Ketika Rumah Menjadi Kantor

Anak kami sekarang tidak lagi satu. Si Kribo cilik bukan lagi anak “tunggal” atau semata wayang di rumah kami.

Sejak bulan September 2024 yang lalu, ada kehadiran 3 orang manusia seumuran di rumah kecil kami. Satu orang berasal dari Tasikmalaya, satu lagi berasal dari belahan Timur pulau Jawa, Kediri, dan satu lagi dari cluster “seberang” di perumahan yang sama.

Hampir setiap hari, antara Senin sampai Jumat, meski terkadang akhir pekan pun, ke-3 kurcaci tersebut hadir dan membuat riuh rumah kami.

Semua itu terjadi akibat si Kribo, yang memutuskan bahwa ia tidak berkeinginan untuk bekerja pada orang lain. Ia tidak ingin menjadi karyawan atau pegawai seperti yang dilakoni oleh bapaknya selama puluhan tahun. Ia mengambil langkah untuk mencoba mendirikan usahanya sendiri, di bidang digital marketing.

Usaha ini sudah dirintisnya semasa ia menjadi mahasiswa di Universitas Telkom. Bersama dengan beberapa teman seangkatannya dari berbagai jurusan dan dikompori , serta dimodali oleh bapaknya, ia mendirikan LB Digital alias Lovely Bogor Digital.

Sayangnya, karena bapaknya bukan orang kaya, maka modalnya tidak cukup untuk menyewa ruko atau kantor.

Alhasil, karena sangat tidak mungkin sebuah usaha bisnis tidak memiliki alamat yang jelas, maka diputuskan untuk menjadikan rumah kecil mungil kami sebagai homebase, alias markas, alias kantor. Bahkan, ia pun merelakan kamarnya dipakai bersama dengan kawannya yang berasal dari Tasikmalaya.

Rumah kami sudah beberapa bulan terakhir menjadi kantor.

Lay-out alias tata ruangnya pun sudah berubah total.

Ruang tamu tidak lagi memiliki kursi tamu. Ruang tersebut sekarang sudah berisi 4 meja kerja, yang ukurannya tidak seragam, yang dipergunakan si Kribo dan kawannya untuk mengerjakan orderan dari klien sekaligus merangkap sebagai ruang meeting.

Dindingnya pun tidak lagi berupa hiasan dinding, tetapi menjadi tempat corkboard atau papan memo yang sekarang sudah dihiasi tempelan post-it atau kertas berisikan tugas yang harus dikerjakan. Di satu pojok, terdapat water dispenser, yang saat tulisan ini dibuat sedang menunggu kedatangan teknisi karena ngadat.

Setiap jam 8 pagi pun, suasananya tidak lagi sunyi dan hening. Suara 4 orang kurcaci yang sibuk berbicara tentang berbagai hal seperti memenuhi ruang tersebut.

Situasi baru kembali agak sunyi ketika jarum jam menunjukkan angka 21 atau 22.

Semua persis suasana kantor pada umumnya.

Suasana yang, sebenarnya, saya dan si Yayang tidak sangka sama sekali akan terjadi. Setelah kelulusan si Kribo, kami berpikir bahwa suasana akan sepi. Namun, yang hadir adalah suasana ramai, seperti suasana sebuah rumah kos-kosan atau asrama.

Saya tidak lagi sekedar berperan sebagai ayah dan teman si Kribo saja. Saya sekarang menjadi mentor, leader, ayah, dan teman dari ke-4 orang penghuni “kantor kecil” itu.

Si Yayang, ibunya si Kribo, ternyata juga mendapat tambahan peran pula. Selain sebagai ibunya si Kribo, sekarang menjadi ibu kos/asrama bagi ke-3 anak lainnya.

Sesuatu yang tidak kami pernah terpikirkan sebelumnya.

Yang paling tidak disangka , ternyata kami bisa “menikmati” suasana tersebut. Kami menikmati peran baru tersebut.

Entah sampai kapan hal ini akan terus berlanjut. Kami berharap bahwa mereka bisa secepatnya memiliki atau menyewa kantor sendiri. Bukan karena kami berkeberatan, tetapi bila hal itu terjadi berarti mereka mulai bisa berdiri sendiri dan berkembang.

Meskipun saya dan si Yayang menyukai suasana sekarang, kami paham sekali hal itu tidaklah bagus untuk diteruskan. Yang terjadi saat ini, ketika rumah kami menjadi kantor, haruslah bersifat sementara saja. Tidak bisa seterusnya.

Kami berharap mereka sukses dengan jalan yang dipilihnya dan salah satu indikasinya adalah ketika mereka bisa memiliki ruang untuk aktivitas “kantor” mereka. Memakai ruang tamu kami sebagai kantor untuk seterusnya merupakan pertanda bisnis mereka tidak berkembang dan menguntungkan. Sesuatu yang sangat tidak kami harapkan.

Meskipun, kami menyadari pula, bahwa ketika saat itu tiba, kami akan kembali merasakan kehilangan keriuhan 4 kurcaci tersebut. Namun, bagi kami hal itu lebih baik bagi putra semata wayang kami, dan “anak-anak” kami yang baru tersebut. Mereka harus terus maju dan berkembang dan bukan membuat kami tidak kesepian.

(Bogor 24 Februari 2025 – ketika mulai kembali menulis dan merasakan betapa “berkaratnya” kepala, tangan dan intuisi saya)

Leave a Comment