Bro

“Oke Bro. Lanjut!”

Beberapa kali sudah saya memberikan jawaban tersebut dalam percakapan Whatsapp dengan “seseorang”. Ungkapan yang sama, juga sudah beberapa kali saya lontarkan ketika berbincang face to face dengan orang tersebut.

Mungkin, banyak yang mengira, kalau hanya melihat ujaran WA tersebut akan berpikir, saya sedang berbincang dengan sebaya, orang yang usianya sudah lumayan “tua”.

Wajar sih karena kata “Bro” umum dipakai dalam perbincangan orang yang sebaya, atau dalam kisaran usia yang sama. Kata ini menunjukkan juga kedekatan antar keduanya.

Namun, kata itu saya pakai, bukan kepada tetangga, teman, atau saudara yang seumuran. Usia orang yang diajak berbicara berbeda 31 tahun. Ia lebih muda.

Ia adalah si Kribo. Putra semata wayang saya dan si Yayang.

Pemilihan kata ini dalam percakapan kami, dan semakin sering dipakai adalah karena saya menyadari bahwa si Kribo bukan lagi anak kecil. Usianya yang sudah resmi melewati angka 21 membuatnya secara hukum dia sudah dewasa.

Apalagi kalau melihat perkembangan dirinya, ia sudah bisa menunjukkan kedewasaannya.

Putra yang dulu manja sekali kepada kami sudah menjadi orang dewasa.

Menyadari hal itu, saya memutuskan untuk ikut “berkembang”. Saya tidak bisa lagi memperlakukannya seperti anak kecil lagi, bahkan dalam percakapan kami.

Untuk itulah kata bro saya putuskan mulai dipergunakan.

Alasan lainnya juga adalah kami berdua, meski tidak seintens hubungannya dengan si Yayang, tetap sangat akrab. Tidak jarang kami saling melontarkan ledekan satu dengan yang lain. Bahkan, tidak segan si Kribo meledek bapaknya di depan teman-temannya.

Situasinya seperti dua orang berbeda generasi yang terlibat dalam pertemanan.

Apalagi, kami berdua bekerja sama dalam mengembangkan LB Digital. Kami juga merupakan partner bisnis.

Untuk itulah, saya berusaha kembali menyesuaikan posisi saat berinteraksi dengannya. Status “bapak” bagi si Kribo, perlahan mulai sering ditanggalkan. Toh fungsi bapak tidak lagi memegang peran dominan dalam membantunya berkembang.

Saya belakangan lebih sering memposisikan diri sebagai teman dan partner.

Harapan saya, dan si Yayang, adalah dengan begitu ia tidak merasa canggung dan kesulitan saat berinteraksi dengan kami. Dengan begitu juga, saya berharap ia tidak ragu untuk meminta pendapat dari “teman” yang lebih berpengalaman dalam berbagai hal.

Alhamdulillah, bahwa ternyata pilihan itu berjalan dengan baik. Ia tidak merasa kesulitan berkomunikasi dengan bapaknya. Padahal, masalah umum yang sering dihadapi anak laki-laki dan bapaknya adalah komunikasi dan ego. Banyak benturan terjadi karena hal itu.

Untungnya, hal itu tidak terjadi dengan kami.

Bukan berarti tidak ada benturan karena saya membebaskan si Kribo untuk mengungkapkan pandangannya, seberapapun bertentangan dengan kami. Namun, kami berhasil mengatasinya dengan baik.

Mungkin karena si Kribo merasa bahwa bapaknya, bukanlah sekedar bapak. Bapaknya selain sebagai orangtua, juga adalah teman dan partner sehingga ia pun bisa menyesuaikan dengan kebutuhannya. Ia pun bisa menemukan dua orang kakak di rumah yang terkadang bisa lebih jahil daripada teman-temannya.

Iya, teman, partner, dan kakak. Bukan hanya orangtua.

Akan mengherankan bagi banyak orang, tetapi tidak bagi kami. Kami sejak awal tidak pernah berpikir bahwa orangtua hanya bisa jadi orangtua. Kami percaya, orangtua tidak boleh hanya bisa berperan sebagai orangtua saja.

Orangtua adalah aktor atau aktris, yang harus terus belajar dan berkembang juga. Tentunya, demi membantu perkembangan anaknya.

Jadi, saya dan si Yayang, secara perlahan berusaha menemukan dan menjalankan peran-peran baru, yang bisa membantu si Kribo berkembang, termasuk di dalamnya menjadi teman, kakak, dan partner. Tentunya, tanpa melupakan peran sebagai orangtua.

Kata Bro adalah cermin dari pemikiran kami dan sebuah sinyal kepada si Kribo tentang peran yang sedang kami mainkan, dalam hubungan dengannya.

Sebenarnya, bukan hanya untuk si Kribo, tetapi juga untuk kami.

Dengan ia menjadi dewasa, maka peran kami, jika hanya menjadi orangtua akan berkurang. Padahal, kami punya keinginan agar tetap bisa menjadi bagian dari kehidupannya.

Tidak ada jalan lain, selain kami harus menemukan peran-peran lain agar bisa tetap tergabung dalam lingkaran kehidupannya. Walau, kami menyadari pada akhirnya kami harus membiarkan dirinya berjalan sendiri, tetapi setidaknya dengan peran-peran lain tersebut kami bisa “bersama” lebih lama.

Dan, tentu saja, harapan, si Kribo akan selalu ingat ada bapak, ibu, teman, partner, dan kakak yang selalu berada di sampingnya, dimanapun dan kapanpun.

(Jakarta, 6 September 2023)