalangan fifties, lima puluhan.
Ketika tahun 2020 datang, saya hanya berpikiran, “It’s just another year”. Tidak ada resolusi, tidak ada rencana besar, saya memandangnya hanya sebagai satu tahun lagi yang harus dilewati menuju ke arah garis akhir tugas sebagai manusia di dunia.
Tantangan dan hambatan pasti ada dan bahkan menjadi sesuatu yang diharapkan, tetapi dengan segudang pengalaman buruk dan pahit di tahun-tahun sebelumnya, “Apa sih yang bisa lebih buruk lagi?”
Apa sih yang bisa terasa lebih buruk dari melihat dengan mata kepala sendiri saat Jakarta Terbakar saat Tragedi 1998? Saat itu bahkan, 2-3 hari setelahnya, saya dan pacar, si gadis tersayang (sekarang sudah mantan dan ganti status jadi istri) malah kembali ke ibukota bergabung dengan mahasiswa.
PHK menakutkan? Memang, saya pernah mengalaminya di tahun 2006 dan “lulus” dengan cum laude. Saya bisa mengatasinya dengan baik berbagai masalah baik psikis atau materi. Saya survive.
Mungkinkah ada yang lebih menyedihkan dan menyakitkan dibandingkan mengantarkan 4 orangtua tersayang, bapak dan ibu mertua, bapak, dan ibu ke peristirahatan yang terakhir? Dan, saya tidak meneteskan airmata sedikitpun, karena sebagai anak laki-laki satu-satunya, saya harus bisa tenang dan tetap fokus pada tugas keluarga.
Saya tidak berpikir akan ada yang bisa lebih buruk dari semua itu.
“Badai” dalam kehidupan pasti akan muncul. Tetapi, saya percaya diri saya akan bisa melewatinya, seperti yang saya lakukan dengan berbagai badai di masa lalu.
Saya tidak akan menye-menye dan menjadi cengeng.
Apalagi, sebagai seorang kepala keluarga, seorang suami, dan seorang bapak, sikap seperti itulah yang diperlukan. Saya punya dua orang yang harus dilindungi.
Si Yayang, si mantan pacar dan Si Kribo, putra semata wayang kami.
Mereka harus percaya bahwa saya ada untuk melindungi mereka, sesusah apapun, mereka harus tahu bahwa saya akan bisa mengatasinya.
Itulah alasan mengapa ketika tahun 2020 diawali dengan banjir besar di Jakarta, saya hanya nyengir saja. “Ah, itu mah biasa”.
Maklum, ketika saya menjadi seorang karyawan baru , yang mau terlihat komit , saya pernah menembus banjir hampir setinggi leher hanya sekedar untuk mencapai kantor di tahun 1995.
Sisi “badass” nan sombong dalam diri saya berkata, “It is just another year”. Saya sama sekali tidak pernah kepikiran akan ada yang lebih buruk dari yang pernah dialami.
Kesombongan seorang manusia tua.
♣♣♣♣♣
Ternyata, saya SALAH.
Pada usia seket kata orang Jawa, ternyata saya bisa begitu naif dalam memandang kehidupan.
Tidak berapa lama setelah banjir di Jakarta, sebuah berita kecil tentang wabah terjadi di sebuah kota kecil di Cina, tidak terlalu mengusik perhatian saya. Cuma sebuah kasus wabah penyakit, tidak ada yang spesial.
Yang menarik saya hanyalah nama virusnya, Corona. “Keren euy”, pikir saya saat pertama kali membaca. Namanya bagus dan setahu saya berarti mahkota.
Perhatian saya baru tertarik, ketika menerima kabar kantor pusat di Shanghai memperpanjang libur Imlek akibat wabah yang menyebar. Cina lockdown sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
“Wow”., hanya satu kata itu yang muncul di kepala. Saya tidak menyangka dampaknya meluas seperti itu. Dampaknya mulai terasa karena banyak pesanan kain dari pabrik di Negara Tirai Bambu terpaksa tertunda.
Si Bos hanya mengatakan kalau kemungkinan, tahun 2020 akan menjadi tahun yang berat.
Saya hanya bisa manggut-manggut. Walau kehidupan masih biasa-biasa saja, tetapi saya sadar memang yang dikatakan benar adanya. Keterlambatan pengiriman adalah masalah dan akan berimbas banyak bagi perusahaan.
Hari demi hari, satu demi satu berita buruk pun berdatangan.
Satu demi satu negara menutup negaranya. Satu persatu email pemberitahuan penghentian aktivitas dari pembeli di luar negeri diterima.
Semakin hari semakin banyak pembeli yang menunda atau membatalkan pembelian. Tidak sedikit keterlambatan pengiriman material tertunda.
Saya hanya bisa membatin, “Apalagi ini?”
Insting seorang manusia tua saya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Rasanya seperti melihat sebuah bola salju yang terus menggelinding, membesar, dan meluluhlantakkan semua yang dilewatinya.
Kekhawatiran mulai menyeruak dalam hati.
Doa pun mulai terucapkan, semoga saja si “bola salju Corona” tidak akan sampai ke Indonesia.
Saya mulai cemas.
♣♣♣♣
Doa saya tidak terkabul.
Tidak lama berselang, kasus pertama di Indonesia mulai muncul di media. Angkanya tidak berhenti bertambah setiap harinya.
Suasana kantor pun perlahan berubah menjadi suram. Tidak ada lagi kerja sambil ngakak dan minum Kopi Kenangan. Tidak ada lagi nyemil sambil melototin komputer.
Kekhawatiran terhadap keselamatan diri dan keluarga terlihat di wajah semua orang. Ketegangan terasa setiap hari.
Setelah berdiskusi dengan sang bos, Instruksi WFH (Work From Home) turun. Dua minggu sebelum pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Bos merasa bahwa keselamatan staf-nya terlalu penting untuk dipertaruhkan, terutama karena ia juga berada di negara yang melakukan lockdown. Ia tahu rasanya seperti apa.
Semua bernafas lega.
Saya pun demikian. Perintah ini berarti saya bisa menghindari berada dalam Commuter Line, si KRL Jabodetabek yang padat dan artinya mengurangi kemungkinan terpapar.
Bahkan, dalam hati, saya menyambut gembira. Rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang diharapkan.
Sudah sejak lama, saya punya impian bisa bekerja/mencari nafkah di rumah tanpa harus pergi ke kantor. Perjalanan pulang pergi setiap hari sangat melelahkan di usia yang semakin bertambah.
Berat. Capek. Kaki sudah terasa lebih pegal dari biasanya.
Saya lega sekaligus gembira dengan perintah sang bos. Salah satunya setidaknya saya bisa berlatih mempersiapkan diri sebelum pensiun nanti.
Tidak terbayang sama sekali bahwa tidak berapa lama kemudian, saya berpikir sebaliknya.
Tapi, saat itu, hal tersebut disambut dengan senang hati, meski saya menyadari bahwa saya SALAH.
Sesuatu yang sama buruknya dengan yang pernah dialami bertahun-tahun lampau sedang terjadi.
♥♥♥♥♥
Saya SALAH…LAGI.
Saya berpikir kalau rumah adalah tempat “teraman” dalam kondisi dan situasi seperti ini.
Ternyata TIDAK juga.
Setelah sempat merasakan masa honeymoon “kenyamanan” bekerja di rumah seminggu, gejolak tidak berhenti tetapi semakin bertambah.
Pembatalan order masih belum berhenti. Perusahaan supplier pun satu persatu mulai mengikuti langkah WFH.
Pusing bertambah hari demi hari.
Pekerjaan memang menjadi ringan. Volumenya menyusut. Tetapi, beban di hati terus bertambah. Bila tidak ada lagi aktivitas produksi, tidak ada penjualan, dan artinya tidak ada pemasukan bagi perusahaan.
Artinya, kantor tempat saya bekerja pun terancam untuk tutup.
Simple saja, no sales, no money, no gaji.
Semua teman sekantor pun mengkhawatirkan yang sama. Sumber penghasilan kami terancam.
Suasana rumah menjadi semakin tidak menentu dan semakin muram. Satu persatu kabar buruk dari lingkaran keluarga pun mulai diterima.
Kakak satu-satunya, seorang guru les privat memberitahu bahwa murid-muridnya tidak bisa lagi ikut les. Mereka harus berada di rumah dan sekolah tatap muka dihentikan.
Penghasilannya menyusut drastis dan besar kemungkinan akan segera hilang.
Kepala yang sudah terasa pusing dengan urusan kantor dan diri sendiri, rasanya menjadi seperti digetok palu.
Apalagi ketika ia menambahkan, kakak ipar saya, suaminya, yang mencari penghasilan sebagai pengendara angkutan online, GRAB, terpaksa “dirumahkan”.
Tidak ada penumpang dan juga karena kekhawatiran akan keselamatan diri menyebabkannya harus memilih berada di rumah.
Saya hanya bisa menerima kabarnya saja, tanpa bisa berkomentar banyak . Bahkan untuk mencoba menenangkan pun, saya tidak mampu. Saya akan berbohong kalau mengatakan, “Tenang saja, pasti berlalu”. Dengan situasi yang ada, saya tidak yakin kondisi akan membaik dalam waktu dekat.
Belum cukup semua itu, adik bungsu yang bekerja pada sebuah perusahaan garmen di Bogor memberi kabar, ia harus mengalami pemotongan gaji. Tempatnya bekerja mengeluarkan kebijakan ini untuk bertahan.
“Oh, Ya Allah”, batin saya.
Sebagai anak laki-laki satu-satunya, situasi dan kondisi saudara-saudara perempuan tersebut sama artinya tambahan beban pemikiran. Saya tetap merasa bertanggungjawab dan sebisa mungkin harus bersiap membantu.
Kecemasan merangkak cepat menuju tingkat dewa.
Apalagi beberapa kawan pun mulai menanyakan apakah ada lowongan kerja di kantor. Padahal, sebelum itu mereka jarang menghubungi. Sebuah pertanda satu persatu mulai kehilangan pekerjaan.
Tidak lama kemudian, sebuah email dari bos diterima.
Isinya yang tidak banyak hanya mengatakan, “Lakukan penghematan semaksimal mungkin. Situasinya memburuk”.
Instruksi tambahannya lewat jalur pribadi meminta saya menghitung kemungkinan biaya pesangon kalau harus memberhentikan staf di kantor
Saya sudah tidak tahu tingkat kecemasan pada saat itu sudah sampai level yang mana.
Bayang-bayang peristiwa tahun 2006, saat saya kehilangan pekerjaan kembali hadir. Masa-masa suram saat itu seperti dimunculkan kembali oleh otak. Padahal, saya sudah mencoba menguburnya dalam-dalam.
Ketenangan yang selama ini menjadi andalan seperti terkikis oleh semua berita buruk yang datang, terutama dari lingkaran terdekat, kantor dan keluarga.
Yang terburuk dari semua ini adalah saya tidak bisa melakukan apa-apa.
Saya “terbelenggu”.
Terlepas dari keinginan saya untuk membantu, saya sendiri sedang berada dalam tekanan yang sama besarnya. Bahkan saya sendiri tidak bisa melakukan apa-apa untuk keluarga kecil kami.
Saya hanya bisa diam di rumah, melihat komputer, bolak balik ke dapur, teras dan itu saja. Saya tidak bisa berbuat banyak.
Saat itu, saya merasa iri dengan semua orang yang masih melakukan WFO (Work From Office-Bekerja di Kantor). Iri yang besar sekali.
Saya tahu bahayanya bagi mereka, tetapi bagi saya hal tersebut lebih baik daripada hanya diam di rumah dan tidak bisa berbuat apapun. Setidaknya, saya pikir mereka punya kesempatan bertarung dan berjuang, demi keluarganya.
Pikiran saya mengatakan WFO akan memberi peluang untuk “melakukan sesuatu” . Walau tidak jelas sesuatu itu apa karena kondisi dan situasi yang luar biasa rusak dimanapun.
Tetapi, setidaknya bukan hanya bolak balik dari dapur ke teras, balik lagi ke depan komputer dan tanpa menghasilkan apa-apa, selain perasaan cemas dan khawatir yang bertambah.
Sayang kesempatan itu tidak ada. Saya harus tetap berada di rumah.
Kembali saya harus mengaku SALAH, LAGI DAN LAGI.
Tahun 2020, tahun yang luar biasa berat. Mungkin lebih berat dari yang pernah saya alami.
Saya begitu naif merasa sudah mengalami yang terburuk dan begitu sombong merasa tidak akan bertemu masa yang lebih buruk.
Rasanya, “kehidupan” seperti menampar saya sambil berkata, “Elu ngerasa sudah melihat yang terburuk, nih coba yang satu ini. Elu mau ngomong apa?”
Dan, saya tergagap. Tidak bisa menjawab.
This is not just another year, this is a really terrible year.Tahun ini bukan tahun yang biasa, tahun ini tahun yang luar biasa buruk.
♥♥♥♥♥
Kalut. Cemas. Galau. Geram. Bingung.
Imbasnya sangat terasa sekali. Tekanan yang menumpuk, beban yang semakin lama semakin banyak dan berat, membuat saya seperti “LUMPUH”.
Otak seperti berkarat berat dan berhenti beroperasi. Sulit untuk berpikir. Bahkan, sekedar untuk menulis blogpost saja tidak bisa. Cukup lama semua blog saya abaikan.
Berulangkali saya memaksakan diri duduk di depan komputer, yang ada tangan hanya mengetuk-ngetuk keyboard dan berkelana saja di dunia maya. Baca sana, baca sini.
Tidak satupun kata yang saya hasilkan. Semua terasa blank, kosong.
Hiburan saya hanya ketika ada email masuk, atau pesan WA dari rekan kantor. Setidaknya, pikiran saya sedikit teralihkan untuk sesaat.
Sayangnya tidak banyak. Situasi perekonomian dunia yang hancur lebur karena pandemi sangat terasa sekali. Semua mengerjakan “sedikit” saja. Kondisinya memang membuat bisnis lesu dan berantakan.
Saya benar-benar kesulitan melepaskan diri dari kesuraman dalam hati. Rasanya justru semakin tenggelam lebih dalam.
Psikosomatis? Overthinking?
Yeah, itu tulisan yang banyak beredar di dunia maya pada masa PSBB. Tidak media online, tidak blogger, semua menelurkan versinya beserta tipsnya masing-masing. Seakan-akan dengan mengetahui semua itu masalah selesai.
Kalau saja,mereka-mereka itu ada di depan saya, dan kemudian mengatakan bahwa saya mengalami psikosomatis atau overthinking, saya pikir, yang saya akan lakukan adalah berdiri dari kursi.
Pergi mengambil serbet kotor di dapur, lakban dan gunting.
Kemudian, saya akan sumpal mulut mereka dengan serbet. Saya pasang lakban di mulut mereka. Dan, saya akan lemparkan ke dalam septic tank. Kalau perlu, saya beli 100 ikan lele besar untuk dimasukkan ke dalam septic tank berisi si maniak teori psikosomatis.
Saya pikir, terlalu banyak orang berteori ini dan itu, seakan mereka sudah menemukan obat ajaib dan semua masalah bisa selesai karena mereka ngomong.
Padahal, teori psikosomatis tidak akan bisa membayar uang kuliah, teori overthinking tidak akan laku dipakai membeli sayur dan ikan asin di warung.
Sebuah pikiran hasil karya sisi “gelap” saya sebagai manusia.
Hal yang menunjukkan kegeraman saya karena merasa sama sekali tidak berdaya dan menggunungnya ketakutan yang ada di hati.
Takut Covid?
Bukan.
Saya takut harus menatap wajah si Kribo yang sedang bersemangat sekali hendak masuk ke Universitas Telkom. Takut untuk mengatakan bahwa ada kemungkinan bapaknya kehilangan kemampuan finansial untuk mendukungnya kuliah dan lebih buruk lagi, mencapai impiannya.
Saya takut suatu waktu harus menatap wajah si mantan pacar dan kemudian mengatakan kepadanya, saya di PHK (lagi) . Takut bahwa saya tidak bisa lagi memberikan sedikit “kenyamanan” bagi wanita yang sangat saya sayangi itu.
Dia sudah berkorban banyak untuk saya selama ini. Oleh karena itu, satu hal yang sangat saya tidak inginkan adalah membuatnya harus berkorban lebih banyak lagi, terpaksa harus ikut pontang panting berjuang mencari nafkah.
Saya ketakutan menghadapi kemungkinan tidak bisa membahagiakan dua orang kesayangan saya.
Kehilangan pekerjaan memang tidak berarti kiamat, saya pernah mengalaminya sendiri dan berhasil lolos, tetapi artinya sebuah masa berat dan penuh ketidakpastian bagi keluarga kecil kami akan datang.
Hal yang tidak saya inginkan untuk dialami kembali oleh kedua orang kesayangan itu.
Saya tidak berani menjelaskan kepada mereka tentang kondisi suram yang sedang dihadapi. Itu tugas saya mengatasinya.
Pada saat itu, kalau boleh memilih, saya lebih baik berangkat kerja, berada dalam kereta yang padat, kaki pegal, resiko tertular, daripada harus menjelaskan kepada keduanya.
Akhirnya, saya memilih diam dan menyimpannya sendiri, yang membuat saya semakin tenggelam dalam kekalutan.
Kembali langkah yang SALAH saya ambil.
♣♣♣♣♣
Ya, kembali kesalahan saya buat.
Saya berpikir dengan alasan melindungi bisa menyembunyikan apa yang sedang terjadi dari kedua orang kesayangan saya itu..
KEBODOHAN terbesar.
Insting seorang istri sulit dikelabui.
Wajah saya yang muram bin suram pastinya tertangkap wanita yang dulu tidak segan turun ke jalan mengantar suplai makanan untuk mahasiswa di tahun 1998 dan 1999.
Lagipula, sudah hampir 20 tahun kami tinggal bersama, Pastinya, ia sudah hapal sekali kelakuan suaminya yang ndableg dan keras kepala.
Ia kadang hanya tersenyum dan tidak bertanya banyak. Ia tahu bahwa saya hanya akan mengatakan, “Nggak ada apa-apa. Biasalah” kalau ia bertanya.
Sampai suatu waktu, wanita yang dulu saya juluki si Gadis Keras Kepala itu, menghampiri saya yang berada di depan komputer. Ia kemudian tiba-tiba mengatakan, “Tenang saja, Mas. Insya Allah akan ada jalan. Kalaupun kamu di-PHK, kita toh pernah mengalaminya dan bisa bangkit”.
Saya terbengong.
Saya tidak tahu darimana ia mendapatkan kabar itu, tetapi rupanya ia mendengar beberapa percakapan via telpon dengan rekan kerja. Mungkin juga secara tidak sengaja ia membaca isi WAG kantor saya (karena memang kami membebaskan satu dengan yang lain membaca ponsel masing-masing. Bahkan pesan WA yang masuk dari teman lama, sering saya minta ia yang membalasnya kalau sedang malas).
Ia melanjutkan dengan menjelaskan sudah mengurangi anggaran belanja, supaya kalau memang terjadi situasi yang tidak dikehendaki, ada dana cadangan lebih banyak.
Ia berusaha menenangkan saya.
Ketika ia melanjutkan, bengongnya saya bertambah.
“Memang, Mas nggak sadar sikap si Arya (si Kribo)”, tanya si Yayang sambil tersenyum.
Pertanyaan kecil yang menyentil sedikit ingatan tentang keanehan kecil di rumah. Saking kalutnya, saya tidak mengacuhkan perubahan dalam ritme di rumah.
Si Kribo, yang biasanya cuek melebihi bebek dan gemar berhibernasi di kamarnya, tiba-tiba, belakangan sering menawarkan membuatkan kopi, atau nasi goreng , atau cemilan lainnya. Biasanya di malam hari, saat saya sedang menatap komputer.
Kadang, ia pun mengajak ngobrol sedikit tentang fotografi dan lainnya. Padahal, biasanya ia sibuk bermain game online dengan teman-temannya.
Ia juga tidak lagi meminta uang jajan bulanan yang biasa diberikan.
Tanpa bicara, tanpa bertanya, rupanya, keduanya sudah tahu bahwa suaminya, bapaknya sedang kalut dan berada dalam tekanan. Mereka berusaha menghibur dan meringankan sedikit beban.
Saya terhenyak.
Kedua orang yang saya pandang “bergantung” kepada saya malah sudah melakukan tindakan nyata. Dengan kemampuan yang mereka miliki, keduanya mengerjakan apapun yang bisa dilakukan menghadapi situasi.
Mereka juga sudah mencoba menopang saya, yang seharusnya menjadi tempat bergantung karena mereka tahu saya goyah. Dengan caranya masing-masing.
Sementara, saya sibuk dengan diri sendiri, tidak melakukan apapun. Terlalu sibuk mengasihani diri karena merasa tidak berdaya.
Lagi-lagi saya naif.
Berpikiran bahwa bisa menyimpan semuanya sendiri dari mata kedua anggota keluarga lainnya dan menganggap mereka lemah.
Mereka jauh lebih tangguh dari saya.
♦♦♦♦
Lucu.
Sekarang, beberapa bulan kemudian, ketika waktu penobatan saya menjadi “anggota” klub fifties alias lima puluhan mendekat, saya sering menertawakan diri sendiri.
Saya menertawakan kebodohan, kenaifan, kesombongan, kelemahan dan semua “pikiran gelap” saya di kuartal pertama tahun 2020 ini.
Bagaimana saya bisa sebegitu sombongnya beranggapan bahwa “tidak akan” ada yang bisa lebih buruk datang? Padahal, saya sudah tahu betul salah satu pelajaran terpenting dalam kehidupan adalah menerima bahwa “life has its own way”.
Hidup punya jalannya sendiri yang sering tidak sesuai dengan keinginan manusia. Saya berpikir bahwa semua yang terburuk sudah dilalui, tetapi lupa kalau hidup punya rencananya sendiri.
Padahal, saya selalu “diingatkan” setiap menonton atau membahas tentang Liverpool FC, Si Merah kesebelasan idola saya sejak masa kecil.
Lagu “kebangsaan”nya You’ll Never Walk Alone berisi filosofi kehidupan tentang badai/ketidakpastian dalam kehidupan dan bagaimana harus tetap percaya bahwa “sinar matahari” akan kembali setelah badai mereda.
Saya begitu sombong sehingga lupa semua itu.
Bertambahnya usia pun rupanya berimbas pada meningginya kesombongan saya.
Sesuatu yang bodoh.
Kebodohan yang untungnya disadarkan oleh dua orang “teman” perjalanan dalam kehidupan yang kami tempuh. Walaupun, hal itu memperlihatkan, sebuah kenaifan saya yang lainnya.
Saya naif sehingga lupa bahwa ada dua orang “sahabat” yang selalu bersama saya mengarungi bahtera kehidupan. Dua orang yang sudah terbukti setia dan tangguh menemani saya jatuh bangun selama ini.
Saya begitu sombong juga, sehingga menganggap diri terlalu kuat dan merasa kedua “teman” itu bergantung pada saya. Kesmbongan yang membuat saya tidak menyadari bahwa saya bisa bertahan dan kuat karena ada dua orang setia dan “tangguh” lainnya di samping saya.
Tanpa mereka saya hanya sebatang tonggak yang rapuh dan mudah goyah.
Tahun 2020 menunjukkan semua itu kepada saya.
Saya manusia tua yang naif, sombong, dan tidak setangguh yang saya pikir.
♣♣♣♣
Badai Covid masih berlangsung.
Belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Perahu kehidupan kami pun masih akan terus terombang-ambing gelombang dahsyat yang disebabkan si bola salju Corona.
Perintah WFH kedua kalinya diterima September lalu. Saya diperintahkan kembali seperti 8 bulan yang lalu. Bekerja di rumah.
Semua seperti di-rewind ke titik yang sama.
Kecemasan itu masih ada. Kekhawatiran itu juga belum hilang.
Tetapi…
Saya sudah berbeda. Tidak lagi sama.
Saya sudah menyadari (kembali) ini adalah bagian dari kehidupan. Yang harus saya terima dan jalani. Badai akan selalu ada, bisa kecil, bisa besar, bisa sangat besar.
Hal yang pasti akan selalu ada.
Tetapi, badai itu pasti akan mereda. Bagaimanapun, tidak ada sesuatu yang abadi di dunia, termasuk segala badai kehidupan dalam bentuk apapun. Suatu saat pasti akan ada berakhir juga. Meskipun, saya tidak tahu kapan akan berakhirnya.
Saya juga sudah kembali ingat, yang terbaik yang bisa dilakukan saat ini hanyalah mendayung bahtera keluarga kecil kami sebisa mungkin. Yang terbaik yang saya bisa dan mampu. Sampai saatnya badai mereda dan cahaya kembali hadir.
Saya percaya bisa melakukannya.
Apalagi, tahun 2020 pun mengingatkan kembali pelajaran penting lainnya bahwa saya tidak sendirian mengayuh biduk keluarga kecil kami.
Dua orang “sahabat” terbaik dan sama tangguhnya akan menemani dan mendampingi saat saya menempuh badai apapun.
I know, I’ll Never Walk Alone.