Jalan Suryakencana, Bogor, 2017 |
Bersama dengan beberapa saudaranya, pertanyaan seperti, “Orang mana, mas?” ,
“Asal darimana, mas?” itu sebenarnya menyebalkan dan kurang menyenangkan untuk didengar.
Seharusnya, idealnya, sebuah hubungan terutama pertemanan atau apapun tidak perlu dikaitkan dengan darimana asal atau dari suku mana seseorang berasal.
Teman ya teman.
Hubungan bisnis pun begitu, karena yang penting kan dalam bisnis itu sama-sama menguntungkan dan menghasilkan uang. Apa hubungannya dengan darimana seseorang berasal?
Tapi rupanya di negeri ini, di mana prinsip Bhinneka Tunggal Ika itu rasanya masih lebih kental sebagai slogan saja dan belum menyentuh jiwa rakyatnya. banyak rakyatnya yang merasa perlu tahu asal usul seseorang.
Mungkin hal itu dikaitkan dengan beberapa stereotype yang beredar, seperti orang Batak (Sumatera Utara) kasar dan gemar berteriak orang Padang suka berdagang, orang Jawa ngomongnya lemes tapi nyelekit, dan seterusnya. Jadi, sepertinya pertanyaan seperti ini masih kerap diajukan supaya yang bertanya tahu sejauh mana ia mau terlibat, sebatas mana ia mau bergaul, dan sedalam mana ia mau mengenal seseorang.
Antisipasi.
Kalau berasal dari daerah yang sama, atau minimal asal suku bangsanya sama, biasanya batasannya longgar. Orang Jawa/Sunda kalau ketemu orang yang berasal dari daerah sama, walau nggak kenal sekalipun, biasanya langsung nyambung. Tidak jarang langsung ngomong dalam bahasa yang sama, dan sering kadang lupa dengan sekitar.
Yah, walau teorinya seharusnya tidak demikian, fakta di lapangan mau tidak mau harus diterima. Masalah asal muasal seseorang masih berperan penting dalam sebuah hubungan, jenis apapun. Mau kenalannya di warung kopi pinggir jalan atau Cafe di hotel berbintangpun, pertanyaan seperti ini sering dimunculkan.
Nah, disitulah masalah saya selama ini.
Jalan Suryakencana, Bogor, 2917 |
Ya, mau bagaimana tidak bingung. Coba saja bayangkan beberapa data saja
- Bapak lahir di Semarang, besar di Rembang (Orang Jawa)
- Ibu lahir di Cirebon dari bapak dan ibu Sunda (Orang Sunda)
- Saya lahir di Jakarta di daerah Karet Tengsin, tapi lebih dari 4/5 umur saya (42 tahun) dihabiskan di Bogor, wilayahnya orang Sunda (katanya)
Jadi, kalau ada orang bertanya, “Orang mana, mas?“, kepala jadi puyeng mendadak. Kalau menurut garis bapak, ya saya orang Jawi. Apalagi kalau orang melihat nama yang banyak “o” nya. Dugaannya pasti begitu.
Cuma tidak fair juga kalau menganut sistem patriarkat, kenyataannya, saya tidak bisa bahasa Jawa. Kalau cuma disuruh mengerti percakapan sehari-hari, masih bisa, walau tetap kadang nggak nyambung juga.
Hidup selama 42 tahun di Bogor, yang kawasan Urang Sunda, membuat bahasa Sunda saya lebih bagus dibandingkan bahasa Jawa. Menulis dalam bahasa Sunda masih bisa dan dalam keseharian juga masih sering memakai, terutama dengan kawan.
Tapi, tetap juga mengganjal, karena tidak sesuai dengan teori dan hukum keturunan yang berlaku di Indonesia, yaitu garis bapak.
Mungkin akan lebih adil kalau saya menyebut asal saya Jakarta. Toh, memang lahirnya di ibukota dan sampai sekarang hampir setiap hari bolak balik naik kereta ke Jakarta juga. Jadi, bisa saja sebenarnya menyebut diri orang Jakarta, asal jangan disuruh berbicara bahasa Betawi.
Sayangnya, itupun bermasalah, karena rumah saya di Bogor, dan KTP juga KTP Bogor. Nggak bisa juga menyebut diri orang Jakarta.
Emang, ada yang ngasih saran, bilang aja orang Indonesia. Itu kalau yang bertanya orang asing dan bukan orang Indonesia, kalau orang Indonesia yang nanya, ntar saya dianggap bego karena jawabannya nggak nyambung.
Itulah kenapa saya bete banget kalau saat berkenalan atau mulai ngobrol, pertanyaan seperti ini diajukan. Selain karena sebenarnya kurang sopan dan tidak penting, menurut saya, juga bikin bingung yang ditanya. Ia kalau memang ia hasil produksi dari dua orang bersuku sejenis, tapi kalau saya yang keluaran beragam suku, hasilnya yang membingungkan.
Mungkin, sebaiknya kalau ada orang bertanya, “Orang mana, mas?” , saya seharusnya menjawab dengan “Orang Bhinneka Tunggal Ika”.
Minimal dia yang bingung dan bukan saya.
Bogor, 2 Mei 2020, satu jam menuju bedug Maghrib wilayah Kota Hujan.