Jengkel

Kampung Lebak Pilar, Bogor, 2017

Hari ini hari Jum’at. Penghulu hari (sayyidul ayyam) bagi kaum muslim.

Dari kampung belakang, terdengar suara adzan dzuhur terdengar sember , mungkin karena toa yang dipergunakan harganya murah atau sudah terlalu tua. Bukan hanya satu, tetapi beberapa.

Dilanjutkan dengan kemudian, sayup-sayup suara khotbah Jum’at. Kemudian, iqomah pertanda sholat Jum’at akan segera dimulai.

Semprul !

Kalau tidak ingat sedang berpuasa, ingin rasanya mengeluarkan kata-kata itu dari mulut. Terus, ingin rasanya menambahkan lagi dengan makian, “Bener-bener pada nggak punya otak yah?

Jengkel.


Pake banget.

Hari ini , entah hari ke berapa dihitung dari masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Yang pastu sudah memasuki masa PSBB kedua di Kota Bogor. Artinya, pandemi Covid-19 belum usai, bahkan belum terhenti penyebarannya di Kota Hujan.

Situasi masih genting dan gawat. Oleh karena itulah, masa PSBB diperpanjang dan bahkan akan diperketat.

Sontoloyonya adalah ternyata masih banyak manusia yang tidak mau mempergunakan otaknya dan hanya menuruti “nafsu” saja.

Pemerintah sudah melarang dan menganjurkan untuk beribadah di rumah saja. Para ulama sudah bersuara pula dan memberikan penjelasan panjang lebar dengan berbagai dalil. Sosialisasi sudah dilakukan, bukan ibadahnya yang dilarang, tetapi kumpul-kumpulnya yang berbahaya. Contoh sudah banyak kejadian penularan virus Corona, mulai dari Ijtima Jemaat di Gowa, Jemaah Tabligh, dan banyak contoh lainnya di koran.

Tetap saja, manusia-manusia kepala batu terus melaksanakan sholat berjamaah.

Bukan hanya Jum’at ini saja. Sejak awal Ramadhan, dari suara TOA mereka bisa diketahui bahwa mesjid-mesjid tadi, masih melaksanakan sholat tarawih berjamaah. Sebuah ibadah sunnah yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dilakukan di mesjid.

Bagaimana jengkel tidak muncul? Jutaan orang sudah terinfeksi, ratusan ribu nyawa sudah melayang. Herannya, masih saja banyak manusia yang tetap ngeyel berkumpul dengan alasan apapun.

Logika gila, “Takut mah kepada Allah, bukan pada virus Corona karena virus itu ciptaan Allah” rupanya tertanam kuat di kepala mereka. Mungkin juga sebenarnya cuma alasan supaya mereka terlihat berani dan membela Allah. Padahal kalau mereka bertemu pada begal, harimau, singa, atau debt collector yang juga ciptaan Allah, bisa diduga mereka akan kabur.

Kebodohan dimana-mana.

Kalau mereka memang mau mati, ya matilah sendiri. Tapi, jangan korbankan orang lain dengan menulari mereka. Jika mereka begitu gagah berani, ya sudah, silakan saja, tapi nanti ketika tertular, langsung saja masuk kuburan sendiri. Jangan minta dirawat. Minimal konsisten dan konsekuen dengan jalan yang dipilihnya.

Susah menahan rasa jengkel untuk tidak muncul.

Semua berharap bahwa penyebaran bisa terhenti dan teratasi. Pasien yang sudah terinfeksi bisa sembuh.

Dan, semua bisa kembali normal beraktivitas seperti sedia kala. Mencari nafkah bagi keluarga, bermain bersama teman.

Cuma, akibat kebodohan manusia-manusia yang tidak mau menggunakan otak yang diberikan Allah seperti itu akan menyebabkan harapan semua orang menjadi sulit terwujud. Seperti mengisi air ke dalam ember bocor, dimana embernya nggak penuh-penuh.

Ingin rasanya memaki manusia-manusia egois seperti itu.

Cuma, karena bulan puasa, mau tidak mau terpaksa rasa jengkel itu ditelan saja. Yang saya tahu menelan jengkel di dalam hati bukanlah pembatal puasa. Dan, uneg-unegnya dituliskan di blog ini saja.

Sekaligus memberitahukan bahwa masih ada banyak manusia yang malas memakai otaknya, bahkan dalam situasi kritis seperti sekarang sekalipun. Mungkin di sekitar rumah Anda pun masih ada, karena saya cukup yakin, manusia-manusia egois seperti ini ada dimana-mana.

Bogor, Hari Buruh, 1 Mei 2020.

Leave a Comment