Ilustrasi saja dan dijepret jauh sebelum wabah Corona terjadi |
Mudik dilarang.
Begitu kata pengumuman dari Pak Jokowi kemarin.
Tidak semua sih karena seperti biasa dikasih embel-embel “dari dan ke” wilayah yang masuk kategori zona merah Covid-19. Artinya, kalau dari dan ke daerah yang tidak termasuk, mudik masih bisa dilakukan.
Iya kan?
Agak terlambat sebenarnya, kalau menurut pandangan saya. Sudah ada ratusan ribu orang yang mencuri start dan mudik sebelum pelarangan ini diumumkan. Semua ini artinya kemungkinan penyebaran Corona sudah terjadi dengan adanya raturan ribu orang yang sudah pulang ke kampung halaman.
Bukan saya saja loh yang berpendapat demikian, banyak orang juga melihat ketidaktegasan pemerintah dalam hal ini.
Mungkin pak Presiden dan jajarannya berpikir bahwa manusia-manusia Indonesia itu adalah orang yang taat dan patuh ndawuh pada pimpinan. Padahal, sebenarnya sih boro-boro.
Orang Indonesia itu ndableg. Egois. Tidak bisa patuh pada aturan kecuali aturan itu menguntungkan dirinya.
Coba saja perhatikan di jalanan. Rambu-rambu lalu lintas, jalur busway, dan banyak hal lain yang lebih sederhana, seperti memakai helm sudah diatur oleh yang berwenang. Kenyataannya, masih banyak sekali orang yang mengabaikan.
Padahal, aturan itu merupakan hukum dan ada sanksi kalau terjadi pelanggaran. Dan, banyak manusia Indonesia yang tidak mematuhinya, bahkan tidak jarang mereka berani melawan petugas dan marah-marah ketika ditertibkan.
Ingat peristiwa emak-emak marah-marah memaki polisi saat penertiban terjadi, bahkan, sampai ada yang menggigit.
Ini cerminan keegoisan banyak manusia Indonesia.
Itulah yang bikin heran sebenarnya. Masa sih pak Presiden dan anak buahnya tidak tahu watak masyarakat Indonesia yang seperti ini? Kenapa kok mereka sampai bisa memutuskan bahwa himbauan saja cukup untuk menahan jutaan orang melakukan mudik?
Ok-lah, pak Luhut, Menteri Kemaritiman, yang sekarang sepertinya menjadi menteri apa saja sekaligus jubir pemerintah mengatakan sebagai bagian dari strategi militer.
Cuma, berarti, militer seperti apa yang membiarkan jutaan orang musuh lewat dulu dan berpotensi menimbulkan “kerusakan” baru pintu ditutup? Saya pikir, apa yang dikatakan pak LBP ini sebenarnya merupakan “kamuflase” untuk menutupi kenyataan “pemerintah” mengambil kebijakan yang salah dalam hal mudik.
Himbauan tidak cukup.
Orang Indonesia harus dikerasi, baru ngerti.
Itupun tidak dijamin berhasil karena bisa diduga bahwa akan banyak orang Indonesia, yang ngeyel akan berusaha menemukan celah dan berbagai cara untuk bisa tetap mudik.
Kengeyelan orang Indonesia dilawan!
Ini juga ilustrasi saja di Stasiun Bogor 2 tahun sebelum Covid-19 tercipta |
Tapi…
Tak apalah, wajar saja kalau pemerintah bikin salah. Namanya juga masih manusia semuanya. Justru, kalau tidak ada kesalahan, hal itu akan menakutkan, karena pemerintahan isinya berarti cuma malaikat, atau jin semua.
Wajar saja kalau ada kesalahan dalam penilaian dan pembuatan kebijakan.
Meskipun, sebenarnya agak terlalu banyak dalam kondisi krusial seperti sekarang. Bukan cuma pak Presiden, tetapi Kemenhub yang tetap mengizinkan ojol mengangkut penumpang sementara Kemenkes melarang. Belum ditambah, semua orang disuruh WFH atau libur, tapi Kemenperin memberikan izin industri beroperasi.
Kelihatan sekali kurangnya koordinasi dalam tim dan biasanya berujung pada blunder yang memperlihatkan timnya kurang kompak. Tidak saling dukung.
Agak terlalu banyak kesalahan yang bikin bingung rakyatnya sendiri.
Cuma, ya itu tadi. Karena isi pemerintahan masih manusia semua, hal itu pasti akan terjadi.
Apalagi kata orang “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”.
Dan, “Mudik Dilarang Bro & Sis!”.
Setidaknya sekarang pemerintah berani mengambil resiko mengecewakan dan membuat sedih jutaan orang.
Jarang-jarang yang seperti ini dilakukan. Biasanya sih pemerintah akan menghindari karena bisa buat jelek nama mereka. Kayak masalah setop KRL saja, mereka pilih tidak mau melakukannya karena tidak mau dikutuk puluhan ribu orang.
Jadi, wis, boleh lah dipuji keberaniannya.
Pastinya, imbasnya ada jutaan orang yang kecewa dan sedih. Bagaimanapun, mudik itu adalah ritual yang tidak sesederhana pulang ke kampung halaman saja. Mudik itu bagian dari penyegaran rohani bagi banyak orang.
Sebuah kebutuhan.
ilustrasi saja |
Tidak heran jutaan orang Indonesia biasanya sudah merencanakan mudik jauh-jauh hari sebelumnya. Mereka merencanakan, menabung uang, beberapa bulan sebelum pelaksanaan.
Disana ada harapan, kerinduan, dan semangat.
Sesuatu yang mendorong mereka untuk terus berkarya dan produktif di tanah rantau. Mereka berharap dengan begitu suatu waktu mereka bisa merasakan kenikmatan bertemu dengan keluarga, menyapa handai taulan, bertemu teman masa kecil, merasakan lingkungan yang berbeda, merasakan makanan yang tidak biasa, dan banyak lagi.
Ada harapan untuk bergembira bersama melepas kepenatan dari kehidupan keseharian. Ada asa untuk terlepas dari kejenuhan dan kebosanan.
Mudik adalah penyegaran bagi rohani orang yang lelah.
Bukan hanya sekedar pergi ke kampung halaman.
Dan, sekarang dilarang.
Pasti banyak yang merasa dadanya sesak karena kecewa dan sedih. Harapan yang sebelumnya ada seperti dimusnahkan dalam sekejap.
O ya, memang alasannya sangat bisa dipahami oleh mereka yang mudik, mereka cukup sadar bahwa itu demi kebaikan bersama. Apalagi, pemerintah juga sudah memindahkan jadwal mudik ke bulan Desember, jadi tetap ada pengganti.
Tapi, tetap saja tidak sama. Mudik di bulan Desember tidak memiliki satu hal. Disana tidak ada nuansa Idul Fitri atau Lebaran yang ngangeni itu. Kenikmatan setelah berpuasa sebulan penuh dan ditutup dengan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman, tidak ada di bulan Desember.
Pulang kampung tetap, tapi nuansa Lebarannya tidak ada.
Pastinya akan banyak yang merasa “kosong” kalau mudik seperti itu. Tidak beda dari sekedar liburan saja.
Oleh karena itu, tidak akan heran kalau masih akan ada orang Indonesia yang berupaya dengan seribu macam cara mennyiasati larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah. Pasti banyak. Apalagi, tahu kan orang Indonesia itu ngeyel tingkat dewa?
Jangan heran kalau setelah tanggal 24 April nanti banyak berita tentang berbagai usaha mudik.
Bagi saya sendiri. larangan mudik itu tidak berarti apa-apa. Kepedulian saya terhadap mudik lebih pada imbas pada penyebaran Corona saja, tidak lebih dari itu.
Kalau mudik saat biasa, saya mah EGP orang mau macet-macetan di jalan saat mudik. Teman bukan, saudara bukan, kenapa harus dipikirin. Lagi juga mereka menikmatinya, lalu kenapa harus dipikirkan? Toh juga saya bukan bagian dari pemerintahan, lalu untuk apa buang waktu mikirin soal mudik?
Ketidakpedulian itu mungkin karena dua hal, dan itu pasti :
1. Karena saya sudah tidak punya orangtua dan mertua. Para beliau ini sudah berpulang. Jadi, tidak ada lagi tempat yang “wajib” saya datangi untuk melepas kerinduan terhadap mereka. Mudik saya lebih mungkin dilakukan setiap saat, karena hanya bisa berdoa untuk mereka saja.
2. Kalaupun mereka masih ada, jarak yang sangat dekat dari rumah membuat nuansa mudik tidak terasa. Jarak dari rumah ke rumah orangtua dan mertua masing-masing hanya 6 kilometer saja. Cukup dengan 15-20 menit naik motor atau mobil untuk sampai kesana. Tidak ada rasa “mudik” disana. Belum lagi eyang juga semuanya tidak ada.
Jadi, saya sudah hampir tidak pernah mikir mudik lagi sejak lama.
Yang membuat saya menjadi tertarik pada mudik kali ini, ya karena pelarangan tadi, dan Corona tentunya. Berani juga pemerintah akhirnya mengambil keputusan melarang sebuah tradisi besar di Indonesia.
Tinggal menunggu, apakah masyarakat Indonesia bisa patuh dan manut atau tidak saja. Maukah masyarakat Indonesia membuang keegoisan mereka dan tidak ngeyel demi kebaikan bersama?
Tetap ada keraguan di dalam hati tentang hal yang satu ini.
Karena saya orang Indonesia.
Bogor, 22 April 2020 (pagi hari setelah selesai menyapu rumah dan ngemil dikit)