Cantik! Pakai banget. Langsing lagi.
Begitulah kira-kira pandangan saya terhadap wanita yang satu ini. Pertama kali melihatnya, mungkin berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah lebih dulu menggilai drama Korea, bukan ketika menonton Descendant of The Sun. Justru, perhatian saya agak terbetot saat menonton The Glory.
Serial tersebut lah yang memikat saya untuk lebih banyak menonton drama Korea.
Dalam film tersebut, si cantik ini justru memikat dengan perannya sebagai korban bullying yang membalas dendam ketika dewasa. Aktingnya bagus dan begitu juga peran yang dimainkannya. Penampilannya dalam film ini lah yang menumbuhkan rasa ketertarikan untuk terus menonton berbagai judul drama asal negeri ginseng itu.
Setelah itu berturut-turut, Descendant of The Sun, Encounter, dan banyak lainnya menjadi tontonan penghibur pada saat istirahat di rumah.
Dan, harus diakui, saya bisa mengerti mengapa namanya begitu santer di Indonesia. Cantik, imut, smart, dan sexy, meski bukan dalam artian fisik, tetapi tidak terhindarkan kesan itu hadir dari wanita yang sebenarnya sudah berusia di atas 40 tahun ini.
Salah satu aktris Korea yang filmnya pun akan selalu masuk dalam daftar tontonan yang perlu mendapat perhatian.

Namun, sekarang saya merasa si mantan istri Song Joong Ki ini seperti terus mengikuti dan masuk dalam rutinitas hidup yang saya jalani. Padahal, meski ngefans, saya tidak tergila-gila banget sampai kepikiran dia setiap saat.
Semua terasa begitu karena saya seperti “dipaksa” untuk melihat sosoknya setiap hari. Padahal, saya tidak menonton filmnya setiap hari.
Kok dipaksa?
Iya, saya dipaksa melihat. Kecuali saya mau jatuh dari tangga, terantuk anak tangga, atau menabrak orang lain karena berjalan sambil memejamkan mata, saya “harus melihat” wajahnya, setidaknya 5 hari dalam seminggu.
Semua itu karena sosok si Moon Dong Eun dalam the Glory ini ada dimana-mana di stasiun Gondangdia, stasiun dimana saya turun saat menuju kantor. Di tembok di depan tangga, di dinding tangga dan di dalam stasiun, foto-fotonya menawarkan susu bertebaran di peron dan aula stasiun sebelum Gambir itu.
Susah dihindari dari pandangan mata, kecuali saya maudimarahi penumpang lain karena menabrak mereka, atau benjol karena menubruk tembok akibat berjalan sambil menutup mata.
Yang memasang si Song Hye Kyo ini begitu pandai karena hampir setiap sudut dipenuhi oleh si “Dia” dan sulit untuk dihindari. Sebuah strategi pemasaran yang baik dan pastinya sulit untuk tidak melihat yang dipromosikan.
Pasti bayarannya mahal, untuk menyewa si salah satu mega bintang dalam budaya K-Pop ini, juga untuk menyewa sebegitu banyak ruang di stasiun itu.. Cuma saya pikir, wajar saja mengingat nama si cantik ini ngetop banget di Indonesia dan iklannya pasti akan mengundang minat banyak orang.

Cuma, di bulan Ramadhan 1446 sekarang ini, saya yakin kalau pak ustadz tahu, pasti dia akan menceramahi dengan kata-kata, “berpuasa itu harus menjaga mata supaya tidak melihat hal-hal yang “tidak seharusnya dilihat“.
Biasanya yang dirujuk oleh para “wakil Tuhan” atau “yang merasa dirinya wakil Tuhan” ini berarti pria atau wanita yang bukan istri/suami atau muhrimnya. Katanya “dosa” dan dapat mengurangi pahala berpuasa.
Dan si Song Hye-Kyo ini bukan istri saya. Jadi berarti, saya akan selalu “berbuat dosa” karena melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya.
Namun, setelah dipikir-pikir lagi, kalau ada pak ustadz yang mencoba menceramahi saya mengenai hal itu, saya akan menyuruhnya kembali ke abad 7 saja. Saat itu belum ada sistem periklanan seperti masa kini dan pasti iklan-iklan seperti ini tidak akan ada. Jadi, semua akan aman dari berbuat dosa mata.
Lagi pula, saya pikir tidak fair juga kalau dia menasehati umat seperti itu karena banyak ustadz yang juga bahkan menjadi model iklan didampingi wanita yang bukan istri dan muhrimnya juga.
Untungnya saja, tidak ada ustadz yang mengatakan itu ke saya. Meskipun, kalau ada pun akan saya abaikan. Saya akan tetap memilih melihat si Song yang cantik ini daripada mengikuti saran mereka.
Semua itu bukan karena saya sebegitu ngefans-nya, tetapi realita mengatakan bahwa kalau saya tidak membuka mata, hasilnya akan lebih buruk lagi. Bisa jadi saya harus berguling-guling dari tangga dan masuk rumah sakit.
Saya juga tidak mau menyalahkan PT KAI atau KCI yang mengurus kereta komuter di Jabodetabek karena memaksa banyak pria berbuat “zinah mata”. Bagaimanapun, pemasukan dari sang pemasang iklan itu pun membantu banyak orang karena tarif kereta komuter menjadi murah. Kalau pemasukan ini hilang, imbasnya akan merepotkan lebih banyak orang lagi.
Jadi, saya memutuskan untuk menikmati keterpaksaan yang dihadapkan di muka setiap hari. Semua itu lebih baik daripada harus membayar biaya pengobatan karena kaki keseleo karena jatuh atau bertengkar dengan penumpang lain karena saya menutup mata saat berjalan demi tidak “berbuat dosa”.
Lagi pula, bukankah manusia diajarkan untuk menikmati setiap ciptaan Tuhan karena itu bukti kebesaranNYA, iya kan? Dan si Song Hye-Kyo ini kan ciptaan Tuhan, jadi walau tidak pernah diniatkan dan tidak disengajakan, saya hanya mencoba menjalankan ajaran tersebut, menikmati ciptaan sang Pencipta.
Cuekin pak ustadz dalam hal ini lebih baik dan masuk akal, Iya nggak sih?